Pluviophile; a person who loves rain

102 22 15
                                    

Note: Ini sedikit panjang, pastikan mendapatkan posisi yang enak untuk membacanya. Semoga menyentuh hati. Happy Reading

Hati tak pernah bisa memilih dimana ia akan berlabuh,

berurakan penuh nada dan gaya, mengakui kekuatan lebih dari akal pikir.

Hati memaksa diri menjadi Pluviophile, memaksa mencium bau petrichor, memaksa untuk jatuh hati pada pecandunya.

Kepada orang yang berteriak ‘lari’ ketika hujan turun, Jungwoo.

-;-;-


Aku mendapati lelaki itu lagi di dekat jendela ketika awan mulai menjadikan tangis sebagai hobinya. Lelaki berusia sekitar 19 tahun itu menatap penuh lekat ketika air hujan memukul-mukul tanah di halaman sebuah café, tempat lelaki ini mendiamkan diri sekarang.

Aku mendekatinya perlahan dengan secangkir coffee latte di tanganku. Tanpa suara, aku duduk di depan kursinya. Aku pikir lelaki ini baru saja diputuskan pacarnya, hingga ia akan menatap nanar tetesan hujan itu, menelan pahit sepahit ironi. Tapi ada yang aneh ketika aku menatap wajahnya, ia tersenyum. Seolah asyik melihat burung-burung mungil didepannya mandi pada genangan air.

“Aku harap Kim Shin tidak mudah baper.” Kataku memecah ketidasadarnnya. Ia tersentak, untuk kemudian ia menatapku dengan senyum yang sedikit dipaksakan. Entah senyum untuk aku -orang yang sok kenal mendekatinya- atau senyum untuk ucapanku yang terdengar seperti lelucon. Ia kembali menatap ke luar jendela, jelas tidak mengacuhkanku.

“Seandainya pemilik café menarifkan uang duduk per jam di café ini, ya?” Kataku tajam jelas penuh sindiran.

Lelaki ini dua jam yang lalu duduk di tempat ini tanpa memesan sesuatu apapun, membiarkan pelanggan lain hanya datang untuk memesan coffee tanpa menikmati di tempat. Tidak ada meja lagi.

Ia menoleh lagi, tersenyum seperti biasa lalu menggaruk tengkuknya, “Maaf, mbak. Saya lupa memesan.” Katanya.

“Nih, gratis.” Aku menyodorkan secangkir coffee latte yang aku bawa. Ia tersenyum, malu-malu mengambil sodoran coffee latte dan tak lupa mengatakan ia akan membayarnya.

“Oh ya, ketika aku beridiri disana sebagai seorang barista,” aku menggerakan pandanganku ke tempat orang yang melayani pembeli, “kamu boleh memanggil mbak. Tapi, sekarang jam kerjaku sudah habis. Lagi pula aku pikir kita sebaya.” Lanjutku

Lelaki ini tersenyum kecil lalu memaksakan senyumnya berhenti dengan menyeruput coffeenya pelan. “Its rainy! My favorite one! I’m Pluviophile.” Katanya tiba-tiba seolah menjelaskan mengapa aku sering mendapati dirinya menatap keluar jendela ketika hujan turun.

Aku menyeringai menanggapi pengakuannya. “Tak heran,” responku singkat, berjeda beberapa detik, rasa ingin tahuku memulai, “Kenapa? Kenapa suka hujan?”

Mereka yang menyukai hujan cenderung melankolis dan tertutup. Setidaknya buku yang kubaca minggu kemarin menjelaskan ini karena kulihat ia terdiam, sedikit menimbang.

“Em, Hujan menentramkan jiwa dan pikiran. Ketika langit mulai mendung malah membuatku bahagia. Mendamaikan, mungkin?” Jawabnya yang tidak sarat akan keyakinan

Aku terdiam. Bagaimana bisa langit mendung menjadi sumber kebahagiaan? Ketika iklim di dunia sudah tidak teratur lagi, ketika hujan yang turun lebih sering diikuti angin yang bertiup kencang. Tidak hanya itu kilatan dan petir yang menggelegar terdengar sangat menyeramkan.

Pluviophile ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang