Silaunya sinar mentari yang masuk dari jendela menyadarkan Cinta dari tidurnya. Dikerjap –kerjapkan matanya untuk sejenak sebelum kemudian bangkit duduk. Matanya menatap kesekeliling. Merasa sedikit aneh menyadari bahwa ini bukan kamarnya.
“Cinta, loe udah bangun. Gimana keadaan loe?. Sudah merasa baikan?”
Cinta menoleh, mendapati kasih yang baru muncul dari balik pintu.Ingatannya segera dipaksa untuk mengingat kejadian – kejadian sebelumnya kenapa dia bisa sampai disini.
“Udah mendingan kok. Maaf ya sudah ngerepotin elo."
“Apaan si. Pake istilah ngerepotin segala. Loe kan sahabat gue,” Kata Kasih sambil duduk di samping cinta. Tanggannya terulur menyentuh kening sahabatnya. Merasa sedikit lega saat merasakan suhu tubuh nya ternyata sudah mulai normal. Tadi malam ia benar – benar merasa panik akan kondisi cinta. Selain karena suhuh tubuhnya yang terlalu tinggi, sahabatnya itu juga tak henti – henti mengigau.
“Cinta, Sebenernya loe kenapa?. Gue nggak pernah liat loe kayak gini sebelumnya?"
“Dan jangan menjawab baik – baik saja. Gue tau loe sekarang nggak dalam keadaan baik” Sambung Kasih lebih tegas.
Cinta tidak menjawab. Ia dapat merasakan ketulusan dari suara kasih. Tanpa sadar airmata kembali menitik dari mata beningnya. Ia merasa heran, bukannya kemaren ia sudah terlalu banyak menangis, tapi kenapa persediaan air matanya sepertinya sama sekali tidak berkurang ya.
Melihat kondisi Cinta kali ini, Kasih tidak berkata apa-apa lagi. Direngkuhnya tubuh Cinta kedalam pelukannya. Membiarkan gadis itu menangis sepuasnya. Ia yakin ada saatnya Cinta menceritakan semua.
Dan untuk itu Kasih tidak perlu menunggu lama. Karena beberapa saat kemudian meluncur lah kata demi kata yang benar – benar membuat kasih merasa miris. Merasa tidak berguna sebagai sahabat. Bagaimana bisa setelah hampir 3 tahun mengenal cinta dan bersahabat baik dengannya tapi ia sama sekali tidak tau kalau selama ini cinta selalu menderita. Begitu banyak beban yang harus di tanggungnya. Tanpa sadar airmata juga membasahi pipinya.
*** Ketika cinta harus memilih ***
Sudah lebih dari 15 menit Rangga duduk diatas motornya. Sekali – kali mata bergantian antara menatap jam yang melingkar ditangan atau menatap pintu rumah Cinta yang terlihat sepi. Setelah terlebih dahulu meyakinkan diri akhirnya ia nekat melangkah memasuki halaman rumah Cinta. Walau ragu tangannya telah terulur menekan bel rumah. Sambil menunggu sang pemilik membukakan pintu Rangga berusaha menenangkan debaran jantungnya yang mengila. Kalau sampai papanya Cinta ada di rumah, matilah ia. Tapi karena matanya sedari tadi tidak mendapati keberadaan mobil silver di halaman setidaknya ia bisa merasa sedikit lega.
“Rangga?”
Rangga segera mengangkat wajahnya. Sambil tersenyum dan menunduk hormat ia berucap.
“Pagi tante. Cintanya ada, Rangga kesini rencana mau menjemputnya buat berangkat kuiah bareng” Balas Rangga.
Bukannya menjawab, Mama Cinta malah menunduk. Rangga mampu menangkap raut khawatir di wajah wanita separuh baya itu. Apalagi ia juga melihat lingkaran hitam di sekitar matanya. Tiba – tiba ia merasakan ada firasat buruk.
“Justru itu yang sedari tadi tante khawatirin. Cinta dari kemaren sama sekali tidak pulang kerumah. Bahkan terakhir kali tante melihatnya kemaren pagi sebelum tante berangkat ke kantor,"
“Apa?” tanya Rangga kaget. "Nggak Mungkin" Sambungnya lirih.
“Memangnya dia kemana tante?”
Pertanyaan bodoh memang. Sudah jelas – jelas mama Cinta terlihat khawatir. Kenapa dia masih bertanya.
“Tante juga tidak tau. Semalaman tante menunggunya tapi dia sama sekali tidak pulang. Tante coba menghubungi nomor hapenya, justru malah nggak aktif” balas mama Cinta.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ketika cinta harus memilih
Teen FictionCinta berlalu di hadapan kita terbalut dalam kerendahan hati Tetapi kita lari darinya dalam ketakutan Atau bersembunyi dalam kegelapan Atau yg lain mengejarnya Untuk berbuat jahat atas namanya ~khalil gibran~.