Cahaya Musim Semi

150 5 2
                                    

Pada suatu hari, hiduplah seorang gadis cantik nan jelita yang bernama Belle. Ia tinggal di sebuah kota kecil bersama ayahnya, Maurice, di Prancis.

            Bruk!

            Geisha menutup buku cerita ‘Beauty and The Beast’ lamanya yang sudah usang dengan satu sentakan tangan. Sebenarnya Geisha iri karena cerita dongeng Disney selalu happy ending. Tidak seperti dirinya.

            Ah, tampaknya kebahagiaan hanya fatamorgana bagi Geisha. Sebab hidupnya tak pernah seindah kisah dongeng Disney.

            “Everything is always happy in the end, if it’s not, then it’s not the end." Geisha teringat kata-kata Naomi, sahabatnya yang banyak cakap itu. Jika berteman dengannya, Geisha serasa memiliki internet berjalan—tak pernah ketinggalan gossip terhangat. Naomi pasti tahu mulai dari artis Jepang yang lagi naik daun, cowok ganteng di sekolah, sampai nama anak anjing Oji-san[1]—tukang kebun di sekolah.

            Berkebalikan hampir seratus delapan puluh derajat dengan Naomi, Geisha tidak begitu menyukai gossip. Baginya itu tidak penting. Buang-buang waktu. Geisha lebih menyukai membunuh waktunya dengan menulis. Ia merasa hidup dan bisa berlaku sebagai Tuhan dalam menciptakan tokoh-tokoh di dalamnya.

            Geisha melirik arloji di pergelangan tangan kirinya. Pukul empat lewat delapan menit sore. Geisha berniat ingin jalan-jalan di taman sekitar rumahnya. Hendak mencari udara segar sekaligus inspirasi untuk menulis.

            “Otou-san[2], atashi[3] mau pergi sebentar ya. Hanya ke taman dekat sini.” Geisha meminta izin setengah berteriak kepada Takeshi Kobayashi—ayahnya.

            “Hai[4], jangan pulang larut malam,” nasihatnya. Seperti biasa Geisha tidak pernah boleh pulang malam. Jam sembilan merupakan jam malamnya. Menurutnya, jam segitu masih terlalu dini.

            Kemudian dengan cepat Geisha pergi, tidak mengindahkan perkataan ayahnya barusan. Geisha hanya membawa buku catatan menulisnya yang sudah terlihat lusuh di bagian kaver dan satu batang pensil yang panjangnya mungkin hanya sebesar jari telunjuknya.

            Sesampainya di taman, Geisha melihat ke sekeliling hamparan rumput hijau dengan bangku-bangku taman yang berjejer tiap radius tujuh meter. Tidak ada bangku taman yang kosong. Semuanya sudah berpenghuni. Seketika Geisha menyesal telah memutuskan pergi ke taman.

            “Ah, ada yang jual ryokucha[5]!” pekik Geisha, riang. Geisha memang sangat menyukai teh khas Jepang tersebut, apalagi dinikmati saat asap masih mengepul. Benar-benar nikmat. Seakan-akan beban yang bergelayut di pundak lenyap sudah.

            Sambil menikmati teh hijau, Geisha masih mencari bangku yang bisa menampung tubuhnya yang kecil. Tiba-tiba lewat sudut matanya, Geisha terpaku pada bangku panjang yang hanya diduduki oleh seorang cowok bertubuh agak gemuk—namun, belum bisa dikatakan gemuk juga. Cowok itu memakai kacamata dan tampaknya ia sedang menggambar sesuatu.

            “Kon'nichiwa[6], boleh aku duduk di sini?” tanya Geisha sesopan mungkin kepada cowok itu. Kepala cowok itu memandang Geisha sekilas lalu mengangkat bahunya, tanda boleh duduk—atau mungkin tidak peduli.

            Geisha merasa kesal dan menyesal telah berkata sopan kepada cowok itu. Siapa sih dia? Aneh sekali tingkahnya. Dalam hatinya Geisha bertanya.

            Alih-alih mulai menulis, Geisha malah memperhatikan cowok-sombong-berkacamata itu lekat-lekat. Ada sesuatu dalam dirinya yang membuat Geisha tertarik ingin mengenalnya lebih jauh. Mata Geisha bergerak turun tepat pada gambar yang sedang dibuat oleh cowok itu.

Cahaya Musim SemiWhere stories live. Discover now