Satu Titik dalam Keabadian

402 14 4
                                    

0

Hujan adalah satu-satunya kesempatan bagiku untuk berjalan-jalan di luar pada siang hari. Matahari yang terik akan tertutup awan gelap, memungkinkanku untuk keluar dari rumah tanpa rasa takut.

Aku suka berjalan-jalan pada siang hari. Saat banyak orang masih terjaga dan berlalu-lalang di jalanan. Berbeda dengan saat malam hari. Suasananya terlalu sepi dan suram bagiku.

Pada salah satu hari-hari berpenghujan itulah, aku bertemu dengannya. Berdiri di bawah payungnya yang berwarna pelangi, dia memandangku dengan kening berkerut.

“Kenapa kau berbasah-basah?” tanya anak itu.

Tingginya mungkin hanya sebahuku. Rambutnya dipotong cepak dan badannya tampak kurus dengan kulit kecoklatan terbakar matahari. Usianya mungkin 14 atau 15 tahun.

“Karena aku suka berbasah-basah di hari hujan,” jawabku.

“Nanti sakit loh,” katanya.

Aku tersenyum. Anak yang sangat perhatian. “Tidak akan. Kamu tidak suka bermain air hujan?”

“Aku sudah terlalu besar untuk permainan seperti itu,” katanya sambil menegapkan tubuhnya serta membusungkan dadanya.

Aku terpingkal-pingkal melihat sikapnya yang sok dewasa itu. Ada semburat merah yang samar pada wajahnya sekarang.

“Tidak ada orang yang terlalu tua untuk bermain hujan,” kataku.

“Biar kuantar kau pulang,” kata anak itu sambil menyodorkan payungnya, menawariku untuk ikut bergabung di sisinya. “Di mana rumahmu?”

“Rumah putih di ujung sana,” jawabku. “Yang besar dengan pagar berwarna hijau itu.”

“Ooh, rumah yang itu? Biar kuantar kalau begitu.”

Aku mengangkat alisku. “Apa kamu tidak takut? Mungkin saja aku orang jahat, kan? Bisa saja aku menculikmu di sana dan menjualmu ke luar negeri.”

“Apa kau berniat untuk melakukan semua itu?”

Anak yang berani. “Tidak.”

Saat itu kusadari hujan mulai merintik dan awan gelap mulai menipis. Kurasa memang sudah waktunya aku pulang. Kupandangi anak itu dan menimbang-nimbang apakah baik membawanya pulang ke rumah atau tidak.

“Oh, baiklah. Antarkan aku pulang kalau begitu,” kataku sambil masuk ke bawah payungnya. Tidak ada gunanya, karena aku sudah terlanjut basah kuyup, tapi kurasa ini cara terbaik agar dia ikut ke rumahku.

Begitu sampai di rumahku aku mengajaknya masuk sebentar untuk teh dan kue-kue. Awalnya dia menolak, tapi saat kutawari dia puding karamel yang kubuat, dia langsung setuju untuk singgah.

“Bukumu banyak sekali,” kata anak itu berdecak kagum ketika melihat deretan buku di ruang tamuku yang tertata rapi di rak.

“Membaca adalah cara terbaik untuk menghabiskan waktu,” kataku sambil meletakkan nampan berisi poci teh dan dua buah cangkir.

Kulihat dia mengambil salah satu buku dari rak. Dari kovernya aku segera tahu bahwa itu novel “Lelaki Tua dan Laut”. Sebuah novel terjemahan karya Hemingway.

“Kamu boleh meminjamnya kalau tertarik,” kataku.

“Serius?” tanyanya dengan senyum lebar.

“Tentu.”

“Ah, benar juga,” kata anak itu menepuk dahinya. “Kita belum berkenalan. Padahal aku bahkan sudah ditawari makan-minum begini. Namaku Elang. Siapa namamu?”

Satu Titik dalam KeabadianTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang