Part 16

2.7K 171 13
                                    

'Tawaran'

Sesampainya di rumahnya, jam menunjukkan pukul setengah 6 sore, Reava meletakkan tasnya diatas sofa dan menghempaskan diri ke atas sofa ruang tamu tersebut.

Dia menerawang kejadian saat Reova memintanya membantu lelaki itu untuk menembak sahabatnya. Dia menyantuh dadanya dan menghela nafas berulang kali untuk mengurangi rasa sakit di dalam dadanya yang menyiksanya saat ini.

Lo udah berencana nikung dengan suka sama orang yang disukai sama sahabat lo sendiri, Re. Jangan menambah kesalahan dengan bener bener nikung. Sadar diri, Re. Sadar diri.

Reava tersenyum pahit saat batinnya sendiri kembali mengingatkannya, dan lagi lagi mengingatkan agar dia sadar diri dengan keadaan yang ada.

Reava mengacak rambutnya dengan kesal dan bangkit untuk menuju ke kamar mandi. Bertujuan untuk mendinginkan kepalanya sekaligus berharap agar rasa sakit di hatinya dapat mengalir bersama dengan air.

★★★★★★★★

Hampir sebulan berlalu, dan selama itu, Reava tetap bekerja di tempat Reova. Tetapi, Reava cenderung lebih diam dan menjauh sebisa mungkin dari Reova. Dia hanya menjawab pertanyaan seperlunya saja soal kesukaan Evelyn dan apapun yang berhubungan dengan rencana penembakan tersebut.

Hal lain yang mengejutkan adalah, sekitar seminggu yang lalu, dia didatangi oleh salah satu perwakilan ambassador model ternama dan ditawari pekerjaan menjadi seorang model, dengan gaji yang tidak kecil. Reava sebenarnya tertarik dengan tawaran tersebut, tetapi dia masih tidak yakin bahwa orang yang datang tersebut benar benar utusan dari ambassador model, pasalnya dia tidak pernah mengikutsertakan dirinya di dalam ajang permodelan apapun. Jadi saat itu, dia beralasan akan memkirikannya terlebih dahulu. Alhasil, orang tersebut memberikan contact yang bisa dihubungi Reava saat dia sudah mengambil keputusan.

Hari ini adalah hari penembakan Evelyn, dan Reava yakin 100% bahwa Evelyn akan menerima Reova.

Saat ini, Reova sedang duduk sendirian, berada jauh dari keramaian, tepatnya di bawah pohon besar yang ada di pojok taman belakang sekolah, benar benar tempat sepi, kan?

Entah apa yang ingin Reava lakukan disana. Reava hanya duduk diatas tanah berumput sambil memandang rumput rumput yang ada, seperti mencoba mencari seekor semut di antara rerumputan tersebut.

Hal itu ia lakukan sampai ada orang -lelaki- yang duduk tepat di sebelahnya. Reava mengernyitkan alisnya sebelum mengangkat wajahnya. Dan yang ia dapati adalah, "Kak Devan.." Ucapnya sedikit terkejut.

"Kakak ngapain disini? Bukannya harusnya sama Kak Reova?" Lanjut Reava. Devan tersenyum lebar. "Ada masalah gue disini? Perasaan gak ada tanda kalo tempat ini punya lo, deh." Reava hanya terdiam dan kembali menatap rerumputan saat mendengar ucapan Devan.

Suasana menjadi hening beberapa saat, hanya ada suara dedaunan bergemerisik karena angin yang meniupnya. Sampai salah satu dari mereka membuka mulutnya dan bersuara,

"Lo suka sama Reova."

Satu kalimat itu jelas bukan pertanyaan, melainkan pernyataan. Dan kalimat itu sukses membuat Reava kembali mendongakkan kepalanya. "Apa?" Hanya kata itu yang keluar dari mulutnya.

"Gue tau semuanya. Lo pikir gue ini bukan orang yang peduli? Asal lo tau, walaupun tingkah gue slengean dan terkesan gak pedulian, gue kasihan banget sama lo." Devan balas memandang Reava.

"Lo secret admirer yang setiap pagi pagi banget belain dateng cuma buat naruh surat di lacinya, lo orang yang jadi pembantu di rumahnya, lo orang yang terkesan selalu salah tingkah saat deket sama dia, lo orang yang bantu dia ngerencanain cara nembak Evelyn hari ini, dan yang pasti.... Lo pembohong yang masih punya hati karena belum nikung sahabat lo sendiri. Inget, belum." Devan menekankan kata belum.

"Gue tau semua itu dengan gampang dan lo gak perlu tau sumbernya. Sekarang yang mau gue tanyain, lo mau jujur sama perasaan lo dan nikung sahabat lo, atau lo mau berhenti berharap dan pergi?" 

Reava masih menatap Devan dengan pandangan tidak percaya. "Gue butuh jawaban lo, bukan pandangan aneh lo." Tegas Devan.

"Gue mau berhenti dan pergi, Kak. Tapi.. Gue gak tau caranya." Ucap Reava. Dia tidak tau bahwa orang seperti Devan, aslinya seperti ini.

"Lo udah punya caranya. Seminggu yang lalu, ada model ambassador yang datang ke rumah lo, kan?"

Reava membulatkan mata, "Jadi itu---"

"Iya, gue yang merekomendasikan lo. Karena, kalo dibenerin, lo punya high fashion dan lo punya model's body. Dan saat pertama kali mereka ngeliat lo dengan foto yang gue tunjukin, mereka langsung ada respon positif. Dan gue rasa, mereka beberapa kali ngikutin lo, baru akhirnya mereka nawarin kontrak buat jadi model."

"Lo masih punya kesempatan buat nerima kontrak itu. Mereka bisa bernegosiasi buat pembayaran kontrak di muka, kok. Jadi lo bisa bebas dari Reova dan memulai karir lo sebagai model. Yah, walaupun gak segampang itu. Gue sendiri sebagai model harus usaha keras bagi jadwal sekolah normal sama kehidupan di dunia model. Tapi, gue bakal bantu lo. Lo mau?"

Ini adalah kesempatan bagus untuk Reava. Dia memejamkan matanya sejenak, setelah beberapa saat, dia membuka netra obsidiannya itu dan mengangguk mantap.

"Lo bisa telepon mereka. Bilang kalo lo mau diskusi soal hal ini." Ucap Devan tersenyum.

"Kak..."

"Hm?" Devan menaikkan sebelah alisnya.

"Kakak gak suka sama Kak Reova, kan?" Devan membulatkan matanya.

"Sialan lo. Gak semua cowok yang jadi model itu gay. Please.. Gue bahkan gak ngerti siapa pencetus pemahaman itu pertama kali. Gue masih suka cewek kok." Ucapnya, lalu terdiam sesaat. "Apa ada yang bilang gue suka sesama jenis?" Lanjutnya dengan wajah ngeri.

Reava tertawa lepas, "Gak ada, Kak. Takutnya aja begitu." Katanya disela tawanya.

"Lo manis, sih. Pantes Alan suka." Ucap Devan sambil menatap wajah Reava dengan pandangan puas. "Bagus kalo begitu, berarti gue gak salah milih orang buat ambassador itu." Lanjutnya.

"Hah?" Ucap Reava mengerutkan alisnya.

"Bener, kan? Gue gak salah pilih." Ucap Devan heran saat melihat ekspresi aneh dari Reava.

"Bukan, bukan itu. Sebelumnya, lo bilang kalo Kak Alan suka sama gue?" Tanya Reava. Devan menepuk keningnya dan meringis. "Keceplosan. Hehe." Ucapnya polos.

"Jadi beneran?" Jantung Reava bergemuruh tidak nyaman. Dia tidak percaya hal ini. Dan jawaban yang diberikan Devan hanyalah anggukan.

"Tapi, gue gak nganggep Kak Alan lebih dari sekedar temen, Kak. Duh, gimana dong?" Kata Reava resah. Dia tidak akan tau apa yang akan terjadi selanjutnya jika situasinya seperti ini.

"Kenapa gak lo coba nerima dia di hati lo aja, sih?" Tanya Devan. Reava menggelengkan kepalanya. "Gue udah buat banyak kesalahan, dan gue gak mau kesalahan gue nambah hanya karena gue gak jujur sama perasaan gue sendiri. Sama aja gue nganggep Kak Alan pelarian kalo gitu." Ucapnya. "Jujur, gue gak bisa suka sama orang lain kecuali Kak Reova, untuk saat ini." Lanjut perempuan itu.

"Jadi, gue ditolak?"

Saat itu pula Reava dan Devan kompak mengarahkan pandangannya kearah Alan yang ada di depan mereka, entah sejak kapan. Dengan senyum yang menyimpan luka di dalamnya. Dengan mulutnya, dia meminta ketegasan sekali lagi,

"Gue ditolak ya, Re?"

★★★★★★★★

Boom... Gimana tuh.. Apa yang akan dilakukan Reava ya kira kira?:))

Btw.. Aku ngetik waktu di bus.. Ujian selesai dan ini saat untuk jalan jalan.. Yeayy..

Vomments yang banyak ya... Biar aku makin semangat nulis:D

Callista

Reova & ReavaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang