Duduk di beranda rumah menanti purnama yang tak juga tiba. Menghitung setiap detik waktu. Merangkai khayalan-khayalan yang mungkin terjadi di hari yang telah lama dinanti. Pernikahanku sudah dekat. Namun aku masih harus menunggu dua malam lagi untuk bertemu purnama, untuk sah menjadi istri. Ini sudah malam kesekian aku duduk di beranda rumah menantikan datangnya purnama.
Malam ini kuperhatikan awan-awan kesepian. Tanpa bintang. Tanpa bulan. Awan-awan berkumpul mengelompokkan diri membentuk bayangan. Kasihan sekali awan-awan itu. Akan kubagikan kisahku pada awan. Agar awan tak lagi kesepian. Bukan kisah orang lain yang ingin kubagi kepada awan. Ini hanya kisah cintaku dengan dia.
Purnama ketiga tahun lalu. Dia menggenggam tanganku kala itu. Aku melihat dia yang tak pernah melepaskan pandangannya yang kosong pada ujung jalan yang kami lalui. Sayup-sayup angin malam meredam panasnya mataku. Kuhentikan langkahku dan kutatap bintik matanya. Aku menatap dia tajam, meminta jawaban atas sesuatu yang pernah ia katakan. Dia membalas dengan mengelus lembut punggung kepalaku. Sedang aku tak dapat membaca raut wajahnya.
Sembilan tahun bukan masa yang sebentar untuk suatu hubungan bernama 'pacaran'. Aku dan dia melalui banyak hal. Hal yang membuat aku dan dia bahagia sudah pasti pernah kulalui. Pun perdebatan, menjadi suatu hal yang sangat biasa. Sangat biasa sekali. Sehingga perdebatan tak mampu mencipta ruang dalam hubungan kami. Kebahagiaan tak bisa dipungkiri meski harus menyatu dengan kesedihan. Sering kali aku bertanya, bisakah aku merasakan bahagia bersama orang yang berbeda? Tapi aku belum mau mencari jawaban atas pertanyaan itu.
Perbedaan aku dengannya dianggap sebagai sesuatu yang menakutkan oleh orang tuaku juga orang tuanya. Dia yang mengajarkan aku untuk tidak risau pada perbedaan, membuatku percaya pada hubungan yang telah terjalin selama sembilan tahun. Berbeda, bukan berarti tidak dapat bersama. Aku juga bisa melakukan banyak hal bersama dia. Aku dan dia dapat beribadah bersama meski dengan cara tak sama. Sama-sama mempercayai zat yang maha kuasa meski dalam wujud yang berbeda. Selama ada toleransi, semua akan baik-baik saja, bukan?
Kualihkan tatapanku pada ruas jalan, menahan titik-titik bening di ujung mata. Tidak boleh ada air mata hari ini, esok pun begitu. Aku harus menjadi kuat. Tak peduli seberapa besar rasa takut itu menggantung di ujung hati. Kulanjutkan langkah ringan yang sedari tadi menemani perjalanan aku dan dia. Di sepanjang jalan Dewi Sartika dan diantara pohon-pohon jepun di pinggir jalan, memori tentang aku dan dia kembali terputar.
Awan-awan terurai, mengubah sedikit bentuk bayangan. Di sela kecil bayangan awan, ada kerlip bintang. Rupanya bintang pun tertarik dengan kisahku. Awan-awan tak lagi kesepian. Sebelum melanjutkan kisahku kuambil susu coklat hangat kesukaanku. Supaya tak kering teggorokanku menceritakan kisah panjang aku dan dia.
Ketika malam purnama, aku menunggu dia di depan pura sambil mengamati bulan dan awan yang berarak. Menemani pedagang canang sari yang ramai diserbu pembeli. Pintu pura dipenuhi oleh umat hindu yang akan beribadah. Begitu anggunnya para wanita dengan kebaya putih yang dikenakan untuk beribadah. Dengan gagah para lelaki berkemeja putih dengan ikat kepala berwarna senada memasuki altar pura. Bersiap merayakan rahina purnama. Sesekali aku membantu ibu penjual canang sari yang biasa kupanggil mek Komang. Walau tidak banyak yang bisa aku bantu, nampaknya beliau cukup senang aku membantunya berjualan. Menemani mek Komang dan membantu beliau dapat mengurai rasa bosanku yang tidak suka dengan kata 'menunggu'.
"Dharma sudah selesai sembahyang, gek!" tunjuk mek Komang pada seseorang yang membuatku rela menunggu. Aku tersenyum. Pun begitu mek Komang yang seperti bisa merasakan apa yang aku rasakan. Dia menjemputku sambil mengucapkan terimakasih pada mek Komang karena sudah bersedia menemaniku.
Selepas urusan ibadah, acara aku dan dia siap dimulai. Mengelilingi kota kecil di bagian utara Bali. Kami suka merasakan angin malam kota Singaraja yang tidak meninggalkan kesan romantis bagi tempat yang terlalu sepi untuk disebut kota. Menciptakan sajak-sajak dicelah suara debur ombak. Mendiskusikan konflik sosial yang terjadi di sekitar kami. Atau melakukan hal-hal tak terduga yang tak pernah direncanakan. Seperti yang sudah pernah terjadi sebelumnya, bermain dengan sekelompok anak panti di taman kota misalnya. Dan hal-hal lain yang tak pernah terpikirkan olehku saat bersamanya. Kebersamaan kami di hari-hari biasa begitu menyenangkan. Berbeda pada hari minggu yang akan menjelma beribu kali lebih menyenangkan dari hari biasa.
KAMU SEDANG MEMBACA
You and I
Short StoryAgama tercipta karena cinta. Tidakkah lucu jika cinta terhalang agama?