14th

18.1K 2.1K 12
                                    

Ini nggak serius kan?

Aras masih terus mengulang-ulang kalimat itu. Permintaan nenek untuk terus menjaganya setelah pulang ke rumah terasa seperti sebuah hal mustahil. Ia tidak keberatan menjaga nenek di rumah sakit, tapi apa ia juga harus merawat beliau di rumah bersama-sama Widya?

Tapi bagaimana reaksi Widya? Sampai sekarang mereka belum pernah mendiskusikan permintaan tersebut. Ia jadi ingin tahu, apakah Widya setuju atau tidak.

"Jadi, gimana?" tanya Aras setelah nenek tidur kembali. "Sama permintaan nenek?"

Widya tidak berpikir lama untuk menjawab. "Ya ikutin aja. Kita juga udah bilang iya kan tadi?"

"Gue nggak bisa."

"Terserah kamu, Ras. Yang jelas nenek udah minta kita ngerawat dia."

"Gue kerja."

"Pasti bukan karena alasan itu." Widya menggumam.

"Oh tentu saja, itu bukan satu-satunya alasan." Aras menegaskan.

Karena alasan sebenarnya adalah Aras tidak yakin jika ia mampu melewatkan lebih banyak waktu dengan Widya. Jika Widya ingin merawat nenek, ia bisa melakukannya sendiri.

"Sekali ini saja, turutin permintaan nenek. Bisa?" Widya sudah nampak jengkel kepada Aras.

"Memangnya kapan gue nggak nurutin permintaan nenek? Hal terbaik yang bisa gue lakuin buat membahagiakan nenek adalah menikahi lo. Apa itu masih belum cukup?"

Widya tersenyum kecut. "Harusnya kamu nanya ke nenek, bukan ke aku. Aneh banget deh."

Aras belum sempat berkata-kata saat Widya pamit untuk keluar sebentar dari ruang perawatan.

"Lo mau ke mana?"

"Cari angin," jawab Widya.

***

Tujuan Widya setelah keluar dari kamar adalah kafetaria. Ia tidak memiliki tempat tujuan lain selain tempat itu.

Sampai di kafetaria, Widya memesan kopi lalu duduk memainkan ponsel. Tidak ada orang di sekitar yang bisa diajak bicara, jadi harapan satu-satunya hanya ponsel di tangan.

Widya mengerutkan kening membaca chat dari Elang.

Ya udah. Biar aku samperin ke rs.

Jangan deh, Lang.

Mampir sebentar aja

Elang kenapa jadi ngotot begini?

Pokoknya jgn!

Ya udah. Tp nanti telepon balik kalo udah nggak sibuk

Iya.

Widya membuang napas setelah chat mereka berhenti untuk sementara waktu.

Ia menutup aplikasi WA dan beralih ke aplikasi Instagram. Ia butuh refreshing dengan melihat-lihat foto apa saja yang bisa ia temukan di sana.

Kebetulan sekali. Ada testimoni dari customer di Instagram. Seorang pengguna ceuceu_lala mengupload foto saat ia sedang makan. Ia membeli  beberapa produk Solution seperti gelang, kalung dan blus putih polos bergambar bunga matahari yang ia pamerkan pada fotonya yang sepertinya diambil di sebuah tempat makan. Hal itu ia simpulkan dari gambar meja dan sepiring pisang keju.

Thanks @solution_jkt. T-shirt, bracelet, necklace jd temen hangoutku. Nanti mw order lagi 😙

Postingan tersebut kemudian ia repost dengan memberikan banyak tanda hati. Testimoni seperti itu yang membuat moodnya membaik dan makin semangat bekerja.

Paling tidak, beban pikiran saat bersama Aras bisa sedikit berkurang. Laki-laki itu memang paling bisa dalam urusan menaikkan tensi darahnya.

Setelah ini, mungkin Aras akan mencoba kompromi.

Tapi tidak ada kompromi jika nenek Adilla yang meminta. Ia paling tidak bisa menolak permintaan beliau. Selain karena sudah tua, nenek Adilla selama ini sudah sangat baik padanya.

***

"Widya ke mana, Ras?"

"Tadi katanya mau cari angin."

Limabelas menit setelah Widya pergi tanpa pamit, Sera muncul. Aras tidak perlu repot menebak-nebak Widya pergi ke mana, jadi ia pun memberi  jawaban seadanya.

"Abis ini, kamu pulang aja dulu istirahat, bersih-bersih. Tapi tunggu Widya balik dulu."

Aras mengangguk. Ia memang sudah sangat ingin merebahkan tubuh di tempat tidur di rumah, bukan di rumah sakit. Selain itu, ia juga butuh mandi sampai benar-benar bersih. Rumah sakit membuatnya tidak leluasa melakukan aktivitas seperti biasa.

Semoga saja Widya segera kembali. Sudah sejam sejak ia pergi. Cari anginnya kenapa bisa selama itu?

"Mbak, aku cari Widya dulu."

"Oke."

Aras menyisir rambut dengan tangan kemudian keluar dari kamar. Ia tidak punya firasat Widya akan kabur dan pulang ke rumah. Satu-satunya tempat ia bisa pergi adalah kafetaria.

Aras mengamati pintu kafetaria, lalu melihat ke dalam.

Tidak ada.

"Ke mana lagi dia?"

Aras keluar dari kafetaria dan kembali mengedarkan pandang ke setiap orang yang berpapasan dengannya di koridor.

Jangan-jangan Widya benar sudah pulang.

Tapi tadi ia hanya sempat mengambil ponsel. Tasnya masih ada di dalam kamar.

Jadi sebenarnya ia ke mana?

Aras memilih menyusuri koridor kembali menuju kamar perawatan nenek. Ia tidak akan mencari Widya lagi. Jadi daripada menguras energi, lebih baik ia kembali.

Perempuan itu tidak mungkin nyasar di rumah sakit.

***

"Itu dia."

Seiring tangan Sera yang menunjuk ke arah pintu, Widya bangkit dari kursi. Aras nampak melihat kepadanya dengan ekspresi kesal.

"Ke mana saja tadi?"

"Kafetaria," jawab Widya. "Sori kelamaan. Tadi ada urusan dikit. Kamu nyusul buat nyari aku ya?"

Aras tidak menjawab dan memilih memalingkan wajah kepada Sera.

"Mbak, aku pulang dulu," pamitnya. Aras lalu berpamitan kepada nenek yang memintanya kembali secepatnya.

Di bawah tatapan nenek dan Sera, Widya menunjukkan isyarat dengan tangan. Aras tidak mengerti jadi ia  menarik tangan kanan Aras dan membauinya.

Aras terkejut tapi langsung tersadar.

"Pulang dulu," ucapnya datar.

"Iya, Mas. Hati-hati nyetirnya."

***

BELIEVE IN LOVE (Love #1) -Completed-Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang