5~Potongan Memori

4.3K 249 35
                                    

"Hei, Riena. Baru sekarang kita ketemu lagi." Seseorang yang menegurku menepuk pundakku lembut. Aku yang sedang menyesap minumku agak kaget.

Untung aku tidak tersedak seperti kejadian memalukanku saat lari pagi minggu kemarin. Kalau sampai terulang lagi, aku pasti akan sangat malu apalagi di tengah orang ramai seperti ini.

Aku dengan cepat mengenali siapa yang tadi menegurku. "Oh, hai, Jim. Apa kabar lo?" Aku tersenyum pada Jim yang terlihat gagah dengan setelan jasnya. Aku tahu tanpa itu semua pun Jim tetaplah salah satu cowok ganteng yang pernah aku kenal.

"Baik. Masih zaman ya datang ke pesta sendirian? Rasanya mustahil kalau nggak ada cowok yang bisa lo jadiin pasangan?" Inilah Jim. Dia tipe orang yang blak-blakan.

Aku kenal Jim karena pernah membantunya mengatur design interior rumah mewahnya.

"Gue masih suka sendiri gini, bebas kalau mau ke mana atau sama siapa aja. Lo sendiri bukannya juga datang sendirian?" Aku hanya tersenyum pada Jim yang langsung terlihat salah tingkah karena dia juga sama jones-nya denganku.

"Kapan datang ke tempat gue lagi? Gue bakal jadi personal trainer khusus dan gratis buat lo."

"Gue nggak ada waktu buat nge-gym lagi, Jim. Sekarang kalau olahraga paling lari atau sepedaan di lapangan kompleks dekat rumah."

"Sayang banget, padahal di tempat gue lo bisa puas liatin badan cowok-cowok keren yang nggak pake baju, Rien." Jim mengedipkan matanya padaku.

"Apaan. Males banget gue liat cowok-cowok yang suka pamer otot gitu. Apalagi rata-rata mereka kan sukanya bokong sesama mereka bukan sama dada gede plus bodi montoknya​ cewek-cewek bohai," jawabku dengan nada sedikit sinis.

Jim menggeleng melihat senyum mengejekku. Aku memang sudah tidak heran lagi dengan fenomena banyaknya kaum adam yang belok. Mereka rata-rata adalah cowok-cowok yang terobsesi membentuk tubuh di tempat kebugaran. Memang tidak semua cowok yang suka olahraga itu menyimpang tapi, fakta dan kebanyakan yang aku tahu memang begitu. Mereka terlihat keren dan gagah, tapi alat tempur mereka tidak bisa dipakai untuk memanjakan wanita.

"Rien, lo masih sama ya kalau menyangkut hal berbau LGBT. Komentar lo pedas banget," kata Jim setelah menyesap minum miliknya.

"Eh, tapi jangan bilang kalau lo berpikir kalau gue juga belok?" tanya Jim karena melihat senyumku.

"Gue emang suka olahraga, tapi gue bukan tipe yang suka pamer otot di depan sesama cowok dan... yang paling penting gue tetep suka sama yang montok-montok." Jim terkekeh melihat aku mendelik.

Aku memukul lengannya saat sadar arah pandangan matanya. Matanya dari tadi hanya fokus pada dadaku yang memang agak terekspos karena gaun yang aku pakai malam ini cukup seksi. Sekali-kali boleh dong aku pengin terlihat seksi bukan hanya berteman dengan penggaris, pensil gambar, program​ dan hal-hal berbau pekerjaan.

Ah ya, sekarang kami sedang berada di keramaian pesta peresmian hotel yang kebetulannya memakai jasa kantorku untuk desain dan segala hal yang berkaitan dengan furniture.

"Percaya gue." Aku sangat tahu sepak terjang seorang Jim walau kami tidak terlalu dekat.

Dia pengusaha muda khusus untuk alat dan tempat olahraga yang sukses. Dia memenuhi keriteria suami idaman; tampan, masih muda, mapan, dan tentunya juga pria single yang baik dan sopan.

Sudah bukan rahasia lagi jika saat ini banyak pengusaha muda yang sibuk berkencan, berganti-ganti pasangan bahkan sampai terlibat skandal. Tapi Jim lebih memilih menghabiskan waktunya untuk keperluan membantu sesama. Aku makin kagum saat tahu dia masih punya waktu untuk mengurus panti jompo miliknya di tengah kesibukan mengurus bisnisnya. Itulah sebabnya dia tidak pernah diberitakan karena skandal atau hal-hal lain yang bisa membuat citranya buruk. Pasti beruntung sekali wanita yang nanti jadi istrinya.

Cinta Pesanan RienaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang