21. Healing Hug

518 65 7
                                    

Langit biru di atas sana tertutup awan mendung, membuat siang yang seharusnya terik kini terlihat kelabu. Gerimis perlahan turun membasahi apa pun yang berada di bawahnya. Termasuk Shilla dan Deva yang kini berada di atas motor yang melaju cepat melibas jalanan ibu kota.

"Mau neduh dulu gak, Shill? Kayaknya hujannya makin deres." Tanya Deva sembari mengurangi kecepatan motornya.

"Nggak usah, Dev. Lanjut jalan aja, sebentar lagi juga sampe." Jawab Shilla.

Deva pun menuruti permintaan gadis itu dan kembali mempercepat laju kendaraannya. Tapi dugaannya ternyata benar, hujan turun semakin deras. Membuat tubuhnya dan Shilla kini semakin basah.

Tidak ada lagi yang bisa Deva lakukan selain tetap melaju karena sebentar lagi keduanya sampai di rumah Shilla. Lagi pula mereka sudah terlanjur basah kuyup jika ingin berteduh. Jadi, percuma saja.

Beberapa menit kemudian motor Deva sudah terparkir di pelataran rumah Shilla, sementara hujan masih belum reda.

"Masuk dulu yuk, Dev. Hujannya masih deres." Shilla sudah berdiri di teras dan Deva masih di motornya.

"Gak usah, Shill. Gue langsung balik aja, nanggung udah basah gini." Ujar Deva.

"Oh, ya udah kalo gitu. Hati-hati ya, Dev. Jangan ngebut-ngebut." Pesan Shilla.

Deva tersenyum, "Iya, gue balik dulu ya." Laki-laki itu kemudian kembali menyalakan motornya. Tapi sebelum menarik gas dan membawa kendaraannya keluar dari rumah Shilla, ia kembali menoleh pada gadis itu. "Shill."

"Hm?"

Deva menatap perempuan yang seluruh pakaiannya sudah basah itu. Wajah putihnya terlihat pucat, dan matanya masih sembab akibat menangis terlalu lama tadi.

"Jangan nangis lagi ya."

Apa yang diucapkan Deva itu membuat Shilla tersenyum, lantas ia mengangguk mantap untuk meyakinkan laki-laki itu bahwa ia tidak akan menangis lagi, walaupun ia sendiri ragu. Apa lagi jika bertemu dengan Cakka nanti, ia tidak tahu apakah dirinya akan baik-baik saja atau tidak.

Deva melajukan motornya, dan Shilla masih berdiri di sana memperhatikannya sampai laki-laki itu keluar dari gerbang rumahnya. Gadis itu lantas menghela napas, kemudian segera masuk ke dalam dan naik ke kamarnya. Ia ingin mandi dan segera  tidur, berharap ketika bangun nanti, ia sudah lupa akan patah hatinya.

• • •

Hari sudah sore, sudah hampir tiga jam Cakka menghabiskan waktu untuk berbincang dengan Pricilla di sebuah kafe. Dua cangkir putih di hadapan mereka yang tadinya penuh berisi kopi kini sudah kosong. Hujan di luar sana juga sudah berhenti.

"Mau kemana abis ini?" Perempuan yang duduk di depannya itu bertanya.

Cakka kemudian melirik jam tangannya. "Kayaknya langsung pulang." Jawabnya kemudian meraih ponsel yang ada di meja. Ternyata belum ada balasan apa pun dari perempuan yang sejak satu jam lalu ia kirimkan pesan.

"Pulang?" Ada nada heran dari pertanyaan Pricilla tersebut. Pasalnya, ia berpikir bahwa hari ini ia akan menghabiskan waktu seharian bersama Cakka sampai malam.

Cakka mengangguk. "Iya, aku ada janji sama Shilla soalnya." Jawabnya sambil mengetik sesuatu di ponselnya. Ia mencoba mengirim pesan lagi untuk orang yang namanya ia sebut barusan.

Tanpa laki-laki itu sadari, jawabannya itu membuat raut perempuan yang duduk di hadapannya tiba-tiba berubah. "Oh." Pricilla menghela napas.

"Ya udah yuk, kita pulang sekarang." Cakka memasukan ponselnya ke dalam saku.

Best Friend?Where stories live. Discover now