[Bab 8]

56 9 0
                                    

"Aku ingin memeluknya dengan erat, dan menyampaikan bahwa aku rindu. Namun, nyatanya setiap kali aku bertemu dengannya, hanya diam yang bisa aku lakukan"

Keesokan hari nya aku bangun dan mendapati diri ku di pantulan cermin. Sepertinya aku lebih mirip dengan monster daripada seorang Alina yang anggun, ha. Semalaman aku kembali menangis. Menangisi hidup yang malang ini. Dan, aku tersadar, nyatanya aku sudah berubah menjadi perempuan yang cengeng rupanya.

Ah, kalau saja hari ini tidak ada Garuda Cup, aku akan memilih untuk membolos sekolah. Tapi, sayangnya aku masih memiliki tanggung jawab yang cukup dan aku tidak mau pandangan para guru dan siswa menganggap ku buruk hanya karna hal sepele—Edgar. Lagipula aku juga mempunyai hutang penjelasan kepada Rei. Jadi, aku menyiapkan mental untuk hari ini dan mulai bersiap – siap.

Sesudah bersiap - siap, aku menuruni tangga, menghabiskan sarapan, pamit kepada bibi dan melenggang keluar rumah. Hari ini pak Yanto tidak masuk karna sedang sakit, jadi mau tidak mau aku harus menggunakan transportasi umum. Sehingga aku memiliki peluang besar untuk telat. Ah, terkutuk lah hari ini.

Baru saja melangkah keluar dari pagar, aku sudah melihat mobil Edgar bertengger manis di depan rumah ku. Sementara itu aku bisa melihat Edgar berada di dalam mobil, tersenyum ramah kepada ku. Tanpa peduli, aku memutar bola mata ku dan berjalan ke arah kiri untuk keluar dari komplek rumah.

Sepertinya laki – laki brengsek itu alias Edgar keluar dai mobil. "Al! Alina! Tunggu dong!"Teriaknya dari kejauhan. Dan masih tanpa peduli, aku terus berjalan mengacuhkannya. Padahal, hati ini meronta meminta aku berbalik dan menumpang di mobil Edgar. Hh, aku benci harus seperti ini. Seolah – olah aku tidak peduli sementara dalam hati aku menjerit – jerit. Ini sulit di lakukan, tapi, aku tau aku bisa. Alina kuat.

Sesaat setelah berbelok ke kiri dan terhapus dari pandangan Edgar, aku mempercepat langkah untuk mencapai halte bus yang jaraknya cukup jauh.

***

Sudah 20 menit berlalu semenjak aku menunggu di halte bus, namun tidak ada angkutan umum satu pun yang lewat atau tidak ada penumpang. Aku duduk pasrah, menyerahkan diriku sepenuhnya dengan takdir. Aku sudah siap untuk terlambat, ditambah dengan hukumannya.

Aku menghela napas kasar. Menatap kosong ke arah depan. Dan dalam hitungan detik, aku terlonjak kaget melihat sebuah mobil sedan hitam berhenti di depan ku. Si pengemudi langsung menurunkan kaca dan memperlihatkan wajahnya. Betapa tidak percayanya aku melihat bahwa pengemudi itu adalah si menyebalkan a.k.a Edgar Pangestu. Aku langsung memutar bola mata dan membuang muka.

"Hei"Panggilnya lalu membunyikan klakson, mengartikan dia memangil ku. Aku menoleh kepadanya dengan malas.

"Naik. Atau lo mau telat?"Edgar menawarkan. Aku menimbang – nimbang selama beberapa saat. Ah, lagi – lagi aku harus kalah dengan keadaan. Aku tidak mau telat, tapi, aku juga tidak mau berada di dekat Edgar.

Akhirnya, dengan langkah gusar aku berjalan menuju mobil Edgar. Membuka pintu kemudian duduk dan memasang seatbelt. Aku bisa melihat melalui ujung mata ku—walau tanpa menoleh ke arahnya, bahwa Edgar sedang tesenyum puas. Dan, kembali aku merasa kesal karna aku tidak bisa melakukan komitmen yang sudah aku tetapkan.

Tidak ada satu pun yang membuka mulut di antara kami sehingga hanya suara deru mobil dan klakson yang memenuhi telinga ku. Dengan berpangku tangan, aku mengarahkan pandangan ku ke luar jendela. Masih hening, dan keadaan semakin canggung. Tetapi, sama sekali tidak memudarkan perasaan nyaman ku berada di dekatnya. Ah, jantung ini masih teras berdegup kencang. Seandainya saja jika aku sedang tidak marah padanya, mungkin keadaan sekarang dapat lebih baik.

Aku langsung menggeleng ketika pikiran itu muncul di kepala ku. Dan, beberapa saat kemudian, aku tersadar bahwa kami sudah hampir sampai. Untungnya sekarang masih pukul 06.36, masih beberapa menit sebelum terlambat.

Alina Untuk EdgarTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang