59 | Eksekusi (7)

147 19 20
                                    

'Skandal Maheswara' semakin memanas saja. Bukan hanya dalam berita dan media sosial, tetapi juga di kehidupan nyata. Aku melihat dengan mata kepalaku sendiri bagaimana kehebohan itu berlangsung. Sewaktu aku melajukan mobilku masuk ke area Panembrama, tampak para wartawan berbondong-bondong memasuki gedung untuk menghadiri konferensi pers sesuai rencanaku, Panca, dan Mas Panji. Bukan hanya para wartawan, tetapi juga para Perfectionist. Mereka yang semula sedang duduk-duduk santai, sontak berdiri dan bersemangat ketika melihatku datang.

Setelah melewati gerbang masuk, beberapa sekuriti langsung berjalan mengiringi mobilku yang perlahan mendekati gedung Panembrama. Para bodyguard juga berlarian dan sigap membuat barikade saat mobilku berhenti tepat di depan pintu masuk gedung. Sebelum turun dari mobil, aku diam sejenak. Aku mengatur napas, menenangkan diri, dan menyiapkan mental untuk menghadapi para wartawan nanti. Beberapa detik kemudian, aku merasa yakin dan mantap. Aku turun dari mobil dan langsung kudengar para Perfectionist berteriak histeris memanggil namaku. Dari kejauhan, aku menoleh ke arah mereka seraya tersenyum kecil. Hal itu sukses membuat mereka lebih histeris dari sebelumnya. Namun, aku tak melakukan itu lebih lama. Aku bergegas menuju pintu mobil sebelah kiri, di mana perempuan tidak waras itu duduk. Bukan karena mau bersikap romantis ataupun menunjukan image prince charming. Aku melakukannya karena khawatir ia membuang-buang waktuku lagi, sama seperti drama sabuk pengaman di depan butik Antakesuma. Begitu sampai, aku tersentak melihatnya. Perempuan tidak waras itu membuka pintu mobil sendiri.

"Aku bisa melakukannya sendiri. Aku tidak butuh bantuanmu," ucapnya angkuh setelah turun dari mobil. Tak ketinggalan, dagunya yang ia angkat tinggi-tinggi.

"Kau percaya diri sekali. Siapa yang mau membantumu? Aku hanya memastikan barangkali mobilku lecet karena tersentuh tanganmu itu," balasku.

"Jaga ucapanmu! Tak sepantasnya kau bicara kasar seperti itu padaku!" geramnya.

"Terserah," responku singkat. "Cepat masuk. Jangan buang waktuku lagi." Aku meninggalkannya, lalu berjalan menuju pintu masuk gedung.

"Serang!"

Seseorang berteriak. Kakiku yang sudah dekat dengan pintu masuk gedung, mendadak berhenti. Aku sudah menyuruh perempuan tidak waras itu untuk segera masuk, tapi ia malah membuat ulah lagi. Apa maksudnya 'serang'? Dia mau menyerangku?

"Apa lagi sekarang?" tanyaku marah. Sewaktu aku berbalik, tubuhku mematung. Seruan 'serang' ternyata bukan dari si perempuan tidak waras, melainkan dari Perfectionist.

Aku sempat lupa dengan keloyalan Perfectionist. Mereka yang semula berada di sudut halaman gedung Panembrama, kini tengah mengepung si perempuan tidak waras. Jumlah Perfectionist yang sangat banyak mampu menjebol barikade para bodyguard. Mereka yang tampak diliputi amarah, menyerang tanpa ampun. Tak sedikit dari mereka yang mencakar dan menjambak rambut si perempuan tidak waras. Kekacauan ini benar-benar di luar pemikiranku. Aku tak menyangka Perfectionist akan bertindak sejauh ini.

Mataku membulat saat pandanganku menangkap tubuh si perempuan tidak waras perlahan-lahan tenggelam di tengah lautan Perfectionist. Aku melihatnya berusaha melawan. Namun, ia tak berdaya karena kalah jumlah. Tak ingin sang juru kunci permasalahanku terluka dan membuat rencana gagal, akhirnya aku menerobos kerumunan Perfectionist dibantu para bodyguard yang kembali berhasil memposisikan diri mereka. Sekuriti pun turut serta dalam medan peperangan itu, berusaha memisahkan para Perfectionist dari perempuan tidak waras.

"Astaga!" pekik Panca.

"Cepat tolong Mas Judo!" seru Ayu.

"Aku takut, Ayu!" balas Panca. "Bagaimana caranya menenangkan Perfectionist yang sangar-sangar begitu? Mereka pasti sakit hati karena perempuan itu sudah mencemarkan nama baik dan menghancurkan citra Mas Judo!"

Di tengah-tengah kekacauan, samar-samar aku mendengar suara Panca dan Ayu. Bukannya cepat menolong atau mencari bantuan, mereka malah terus berdebat. Karena mereka tak bisa diharapkan, aku kembali fokus pada penyelamatan si perempuan tidak waras. Desakan para Perfectionist yang luar biasa, tak menghalangiku untuk terus menenggelamkan diri dalam kerumunan. Aku mengulurkan tanganku, berusaha menggapai tubuh si perempuan tidak waras yang semakin terhimpit. Tak berapa lama, aku merasakan tangan mungil nan ramping menggenggam tanganku sangat erat. Aku memandang ke arah si perempuan tidak waras dan kulihat wajahnya yang tampak meminta tolong. Merasa yakin bahwa ia adalah pemilik tangan ramping ini, dengan segera aku menariknya sekuat tenaga dari kerumunan. Aku mendekapnya dalam pelukanku, kemudian membawanya menepi dari para Perfectionist yang masih menggila tertahan oleh penjagaan bodyguard dan sekuriti.

"Kau baik-baik saja? Kau terluka?" tanya Ayu terdengar gemetar yang langsung menghampiri kami di sudut teras gedung. Setelah memeriksa keadaanku, ia beralih memeriksa setiap jengkal tubuh si perempuan tidak waras.

"A... aku baik-baik saja," jawab si perempuan tidak waras dengan napas tersengal-sengal.

"Syukurlah." Ayu menghela napas lega. Wajahnya yang semula nampak tegang berubah tenang.

Aku menunduk memandang perempuan tidak waras yang terduduk lemah di dekapanku, memastikan keadaannya betul baik-baik saja. Kami bertemu pandang beberapa detik sampai akhirnya, mata si perempuan tidak waras membulat sempurna disusul wajahnya berubah mengeras.

"Apa yang kau lakukan?" teriaknya sambil mendorong tubuhku, kemudian bergegas berdiri menjauh. "Kau mengambil kesempatan dalam kesempitan!"

Aku terperangah. Dengan cepat, aku kembali berdiri. Mataku menatapnya tajam, tak terima mendengar tuduhannya yang sembarangan. "Apa? Seenaknya menuduhku! Aku justru menyelamatkanmu! Seharusnya, kau berterima kasih padaku!"

"Menyelamatkan apa? Jelas-jelas kau melakukan hal yang sangat tidak sopan dengan memelukku!"

"Jika aku tidak menyelamatkanmu, kau bisa mati! Aku sudah peringatkan dari awal kalau posisimu sangat vital! Sangat rawan! Masalah ini membuatmu menjadi target utama mereka! Dan lihat apa yang baru saja terjadi padamu? Mereka menyerangmu dengan membabi-buta! Tanpa ampun! Bahkan, mungkin mereka bisa melakukan hal yang lebih mengerikan!"

Ya. Perfectionist adalah fans yang begitu setia. Aku mengetahui sepak terjang mereka dari awal aku debut sebagai idol hingga sekarang. Banyak hal yang mereka lakukan untuk mendukungku sampai bisa berada di titik ini. Mereka tak pernah meninggalkanku sekalipun aku tengah tertimpa masalah. Mereka selalu menjadi garda terdepan untuk melindungiku. Semangat mereka bagai prajurit yang bertempur sampai titik darah penghabisan.

"Kita sudah ditunggu, Mas." Suara Panca menginterupsi.

"Ayo masuk." Aku mengakhiri ketegangan.

"Kita juga masuk," ucap Ayu, lalu menggandeng lengan perempuan tidak waras. "Tidak apa-apa. Semua baik-baik saja."

Aku melangkah masuk ke dalam gedung bersama Panca. Begitu pun si perempuan tidak waras menyusulku didampingi Ayu. "Tugasmu di sini hanya duduk dan diam. Jangan menjawab pertanyaan apapun. Aku yang akan menjawab semua pertanyaan, termasuk pertanyaan yang mereka tujukan padamu," paparku cepat.

"Kau menyuruhku tidak bicara? Lancang sekali! Kau tidak bisa memerintahku!" sahut si perempuan tidak waras.

Langkahku terhenti. Aku memutar tubuh dan menatapnya lurus-lurus. "Apa kejadian tadi tidak cukup membuatmu mengerti? Kita sedang perang, perang yang tidak menggunakan pedang, panah, ataupun tombak. Senjata di sini adalah ucapan dan sikap. Salah bicara dan salah bersikap sedikit saja, senjata itu akan berbalik dan membunuh pemiliknya. Dia akan menjadi senjata makan tuan yang sangat mematikan." Aku mengambil napas dalam, kemudian membuangnya perlahan. Mataku terus terpatri dengan pandangan yang sedikitpun tak lepas darinya. "Ikuti ucapanku kalau kau mau selamat."

Get In Touch (TAHAP REVISI) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang