Sang Ayah (01)

170 4 0
                                    


Sang Ayah - Part 01



"Kak Venz." Sebuah suara mengagetkanku yang sejak tadi sibuk mencuci motor. Sejenak gerakan tanganku terhenti, keningku berkerut ketika menoleh ke arah sumber suara; ternyata yang memanggil tadi adalah Annisa, adik bungsuku.

"Ada sesuatu yang hendak aku bicarakan, Kak. Aku butuh pendapat dan jawaban dari Kakak," ucapnya menjelaskan.

"Tentang apa?" tanyaku tak mengerti.

"Tentang urusan keluarga kita, Kak. Aku menunggu di dalam." Annisa menolak memberitahu apa itu.

Aku hanya mengangguk mengiyakan lalu melanjutkan aktivitasku yang tertunda. Urusan keluarga? Ada yang menikah atau meninggal dunia? Sejak kapan pula kehadiranku dianggap sangat penting untuk suatu urusan keluarga? Benakku bertanya-tanya, tak biasanya Annisa datang ke kost. Sepertinya ada sesuatu hal yang penting, bahkan terlalu penting malah, karena biasanya ia hanya SMS atau menelpon bila menyampaikan dan atau membutuhkan sesuatu.

Setelah segala sesuatunya beres, aku lalu datang menemui Annisa. Dari luar jendela, ia sedang duduk diam sambil membuka lembar demi lembar dari sebuah novel yang sebelumnya kuletakkan di atas meja. Entah apa yang sedang dipikirkannya.

Wajahnya terangkat ketika menyadari kedatanganku. Terlihat jelas kalau ada sesuatu hal yang benar-benar membebani pikirannya.

"Ada hal penting apa?" tanyaku langsung setelah duduk di sebuah kursi yang kuambil dari sudut kamar, tepat di depannya.

"Minggu yang lalu ada tamu yang datang ke rumah, Kak," Annisa seperti ragu mengucapkannya.

"Trus, kenapa mesti lapor sama kakak? Gitu aja kok repot," jawabku sambil bergerak hendak bangun berdiri, tubuh lelahku butuh istirahat sejenak.

"Dengar dulu Kak, ini adalah hal yang penting." Langkahku terhenti karena Annisa mencekal tanganku.

"Apa urusannya sama Kakak? Apa setiap tamu yang datang berkunjung ke rumah Kakak mesti tahu?" tanyaku enggan.

"Bukan begitu, Kak. Tamu tersebut bukan orang biasa," ucap Annisa lalu melepas cekalannya pada tanganku.

"Memangnya dia berwujud apa sehingga bukan orang biasa? Sudahlah Nis, kamu terlalu membesar-besarkan hal yang sebenarnya tidak penting." Aku melangkahkan kaki ke sudut kamar dan menuang air minum.

"Tamu itu mengaku sebagai ayah kita, Kak." Tanganku terhenti di udara ketika mendengar kalimat Annisa barusan. Reflex aku menoleh dan menatap tajam wajah Annisa.

"Kita tidak pernah punya ayah, Nis. Jangan percaya pada orang yang datang dan ngaku-ngaku sebagai ayah kita," jawabku pada Annisa setelah minum.

"Pada awalnya aku juga tidak percaya, Kak. Tapi pada kedatangannya yang kedua kalinya, orang tersebut membawa beberapa lembar foto yang menunjukkan kalau memang benar ia adalah ayah kita." Annisa mencoba meyakinkanku.

"Jangan cepat percaya, Nis. Zaman sekarang ini editing foto bukanlah hal yang sulit untuk dilakukan." Dengan emosi aku duduk di kursi depan Annisa.

"Foto itu bukan hasil editing, Kak. Tampilan dan teksturnya menunjukkan bahwa benar itu adalah foto jepretan kamera puluhan tahun yang lalu," jelas Annisa lagi.

"Kakak minta kamu jangan terpengaruh dengan itu semua, Nis. Semenjak dahulu, kita tidak pernah punya seseorang yang disebut Papa. TIDAK PERNAH!!" Suaraku meninggi, penuh penekanan.

"Mama juga hanya diam, Kak. Tidak membantah dan juga tidak mengiyakan. Aku bingung harus percaya pada siapa," kata Annisa sambil meremas-remas kedua belah tangannya.

Dilarang Jatuh Cinta! 2Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang