Embun Fajar

153 4 6
                                    

          Kelopak mawar baru saja merekah, tetesan embun bergulir pelan menetes di tanah basah sisa hujan semalam. Aku menatap semua itu dari balik jendela. Menatap langit berwarna jingga yang perlahan membentangkan layar biru. Matahari yang mengintip malu-malu di balik itu. Seharusnya hari ini tetap gelap seperti semalam, ah.. pelangi  di ufuk timur, indah, seakan tanda ada harapan baru. Bagiku harapan itu sudah musnah, lenyap bersama kepergiannya dari hidupku. Lingkaran hidup terus berputar, ada yang lahir dan ada yang mati, ada yang datang dan pergi, itu aku ketahui, tapi aku tetap… tidak bisa merelakan kepergian dia yang sangat kusayangi.

Dia cantik. Rambutnya panjang laksana air terjun, terurai lembut di punggungnya. Senyumnya seperti mentari pagi yang menyiratkan segala kebaikan, namun sekaligus memanaskan jiwa. Dia sempurna bagaikan salah satu bidadari dari legenda Jaka Tarub. Aku mencintainya dengan caraku. Aku mencintainya meski tidak ada yang mengerti. Cinta tidak bisa dipahami dengan kata-kata saja, tapi perbuatan. Yang aku tahu dia juga mencintaiku, tapi kenapa dia sekarang pergi? Termiliki oleh tangan yang lain. Aku tidak tahu dimana letak kesalahanku.. yang aku tahu salahku terlahir dalam tubuh yang salah sehingga  tidak bisa utuh memilikinya.

“Aku tidak bisa bersamamu lagi..” Dia menunduk, tak sanggup menatap wajahku yang perlahan memucat.

“Kenapa?” Kutahan perih yang menyiksa hatiku.

“Aku akan menikahinya…”

“Kenapa?” Aku mempertanyakan segala kata-kata yang terucap dari bibir tipisnya. Kepalaku tiba-tiba pening.

“Aku tidak bisa mencintaimu lagi. Aku akan berusaha mencintainya.”

Aku terdiam. Kutelan pil pahit kekecewaan itu. Tidak ada yang bisa aku lakukan untuk mencegahnya karena aku tahu dengan pasti hubungan kami tidak akan bermuara kemana-mana. Tidak dalam pernikahan, tidak juga restu orang tua. Namun aku bangga mencintainya, pernah menjadi bagian hidupnya.

Hari ini hari pernikahannya, dia mengundangku, tapi aku tak sanggup datang. Ya ada yang bilang, menyayangi adalah merelakan orang yang disayang bahagia meski dengan orang lain. Tapi aku.. masih belum bisa merelakan kehilangannya, itu saja. Cinta ini akan selalu tertancap erat di hatiku karena aku yang pertama memulainya.

Waktu kecil aku memang seperti layaknya anak kecil yang lain, senang bermain boneka, masak-masakkan. Mulai SMP, aku merasakan keanehan, sementara teman-temanku mengalami cinta monyet dengan teman sekelas atau kakak kelas, aku tidak berminat. Aku merasakan sesuatu yang aneh pada teman sejenis, semacam ketertarikan seksual pada mereka. Aku mengagumi bentuk  tubuh mereka yang indah, bukan itu saja, aku ingin menyentuh mereka. Namun perasaan itu masih bisa kutahan, kuanggap itu hal yang lumrah terjadi, bukankah seorang wanita akan mengagumi wanita lain yang lebih menarik darinya seperti layaknya mengidolakan seorang artis? Perasaan itu coba kutekan dengan memacari seorang pria waktu SMA.

Aku menginjak bangku kuliah, hasrat untuk ingin mencintai sesama jenis tidak terbendung lagi. Aku memutuskan pacarku, karena aku menemukan seorang tambatan hati yang mempunyai perilaku serupa denganku. Teman satu jurusan. Kami sering menghabiskan waktu bersama, nonton film, maupun sekedar nongkrong di café. Aku menikmati saat-saat itu, bergandengan dan berangkulan menjadi hal biasa, dan tidak ada yang menganggap aneh karena kami sesama cewek. Hal wajar melihat sepasang wanita akrab terikat dalam tali persahabatan. Aku lega dan bahagia menemukan pelabuhan yang seia untuk menambatkan perasaan terlarang ini dan aku pikir kami akan bahagia, hidup dalam dunia kami sendiri selamanya.

“Siska… maafkan aku..”

Malam terasa makin gelap saat dia mengucapkan  kata itu sekaligus mengakhiri hubungan terlarang kami. Semalaman aku terlarut dalam kesedihan, meneguk minuman demi melupakan mata itu, senyum itu yang sudah beberapa bulan ini mengisi rutinitas hidupku. Berharap waktu berputar lagi dan tak pernah dia ucapkan kata perpisahan itu, bahwa dia akan bersamaku selamanya.

Kutatap keindahan pagi hari, kesal dengan keegoisan alam yang tidak turut bersedih untukku. Hanya embun yang bergulir di pucuk dedaunan, mengalir.. bersamaan dengan butiran bening dari kedua bola mataku. Dan fajar mengingatkanku padanya, senyumnya yang hangat menyinari hidupku. Sinar itu sudah pergi dan kegelapan melingkupiku sekarang..  Perasaan ini. Cinta ini. Berakhir. Sudah. Cukup. Sampai disini.

Friday, August 15, 2008 1:20:34 PM

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Feb 27, 2014 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

Embun FajarWhere stories live. Discover now