AKHIR pekan membentang di hadapan, dingin dan kosong. Ji Kara berdiri di antara jejeran bunga, mengamati orang-orang yang tidak berencana untuk terjebak di bawah curah hujan, dari balik dinding kaca. Lacewood Flower, tempatnya bekerja selama hampir dua tahun. Sudah jam tiga sore, tapi belum ada satu pun pelanggan yang datang. Hari yang buruk, pikirnya. Kara selalu menganggap hari-harinya terlalu sengsara, hidupnya merana, jauh berbeda dari deretan kisah romantis novel online yang dia baca hampir setiap hari.
Dua puluh lima tahun usianya, lajang yang selalu gagal punya pacar, bermimpi punya pasangan CEO tapi tak pernah kesampaian. Jangankan CEO tampan, pria sekelas Park Chanyeol saja—pemilik kedai ramen di pasar Gwangjang—tidak bisa dia dapatkan, padahal Kara sudah mengincar Chanyeol sejak usianya masih belasan. Tepat saat Kara merayakan ulang tahun yang ketujuh belas, dia berniat mengaku pada Chanyeol tentang perasaannya selama ini. Sayangnya Kara tidak punya keberanian, kisahnya pun pupus sebelum dimulai.
Menyedihkan.
Lima menit kemudian, suara gemerincing dari lonceng yang sengaja digantung di pintu memecah keheningan. Kara menoleh, membungkuk, lalu tersenyum pada calon pembeli yang baru saja muncul di muka pintu. Mengenyampingkan semua kesialannya, Kara berakting seramah mungkin, berlagak menjadi gadis ceria yang tidak punya beban pikiran.
"Selamat datang, ada yang bisa saya bantu, Tuan?" Kara menyapa ramah, tapi yang disapa hanya sibuk menyingkirkan butiran air langit yang menempel di mantel cokelat muda sebatas lutut yang dikenakannya.
Kara menghela napas panjang, berulang-ulang, menunggu. Mengabaikan calon pembeli bukanlah keputusan baik, apalagi kalau pemilik toko mengetahuinya. Gaji Kara pasti dipangkas.
"Aku ingin membeli bunga untuk ibuku."
Pria itu akhirnya menjawab sambil mengedarkan pandangan, lalu melihat Kara yang kedapatan tengah sibuk memandanginya. Dia lumayan tinggi, mungkin hampir 180 senti, dengan biji mata kombinasi dari hamburan Rayleigh dan melanin—merah kecoklatan, surai hitam pekat, bangir, kulit putih susu. Meski tidak terlalu tampak seperti pria eropa sesungguhnya, namun Kara bisa pastikan, kalau salah satu leluhur pria itu berasal dari benua biru. Sepakat, pria itu tampan, terpahat nyaris tanpa cela.
Kemeja putih dan jas hitam di balik mantel terlihat mahal, begitu juga dengan jam tangan yang mengintip dari ujung lengan kemeja dan sepatu hitam mengkilapnya tampak elegan. Air mukanya datar, dingin, pandangannya begitu jumawa. Secara keseluruhan, sudah jelas pria itu pastilah kaya raya, sombong, tidak peduli pada bumi yang dipijaknya, apalagi pada pelayan toko seperti Kara.
"Ah, ibu Anda, ulang tahun? Atau ini ulang tahun pernikahan?"
Pria itu tidak menjawab, dia kembali sibuk memperhatikan toko, menjelajah tiap bagian dari bangunan kubus berpelitur sewarna pasir. Vas putih besar berisi bunga berjejer rapi di atas meja kaca, mengelilingi hampir semua bagian dinding toko. Ada puluhan jenis bunga di toko itu, semuanya masih segar, wanginya menyeruak, memenuhi tiap sudut ruangan.
"Mawar merah, bagaimana?" Kara menawarkan. Dia mengikuti calon pembelinya yang mulai melangkah mendekati deretan lily putih, sebelah kanan dari meja kayu yang menjadi tempat Kara merangkai bunga, di bawah meja ada laci-laci kecil untuk menyimpan uang.
"Apa mawar merah cocok untuk dibawa ke pemakaman?"
"Oh! Ibu Anda, sudah—maafkan aku, aku benar-benar,"
"Tidak masalah."
Kara mengangguk, berusaha bersikap biasa. Dia kembali tersenyum ramah, lalu menunjuk satu rangkai bunga yang paling dekat dengannya.
"Kalau begitu, mawar putih saja, bagaimana?"
Alis tebal pria itu mengernyit, pandangannya suram, memandangi Kara tak suka. Sekejab bulu-bulu halus di tengguk Kara meremang. Sambil menyembunyikan jemarinya di balik kantung mantel, pria itu berkata:
"Baiklah, mawar merah dan putih." Suaranya sangat datar dan tenang.
Kara menggangguk, dia segera merangkai bunga sesuai pesanan. Tanpa kata dan tanpa menoleh, sibuk bersama puluhan batang mawar, gunting dan pita. Kara tidak tahu pria di depannya terus mengamati, lalu menggerakkan salah satu tangan hingga menyentuh rambut panjang Kara yang tergerai dan menutupi sebagian wajah, lalu menyelipkannya ke belakang telinga. Kara terkesiap, duri mawar menancap di jari telunjuknya, pupilnya melebar, dia was-was, pria itu masih memandanginya, dingin, datar.
"Seharusnya kau mengikat rambutmu kalau sedang bekerja."
Kara masih beku, mengabaikan rasa nyeri yang mulai menyerang telunjuknya. Duri mawar masih bersarang di sana, menembus kulit ari dan membuat setetes darah keluar dari sela-sela kulitnya yang tertancap duri.
"Masih lama?" Dia bertanya setelah melihat Kara diam saja, lalu mengalihkan pandang pada mawar yang terabaikan. "Bisa cepat sedikit, aku tidak punya banyak waktu."
Kara tersadar dan segera mengangguk, menyelesaikan rangkaian bunga secepat yang dia bisa, lalu menyerahkannya pada pria itu. Kara masih mengabaikan duri di jari telunjuknya.
"Terima kasih banyak." Kara membungkuk sambil menerima uang bayarannya.
Pria itu tak jua berlalu setelah membayar pesanannya, dia tetap berdiri di depan Kara, bunga mawar yang sudah digenggam dia letakkan lagi di atas meja. Tiba-tiba dia meraih tangan Kara, menarik duri di jari Kara, merogoh sapu tangan kecil dari balik saku jas, lalu melilitkannya di jari Kara. Tak ada yang dapat dipahami Kara, dia terlalu terkejut, sampai-sampai tidak punya gerakan antisipasi sedikit pun. Kara membatu, kelu, dia memandangi pria yang baru saja melepaskan genggaman di jarinya.
"Berhati-hatilah dengan mawar, terkadang duri kecilnya bisa sangat menyakitimu."
Pria itu berlalu, meninggalkan Kara yang tetap beku di belakang sana. Detak jantung Kara bertalu, dia menatap jarinya, tersenyum tanpa sadar, lalu bersemu merah jambu. Ada ribuan kupu-kupu terbang rendah di sekitarnya, membawa tumpukan kelopak mawar yang ditumpahkan ke atas kepalanya.
~000~
Sejak hari itu, Kara selalu merasa harinya berjalan baik, omelan Jungah bahkan terasa seperti nyayian merdu untuknya. Setiap hari Kara selalu berharap pria yang belum dia ketahui namanya itu datang lagi, dia sudah menyiapkan rangkaian ucapan terima kasih untuk hal manis yang dilakukan pria itu tempo hari. Namun hayalan Kara berbanding terbalik dengan kenyataan. Seminggu sudah Kara menunggu, tapi pria itu tidak pernah datang lagi.
"Aku membayarmu untuk bekerja, bukan untuk menghitung tetesan hujan. Dasar pemalas!"
Suara Jungah yang kasar berhasil memporak porandakan hayalan Kara. Park Jungah, wanita paruh baya, pendek, berambut kelabu, mata sipit nyaris tanpa lipatan, cerewet dan banyak aturan. Andai bukan karena butuh pekerjaan, sudah bisa dipastikan Kara tidak akan mau berlama-lama bekerja di tokonya. Kara mengumpat dalam hati, lalu buru-buru merapikan bunga yang terabaikan di atas meja. Omelan Jungah terus berdengung di telinganya, dia memang tidak pernah puas kalau belum ngomel panjang lebar. Jungah selalu menyalahkan Kara untuk segala hal, tak pernah bersikap manis, hanya mengomel dan mengeluh. Kara yang tengah galau, benar-benar tidak tahan.
"Berhenti mengomel, Nyonya Park." Kara menarik napas panjang, dia mendekati Jungah yang terkejut.
"Apa kau bilang?"
"Aku bilang berhenti mengomel, kalau tidak,"
"Apa? Kalau aku tidak mau, kau mau apa, Ji Kara?"
"Aku akan berhenti bekerja."
Jungah tertawa, terdengar merendahkan dan menyebalkan, dia menunjuk pintu kaca dengan ujung dagunya yang runcing sembari berkata: "Pergi saja. Memang aku peduli."
Kara geming, matanya berair, dia menyesali ucapannya, tapi sayangnya Kara terlanjur kesal pada Jungah yang selalu memarahinya. Kara melepas celemek hijau muda yang dia pakai, lalu membuangnya ke lantai. Dia menyambar tas selempang di atas meja kayu, lalu buru-buru meninggalkan toko, mengabaikan Jungah yang menyemburkan sumpah serapah di belakang sana.
Hujan turun kian lebat, mengguyur tubuh kurus Kara yang terhuyung-huyung. Kara duduk di halte bus, menangis sendirian, tertunduk-tunduk, tetesan cairan bening berjatuhan di atas kedua tangannya yang mengepal. Kara tidak paham kenapa dia harus sesedih ini, sejujurnya Kara sudah ingin berhenti bekerja pada Jungah sejak setahun lalu. Saat ini Kara merasa sendirian, terpuruk, merana, walau kata sendiri sudah melekat sejak usianya baru menginjak tujuh tahun.
"Apa yang kau lakukan di sini?"
Kara terlonjak sangking terkejutnya, dia menengadah dan kali ini Kara nyaris terjungkal ke belakang. Pria yang datang ke toko bunga seminggu lalu ada di depannya, berdiri membungkuk, mengamati wajahnya dengan alis nyaris bertaut. Rasa marah, kesal, dan putus asa, seketika menyeruak, memenuhi hati dan pikiran Kara. Sambil menyeka air mata, Kara berdiri, lalu mendorong pria itu kuat-kuat.
"Kenapa kau baru datang sekarang?" Pria di depan Kara melangkah mundur, tiap kali Kara melangkah maju. Alisnya kian berkerut, bingung, belum sepaham dengan apa yang Kara bicarakan kepadanya.
"Aku sudah menunggumu selama seminggu, tapi kau tidak pernah muncul. Sekarang kau datang setelah aku bertengkar dengan Park Jungah dan dia memecatku." Kara menangis, dia masih terus mendorong pria itu. Suara tangisan Kara, timbul tenggelam di antara hujan yang semakin deras.
"Apa maksudmu?" kata pria itu pada akhirnya.
"Kau menyebalkan, aku benci padamu." Kara berhenti mendorong, dia kembali duduk di bangku halte. Diam selayak patung, tak peduli dengan kebingungan yang semakin tergambar nyata di wajah pria yang ikut duduk di sebelahnya, memberi jarak lima jengkalan tangan di antara mereka.
Setelah melewati sepuluh menit dalam kesenyapan, pria itu akhirnya berkata: "Jadi kau dipecat?" Dia memperhatikan Kara yang menunduk, gemetar, basah kuyup.
"Ini semua salahmu." Kara menoleh. Rambut panjang Kara melekat di pipinya yang memucat, bibirnya tampak membiru, tubuhnya membeku dan tulangnya serasa mati rasa. "Kalau saja kau datang lebih cepat, aku pasti tidak akan dipecat," tukasnya.
"Bicaramu seperti manusia tidak waras."
"Ya. Aku memang sudah gila." Kara membuang muka, lalu menghela napas panjang-panjang. "Sudahlah, lupakan saja semua yang kukatakan padamu, aku hanya—merasa terlalu sedih— jangan dianggap serius." Kara sadar sikapnya berlebihan, toh mereka tidak saling kenal.
Kara beringsut ke tepi halte, berharap bus segera datang, jadi dia bisa cepat-cepat pergi dari hadapan pria itu, lalu tidur di kamar sewaannya sampai pagi. Sendirian, seperti biasanya. Akan tetapi lagi-lagi harapan tak sejalan dengan kenyataan, bus belum datang, hujan juga kian lebat. Kara semakin kedinginan dan kebingungan.
"Apa kau mau bekerja denganku?"
Kara menoleh. "Ap—apa?"
"Bekerja denganku, kau mau?"
Kara menengadah, menatap pria di depannya agak lama, mencoba menelaah apa yang baru saja didengarnya.
"Kau baru dipecat, bukan? Kau pasti butuh pekerjaan. Aku ingin jawabanmu sekarang, kau mau atau tidak?"
Kara hanya sempat mengerjab tiga kali tanpa bisa berpikir, dia kedingingan, otaknya jadi buntu. Kara kembali mengerjab saat jemari hangat pria itu menjabat tangannya yang dingin.
"Deal?" katanya.
"Apa?"
"Deal?!" ulang pria itu.
"Aku tidak mengenalmu, bagaimana kalau ternyata...,"
"Aku Kim Suho. Kau bisa mencari segala sesuatu tentang aku dan keluargaku di google."
"A—pa?"
"Aku punya empat adik laki-laki. Mereka tidak bisa diatur, selalu melakukan hal yang membuatku pusing. Tapi aku sangat menyayangi mereka semua," tambah Suho cepat-cepat sebelum Kara berpikir dia bukan kakak yang tidak peduli pada saudaranya. Kara masih diam, dia semakin bingung dan kedinginan.
"Tugasmu hanya mengatur mereka supaya sedikit terkendali, memastikan mereka makan dengan baik, pergi sekolah, dan bekerja. Aku akan membayarmu dua puluh juta won tiap bulannya."
"Ap—apa? Dua puluh juta won?!" Kara hampir saja tersedak napasnya sendiri, matanya melebar, menatap Suho nyaris tanpa kedipan.
"Kenapa? Kurang?"
"Bu—bukan seperti itu, hanya saja... dua puluh juta, aku rasa terlalu banyak."
Kara mencoba mengatur napas yang tiba-tiba terasa pendek. Selama hidupnya Kara tidak pernah membayangkan uang sebanyak itu. Dia bisa menghabiskan uang itu dalam beberapa bulan tanpa perlu bekerja, membeli pakaian mahal dan sepatu hak tinggi model terbaru dari merek kenamaan yang sudah diincarnya sejak lima bulan lalu. Seketika Kara berharap sepatu itu belum laku terjual.
"Itu tidak seberapa, adik-adikku bukan tipe pria manis. Kau pasti akan kewalahan. Jadi bagaimana, kau setuju?"
"Ba—baiklah," jawab Kara, setengah yakin setengah ragu.
"Selama kau bekerja untukku, kau akan tinggal di rumahku. Kalau kau masih meragu," sela Suho saat Kara hendak memotong kalimatnya, "cari info sebanyak mungkin tentang keluargaku di internet, atau kau bisa membeli majalah TIME bulan lalu."
"Kau benar-benar akan membayarku dua puluh juta won tiap bulannya?"
"Aku tidak pernah bercanda untuk hal seserius ini."
Bayangan dirinya dengan tumpukan uang memenuhi pikiran Kara, tersenyum congkak lalu terkekeh menyebalkan, membisikkan hal-hal mewah yang bisa Kara miliki kalau mengambil pekerjaan itu. Dia bisa menyewa hunian yang lebih layak dari tempat tinggalnya saat ini—ruangan sempit di atas atap, tiap musim panas Kara serasa berada di area sauna, beli penghangat ruangan untuk musim dingin, beli mantel baru, dan sangat mungkin untuk membeli sepeda motor. Tanpa sadar Kara tersenyum lebar bersama tumpukan uang, yang semakin memaksanya untuk mengangguk setuju. Saatnya merasakan hidup yang lebih baik, jerit Kara dalam hati.
"Baiklah."
"Bagus. Besok pagi jam delapan, tunggu aku di sini. Paham?"
Tak mau repot-repot menunggu jawaban Kara, Suho sudah buru-buru masuk ke dalam BMW hitam yang terparkir di depan halte, meninggalkan Kara yang membeku kedinginan di belakang sana. Sendirian.
----
TBC
23 April 2017
Hi SaniHun nih ya penggantinya, Secret of The Swain, maaf banget Summer in Luv pending .-. Hehehee
Met ketemu di part selanjutnya
-
Salam KeCe
Ririn Setyo
KAMU SEDANG MEMBACA
Secret of The Swain
FanfictionJi Kara, gadis 25 tahun yang baru saja dipecat dari pekerjaannya, tiba-tiba mendapat tawaran pekerjaan dari pria konglomerat untuk menjaga keempat adiknya. Gajinya menggiurkan, tapi syaratnya sangatlah tidak masuk akal. Kara harus tinggal di rumah p...