11

173 21 3
                                    

Mel, kasih kalungnya ke Papa, terus pulang ke rumah. Hidup sama manusia, jangan sama hantu.

Melody menghapus pesan papa yang masuk semenit lalu. Dia berpikir sebentar, lalu berjalan ke kamar. Dia mengeluarkan kalungnya dari laci dan memotretnya, lalu mengirimkannya ke Kiara.

Ki, bisa bantu gue untuk cari tahu tentang kalung ini, nggak? Ini kalung apa, ya? Sekalian harganya, kalau bisa. Makasih sebelumnya.

Melody melemparkan ponsel ke kasur dan segera keluar kamar. Dia takut Agus berbuat sesuatu pada laptopnya. Hari ini agendanya membuatkan Agus sebuah surat lamaran kerja.

"Eh, lo klik apa, tadi?"

Ketika kembali duduk, Melody melihat tampilan layarnya berubah ke bagian folder. Padahal saat dia pergi, ada di Microsoft Word.

"Mboten, Mbak." Agus beringsut mundur, meraih gelas es teh manis lalu menyedotnya sedikit-sedikit.

"Ini folder-folder novel gue, duit gue. Jangan buka-buka sembarangan!" kata Melody, galak. Novelnya adalah anak-anak yang dia lahirkan dengan susah payah. Sel telur dan spermanya adalah riset dan bergadang.

"Wah, Mbak'e hebat, punya novel sendiri." Agus juga suka membaca. Dia senang melihat rak Melody yang penuh buku.

"Gue harus cari nafkah, Suga. Apa lo tahu impian kecil gue?" Melody memutar-mutar kursinya sambil menutup mata. Berkhayal. "Punya suami kayak Zainuddin. Dia itu penulis, udah gitu ganteng, kaya, terkenal, setia." Melody masih belum bisa move on dari Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck yang bikin dia sama Selena tangis-tangisan sampai jam dua pagi.

"Zainuddin, kan, cintanya sama Hayati, Mbak."

Melody bertepuk tangan karena akhirnya, ada hal yang nyambung untuk dibicarakan dengan si Agus, manusia kudet.

"Hampir semua buku di perpustakaan kelurahan udah saya baca, Mbak." Agus menepuk dadanya dengan bangga. "Perempuan di Sarang Penyamun, Salah Asuhan, Di Bawah Lindungan Ka'bah." Agus menghitung dengan jari.

"Heh, jangan sombong! Gue udah baca semua seri Harry Potter. Nah, yang di rak sana itu, Sherlock Holmes juga udah gue baca semua. Gue udah baca novel zaman dulu dan yang kekinian."

"Mbak Mel itu yang sombong." Agus mencibir.

Melody kembali menghadap laptop, mulai mengetik CV Agus yang bersumber dari pemikirannya. Awalnya, surat lamaran itu mau ditulis tangan. Berhubung Agus menulis masih pakai ejaan lama dan diajarkan ejaan yang baru selalu salah, maka akhirnya diketik.

"Saya kemarin dapat satu buku, loh, Mbak." Selain menyapu, cuci piring, dan bersih-bersih, Agus juga menghabiskan waktu dengan membaca. Walaupun agak kesusahan karena tulisannya beda. Kata Melody, sekarang sudah pakai ejaan baru.

"Nanti kalau ditanya, bilang kalau rumah lo itu di kampung udah hancur kena longsor. KTP, akta kelahiran, ijazah lo, apalah, semua nggak ada yang tersisa. Maka dari itu, lo merantau ke sini."

Agus mengangguk bosan, Melody sudah mengatakan itu tujuh kali. Dia langsung mengiyakan begitu Melody bilang akan mendaftarkannya sebagai office boy di sekolah tempatnya bekerja.

Ya, benar. Awalnya, dia tidak tahu office boy itu pekerjaan apa.

"Nggak apa-apa, ya, Suga. Lo itu guru, tapi turun kasta jadi OB." Melody meraup camilan berbentuk sereal. "Kerjanya masih tetap di sekolah. Apa-apa memang harus dimulai dari bawah. Bayi juga ngerangkak dulu, kok, nggak langsung lari."

"Ya, Mbak, saya juga bosan ngganggur." Lebih tepatnya, bosan hanya mengerjakan pekerjaan rumah setiap hari.

"Nih, gue buat lo lahir tanggal 24 Agustus 1991. Umur lo dua puluh lima." Melody menunjukkan tulisan itu dengan cara mengebloknya. "Jangan sampai salah kalau ada yang tanya, lo bisa ketahuan."

Kutunggu Kau di 2017 (Edisi Revisi)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang