55 | Persiapan (6)

163 20 12
                                    

"Kau sedang apa?" tanyaku menghela napas panjang. Perempuan tidak waras ini benar-benar menguji kesabaranku. Ia kembali berlagak seperti aktris sinetron kolosal, persis sekali dengan pertemuan pertama kami di kamar tamu.

"Mengancammu!" jawabnya menantang. "Jika kau tidak mengatakan ke mana aku harus mengikutimu, maka aku akan tetap di sini!"

Tanganku memegang kedua bahu si perempuan tidak waras, lalu memutar tubuhnya menghadap butik. Tanpa mengucap sepatah katapun, aku menunjuk tulisan 'Batik Antakesuma' yang terpampang jelas di hadapan kami.

"Mengapa kita harus ke sana?" tanyanya angkuh. "Aku tidak tahu tempat itu dan tidak sudi masuk kesana."

"Kau harus ganti pakaian," jedaku beberapa detik. "Tapi, kalau kau ingin tetap pakai piyama ya terserah saja. Aku tidak perlu repot-repot menemanimu membeli pakaian."

"Piyama? Apa itu?"

"Pakaian tidur."

"Pakaian tidur?" tanyanya kemudian menunduk memandang piyamaku di tubuhnya. Dengan cepat, ia menegakkan kepala kembali dan melotot padaku. "Jadi, selama ini aku mengenakan pakaian tidur? Lancang sekali! Di mana rasa hormatmu! Bisa-bisanya kau memberiku pakaian tidur!"

"Memangnya aku harus memberimu pakaian seperti apa? Kondisi waktu malam itu sangat darurat dan hanya ada pakaianku, pakaian laki-laki. Tidak ada pilihan lagi, selain memberimu piyama yang bisa dikenakan juga oleh perempuan."

"Baiklah. Jika hanya pakaian tidur yang bisa kukenakan, apakah tidak ada pakaian tidur yang lain?"

"Maksudnya?"

"Seleramu buruk."

"Apa?" Keningku mengernyit bingung.

"Ya. Pakaian tidur ini. Bentuknya aneh dan tidak indah."

Aku terperangah. Rahangku seakan jatuh. Apa aku tidak salah dengar? Dia baru saja menghina piyama mahalku?

"Kau sadar tidak yang baru saja kau bilang? Jangan sembarang bicara! Piyama di tubuhmu itu nilainya sangat tinggi! Setara dengan harga mobil!"

"Benarkah? Aku tidak percaya."

"Ya, sudah! Terserah saja kalau kau mau bertemu orang-orang dengan pakai piyama. Yang jelas, pakaian ini sama sekali bukan dirancang untuk menghadiri pertemuan. Aku mau masuk ke butik sendiri!" tegasku mengakhiri perdebatan. Aku memakai kaca mata hitam, lalu pergi meninggalkannya di sisi mobil.

"Tu... tunggu!" teriaknya dengan derap langkah mengejarku.

***

Batik Antakesuma, perusahaan di bidang fashion batik yang dikelola Ayah adalah perusahaan yang pemasarannya menyasar kelas atas. Bukan hanya itu, sebagai brand batik favorit yang selalu menjaga kualitasnya, Antakesuma menjadi patokan standar tinggi dalam berbusana batik. Eksistensinya pun semakin tersohor ketika menjadi brand yang mensponsori berbagai acara, tak terkecuali acara kenegaraan untuk pakaian resmi dan souvenir. Pertanyaannya? Siapa yang tak kenal Batik Antakesuma? Meskipun aku tidak mengikuti betul perkembangan perusahaan Ayah, tapi aku sudah bisa lihat sendiri seperti apa kemajuannya sekarang. Sejak sepuluh tahun lalu sewaktu kudengar Antakesuma hampir bangkrut, kuakui kebangkitan Antakesuma kini sungguh luar biasa.

Hari ini, untuk meluruskan permasalahan 'Skandal Maheswara', aku membawa si perempuan tidak waras bertemu para wartawan. Seperti rencana yang sudah berjalan, aku mengantarnya ke cabang butik Antakesuma untuk membeli pakaian lebih dahulu. Aku sengaja memilih outlet cabang untuk mengindari keramaian dan kemungkinan dikenali banyak orang. Awalnya aku tidak terpikir membeli pakaian untuknya, sampai Ayu menyadarkanku kalau si perempuan tidak waras harus berpenampilan baik hari ini. Dan hal itu sesuai dengan apa yang akan aku lakukan di konferensi pers nanti.

Get In Touch (TAHAP REVISI) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang