#1 Two cups of coffee, please...

12 1 0
                                    

Caitlin

Pagi itu begitu dingin. Suhu di luar sudah jelas lebih dingin dari suhu di dalam mobil yang jauh lebih hangat. Caitlin menarik nafas panjang sambil menaikkan ritsleting jaketnya. Merapikan syal yang melilit di lehernya sebelum akhirnya mematikan mesin mobilnya. Ia keluar dari mobil sambil mengernyit menahan sapaan hawa dingin di wajahnya. Sungguh, kalau bukan Jason yang memohonnya untuk menggantikannya jaga hari ini, Caitlin lebih suka meringkuk kembali di balik selimut tebalnya. 
"Well Jason, kau berhutang saaaangat besar untuk hari ini..." Caitlin memasukkan kedua tangannya ke dalam saku jaket dan setengah berlari menuju pintu gerbang Emergency Room.

"Morning..." sapanya ke nurse station di dalam emergency room yang seperti hari-hari lainnya, penuh dengan hiruk pikuk macam di pasar.
"Morning, Dokter Caitlin !!!" perawat menyapanya dengan sedikit heran. Karena pagi ini bukan jadwal Caitlin bertugas di sana.
"Uhm, sebelum kalian bertanya, Jason mendadak diare, dan memintaku menggantikannya pagi ini. So, yah, here I am... ada pasien untukku ?"
Dan kesibukan emergency room di pagi itu pun  berjalan tanpa kenal ampun.

Caitlin duduk sambil mengisi status pasien di hadapannya. Ada beberapa pasien trauma yang membutuhkan pembedahan cito, yang menuntutnya harus bolak balik ke Operating Theatre. Sebagai dokter resident di bagian bedah umum, hal seperti ini adalah makanan sehari-hari. Caitlin sudah melupakan bagaimana rasanya tidur nyenyak tanpa gangguan.

"Coffee for you..."

segelas kopi dalam cangkir kertas tiba-tiba hadir di hadapannya. Membuatnya mengangkat kepala untuk mengucapkan terima kasih pada si pembawa kopi penyelamat harinya.
"Thanks, Mark... you save my day..." katanya sambil menyesap kopi dengan nikmatnya.

"It's my pleasure, Cait. Setidaknya dengan kau menggantikan Jason, hariku nggak suram-suram banget."
Mark tersenyum bak iklan pasta gigi di televisi.

Caitlin tertawa dan menggelengkan kepalanya melihat rayuan gombal yang tersurat dalam senyuman Mark.
"Sayangnya hariku suram sejak Jason dan diarenya menggangguku."

"Ah ya, Jason... kecerobohan apalagi yang membuatnya diare ?" Mark mengingat-ingat.

"I don't know... mungkin masakan india atau meksiko lagi ? Seperti biasa kan dia sering lupa kalau perutnya sensitif..." Caitlin menghabiskan kopinya dalam tegukan terakhir.

"Beep beep" getar pager memanggil keduanya. Melirik sekilas dan menghela nafas, keduanya berdiri dan setengah berlari ke Emergency Room.

***

Caitlin tiba di apartemennya dengan kelelahan yang tampak jelas di wajah cantiknya. Hal pertama yang ingin dilakukannya adalah mandi air hangat. Secangkir teh chamomile adalah yang kedua... dan lain-lainnya bisa menunggu setelahnya.
Digantungkannya jaket dan syal dibelakang pintu. Melepas sepatu dan menendangnya masuk ke bawah rak.
Sambil melepas pakaiannya, ia mendengarkan mesin penjawab telepon yang berkedip-kedip menandakan ada pesan dari siapapun itu yang mencoba menghubunginya.
"Cait, ini Mama. Telp Mama kalau sempat. Dan semangat terus ya ! I love you" suara Belinda Brent terdengar hangat seperti seharusnya seorang Ibu yang selalu setia menyemangati anaknya.
"I love you too mom..." bisik Caitlin sambil membuka kran air panas di bathtub.

"Hai Caitlin... ini aku, Kylian. Umm... aku dapat nomormu dari Jess. Kau ingat Jess kan ? Well, aku harap kau nggak memarahinya karena ini. Aku cuma ingin tahu kabarmu. Dan mungkin kita bisa ketemu. Dan ya, kau punya nomorku sekarang. Just text me or call me, aku akan sangat senang ketemu kamu. Okay, sounds weird bicara sama mesin. Talk to you later. Bye Caitlin."
Suara khas yang sudah sangat lama tidak didengarnya, kini terdengar lagi. Setengah kaget diulangnya kembali pesan itu, dan kembali suara yang dirindukannya itu memenuhi ruangan apartemennya.
"Kylian... dia udah kembali ke Seattle." Katanya dalam hati.

Caitlin menyesap teh chamomilenya sambil memandangi layar ponselnya. Menatap nomor telepon yang kini tersimpan dalam daftar kontaknya. Sehabis mandi berendam dalam air hangat dengan campuran aromaterapi dan garam mandi, ia memutuskan untuk membalas pesan Kylian, yang tidak kunjung ia lakukan. Ia bingung. Bimbang antara membalas pesan malam ini atau menunggu besok saja ? Toh tak ada bedanya bukan ? Yang penting ia berniat membalas. Bukannya tidak sama sekali. Tapi kalau menunggu besok, apakah tidak terlalu lama ? Tapi kalau dibalas malam ini, tidakkah terlihat terlalu bersemangat ?
"Rrrrrrttttttt Rrrtttttt" getar ponsel mengagetkannya seketika. Merutuk kecil saat dilihatnya pesan chat yang masuk dari nomor yang baru saja di simpannya.
"Hi there" 
"Just to make sure kau terima pesanku."
Dua baris chat itu membuatnya terdiam.

"Hi Kylian... yes I've got your messages."
Balasnya dengan cepat. Jemarinya dengan lentik mengetik huruf demi huruf.
"Baru aja pulang kerja. Besok aku off. Kita bicara besok saja gimana ?"

Dan balasannya pun datang secepat diterima.
"It will be great ! Istirahatlah kalau begitu. Aku telpon besok."

Caitlin terdiam. Diletakkannya ponselnya di meja nakas. Menghabiskan teh nya dan lalu berbaring di ranjangnya yang hangat. Dalam balutan piama bermotif parsley, rambutnya yang ikal di ikat menjadi satu, Caitlin tampak cantik. Meskipun kelelahan nampak jelas di wajahnya, tetapi tidak mengurangi paras wajahnya.
"Kyliant... seperti apa dia sekarang ya ?" tanyanya dalam hati.

Kyliant

Balasan pesan dari Caitlin membuat Kyliant tersenyum. Saat menelepon dan ternyata harus berbicara dengan mesin, ia sedikit kurang nyaman. Tetapi daripada tidak sama sekali, setidaknya ia harus meninggalkan pesan pada gadis yang telah beberapa tahun terakhir ini sering hadir dalam kenangannya.
Sudah enam tahun Kyliant tidak berjumpa dengan Caitlin. Ia bahkan tidak yakin masih mengingat rupa Caitlin karena ia yakin enam tahun pasti mengubah gadis itu.
Mendapatkan kembali nomornya, adalah prestasi yang menurutnya harus diacungi jempol. Tidak mudah membujuk Jessica, salah satu teman baik Caitlin untuk memberikannya begitu saja tanpa intimidasi terkait kepergiannya ke UK enam tahun yang lalu. Ia tahu ia berhutang banyak sekali penjelasan, dan hanya Tuhan yang tahu apakah penjelasannya dapat diterima baik atau sebaliknya oleh Caitlin. Dan dia benar-benar membutuhkan bantuan dari siapapun jika memang bisa didapatkannya.

***

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Apr 19, 2017 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Ketika Kau Ada Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang