64 | Eksekusi (7)

138 13 11
                                    

Samar-samar aku bisa melihat wajah Judo di wajah wanita cantik ini. Mata dan bentuk wajahnya sama persis dengan Judo. "Apakah wanita cantik ini adalah ibunda Judo?" pikirku. Cukup lama aku memandangi gambar wanita ini, sampai akhirnya aku menyadari sesuatu yang sangat penting. Bicara tentang seorang ibu, aku teringat pada janjiku pada mendiang ibunda untuk kembali mencari anting yang hilang setelah pulang dari bertemu orang-orang. Dengan cepat aku menyisipkan gambar wanita ini di salah satu halaman buku, kemudian menutupnya. Buru-buru kuletakkan kembali buku itu di tempat semula dan menyudahi penyelidikan untuk sementara waktu. Aku beranjak dari kursi dan berlari secepat mungkin keluar dari kamar Judo.

Sesampainya di kamarku, aku bergegas masuk ke kamar mandi—tempat yang kucurigai dari awal. Aku memeriksa semua sudut kamar mandi dengan teliti dan tak melewatkan sedikitpun tempat kemungkinan antingku jatuh. Namun, nihil. Aku tak menemukannya. "Tidak ada. Apa mungkin antingku jatuh sewaktu aku berlari dari Ayu yang mengejarku karena alat pengering rambut itu?" Pikiranku beralih dengan cepat. Aku keluar dari kamar mandi dan mulai memeriksa seluruh bagian kamar. Aku mengingat-ingat peristiwa kejar-kejaran dengan Ayu, ke mana saja aku menghindar darinya. Kuikuti ingatanku seraya mereka ulang sambil terus mencari anting. Kolong tempat tidur, kolong meja dan kursi, kolong lemari, bagian belakang cermin, tirai dan jendela, hingga sudut-sudut pintu telah kuperiksa. Namun, tetap saja aku tidak dapat menemukannya. Antingku benar-benar hilang. Anting yang selama ini kurawat dan kujaga dengan sangat baik sudah tidak bersamaku lagi. Aku lelah. Tubuhku lemas terduduk di sisi jendela. Pikiranku melayang mengingat wajah ibunda yang tersenyum cantik saat menyematkan sepasang anting indah itu di kedua telingaku. Perasaan sesal yang sangat dalam memenuhi hati. Aku kecewa pada diriku sendiri karena tidak dapat menjaga pemberian ibunda.

"Ibunda." Aku terisak dengan linang air mata mulai membasahi pipi. "Antingnya hilang. Maafkan aku."

***

Kemacetan parah ini membuat janjiku pada Mas Panji menjadi berantakan. Ya, setelah konferensi pers berakhir, Mas Panji memintaku untuk bicara dengannya tentang pernyataanku di konferensi pers. Aku berjanji akan menjelaskan semuanya, tetapi aku harus membawa perempuan tidak waras ini dulu ke rumah agar tidak merepotkan. Mas Panji memberiku waktu satu jam untuk kembali ke Panembrama. Aku menyanggupinya. Namun, hal itu tidak berjalan mulus. Meskipun aku sudah berusaha mengemudi secepat mungkin menuju rumah, begitu akan kembali ke Panembrama malah terjebak macet seperti ini.

Dua jam lebih aku harus bersabar dengan melaju sedikit demi sedikit dibantu anggota kepolisian yang mengurai kemacetan. Awalnya, aku merasa lega karena melihat jalanan kosong di depan. Ternyata, itu adalah peralihan jalur. Semua pengemudi diarahkan menuju jalur tersebut. Tak ada yang bisa kulakukan. Aku harus mengikuti jalur itu dan mengambil jalan lain yang justru membuat perjalanan menuju Panembrama menjadi lebih jauh.

"Itu Mas Judo!"

Suara cempreng Ayu langsung terdengar begitu aku turun dari mobil. Mataku menangkap Ayu dan Panca tengah berdiri dengan raut wajah gelisah di depan pintu masuk gedung Panembrama. Setelah memarkirkan mobil, aku bergegas menghampiri mereka.

"Mas Panji sudah menunggu di ruangan," ucap Panca.

"Aku tahu. Tadi ada kemacetan parah sewaktu aku mau kembali ke sini," balasku sambil melewati mereka berdua. Panca dan Ayu berjalan mengikutiku di belakang. Sayup-sayup, aku mendengar mereka berdebat. Entah apa yang mereka ributkan. Aku tidak peduli. Sekarang fokusku hanya pada Mas Panji dan apa yang akan ia bicarakan padaku.

Setelah menaiki lift dan sampai di lantai ruang kerja Mas Panji, perasaanku sedikit tidak enak. Aku abaikan perasaanku dan terus melangkah menuju ruang kerja Mas Panji.

Tok! Tok! Tok!

Aku mengetuk pintu ruang kerja Mas Panji, kemudian membukanya perlahan. Di sana, tampak Mas Panji berdiri menghadap jendela besar dengan pemandangan jalanan di luar gedung Panembrama. Mas Panji yang menyadari kedatanganku langsung memutar tubuhnya dan memandangku dengan wajah datar.

"Maaf, Mas. Aku baru sampai. Tadi aku terjebak kemacetan sampai dua jam," tuturku.

"Aku tahu. Ada berita kecelakaan dan menimbulkan kemacetan panjang. Aku sudah menduga kalau kau akan datang terlambat."

"Sekali lagi, aku minta maaf, Mas."

"Tidak apa-apa. Yang penting kau sudah di sini sekarang." Mas Panji melangkah menghampiriku, Panca dan Ayu di tengah ruangan masih dengan ekspresi wajah yang sama. "Aku menagih janjimu soal klarifikasi di konferensi pers. Tetapi, sebelum itu aku minta Panca dan Ayu untuk menunggu di luar."

"Apa maksud Mas Panji?" tanyaku kebingungan.

"Aku ingin bicara empat mata denganmu," jawab Mas Panji menatapku tajam.

"Panca dan Ayu terlibat dalam rencana ini, Mas. Mereka juga berhak tahu mengapa aku memberikan klarifikasi itu di konferensi pers."

"Kau bisa menjelaskan pada mereka nanti."

"Mas Judo...," panggil Ayu perlahan.

Aku menoleh pada Ayu yang tampak ketakutan. Mungkin karena sikap Mas Panji yang tak seperti biasanya—sikap diam yang menakutkan. Mas Panji yang marah-marah sudah biasa bagi kami. Namun, pertama kalinya Mas Panji memperlihatkan sikap seperti ini selama kami bergabung di Panembrama Entertainment.

"Ayu, ayo kita keluar," ajak Panca seraya menggandeng lengan Ayu. "Mas Judo, kami keluar dulu."

Aku mengangguk tanpa bicara. Pandanganku mengikuti gerakan mereka keluar ruangan hingga tak terlihat lagi setelah menutup pintu. Aku pun kembali pada Mas Panji di hadapanku dan bersiap dengan perdebatan yang sebentar lagi akan dimulai.

"Kau sudah mengantar perempuan itu?" tanya Mas Panji menatapku lurus-lurus.

"Sudah, Mas. Dia sudah berada di rumahku sekarang," jawabku singkat.

"Dia sendirian di sana?"

"Iya, Mas. Aku tidak meminta bantuan orang lain untuk mengawasinya."

"Kau yakin meninggalkan perempuan itu sendirian? Bagaimana kalau dia berbuat hal yang tidak-tidak dan merugikanmu? Seperti mencuri, misalnya?"

"Banyak CCTV di rumahku dan seluruh bagian rumah bisa aku kendalikan lewat ponsel. Aku bahkan bisa tahu apa yang dilakukan perempuan itu sekarang. Jadi, kalau dia punya niat buruk untuk mencuri atau apapun itu, aku sudah punya rekaman wajah dan gerak-geriknya sehingga dia bisa ditangkap dengan mudah."

"Baik." Mas Panji manggut-manggut. "Sekarang kita bicara soal klarifikasimu di konferensi pers. Pertanyaanku sederhana. Kau mengakui perempuan itu adalah adik sepupu. Apa yang ada di pikiranmu, Judo? Hah!" bentak Mas Panji.

Aku sedikit terjingkat. Kemarahan Mas Panji kali ini sungguh berbeda. Atmosfer ruangan pun menjadi lebih panas dari sebelumnya. Sungguh, wajah Mas Panji terlihat lebih menakutkan sekarang.

"Ucapanmu di konferensi pers masih belum kering. Masih segar dalam ingatanku agar percaya padamu bahwa kau tidak akan berbuat macam-macam selama acara. Dan, apa yang kau lakukan? Kau menambah masalah baru dengan kebohongan besar! Kau memberi kesan padaku kalau kau menahan perempuan itu pergi dengan mengatakan pada awak media bahwa dia adalah adik sepupumu. Seharusnya, kita melaporkan perempuan itu ke polisi sejak awal dan masalah selesai! Tapi, kau melarang kami. Kau sadar tidak? Yang kau lakukan justru membuat masalah tambah runyam!"

"Aku sudah jelaskan dari awal, Mas. Konferensi pers ini diadakan bukan untuk memulihkan namaku saja, tetapi juga sekaligus mencari tahu siapa perempuan itu sebenarnya. Maka dari itu, aku memberi pernyataan kalau dia adalah adik sepupuku, agar masyarakat dapat membantu kalau-kalau dia kabur sebelum aku mendapatkan informasi yang tepat."

"Apa identitas perempuan itu penting bagimu sampai kau harus melakukan sejauh ini?"

"Aku punya alasan, Mas."

"Kau menyukai perempuan itu? Jadi, kau melakukan segala cara agar dia tidak pergi. Begitu?"

"Bukan seperti itu."

"Lantas, apa?" Suara Mas Panji meninggi.

"Aku tidak bisa menjelaskannya dengan tepat. Ada perasaan aneh yang tak kumengerti." Aku terdiam mengingat setiap kejadian sejak kemunculan perempuan tidak waras di bagasi mobil. Lambang yang terpatri di busur panah milik si perempuan tidak waras nampak tidak asing bagiku, hingga motif batik Kawung yang dikaitkan dengan 'teratai' membuat hatiku terenyuh. "Aku... seperti pernah mengenalnya."

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Oct 21, 2020 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Get In Touch (TAHAP REVISI) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang