Masa kecilku sama seperti masa kecil anak-anak lain dikotaku, bahkan mungkin di negeriku. Saat usia lima, kami bermain bersama disekolah kami, taman kanak-kanak. Setiap sorenya pergi kelapangan ditengah kampung untuk saling menyapa, tertawa, dan bermain bersama. Dulu aku anak yang tak terlalu feminim sebagai gadis kecil. Mungkin bisa dibilang aku cukup liar. Tak pernah lutut ini absen dari luka dan obat merah. Tak pernah badan ini wangi sepanjang sore. Bahkan bila hujan pun, aku akan membasahi tubuhku dengan air langit yang pernah sesekali turun bukan dalam bentuk air. Ya aku masih mengingatnya. Mungkin itu pertama kalinya aku tidak mandi hujan waktu TK, lantaran bukan hujan yang turun diluar sana. Melainkan es. Es batu yang seukuran satu ruas jempol kecilku kala itu. Yang mana lumayan sakitnya bila menimpa kepala berkali-kali. Namun bila badan yang kejatuhan, mungkin rasanya seperti sedang pijat refleksi barang kali. Bila kau berkata "Mengapa tak berhujan-hujanan pakai helm? Kan kepala jaditak tertimpa es?". Jangan salah kau, pernah sekali aku mencobanya. Memang kepala tak kejatuhan es secara langsung, namun lama-lama pusing juga. Belum lagi telinga ini yang harus menanggung omelan akibat membasahi helm yang akan digunakan untuk ayahku berangkat kerja besok. Dengan motor bebek andalannya tentu.
Tak lupa jua aku akan lompat tali disekolah. Yap, permainan itu cukup digemari pada masanya. Tepatnya saat sepuluh usiaku. Hampir setiap hari aku melompati tali karet itu. Yang semakin lama semakin bertambah tingginya. Hingga tangan orang yang memegangnya (alias si penjaga karet) terangkat keatas sampai selurus bambu, ditambah terjinjit kakinya bila sempat. Lebih dari sekali aku mendapati bulatan biru di lututku usai menakhlukan kepangan karet gelang itu. Sempat aku berpikir, mengapa dulu aku tak bosan-bosanya mengulangi permainan yang begitu lagi – begitu lagi. Itulah masa kanak-kanak, masa yang terasa sangat sebentar namun begitu membekas dalam pikiran.
Seperti anak sepuluh tahun lainnya, kini aku sudah duduk di kelas tiga sekolah dasar. Tak dapat lagi aku bermain-main kala sore sambil menjaga adikku. Karena di kotaku ini, siswa kelas tiga dan empat SD banyak yang sekolah siang. Berangkat tengah hari dan baru pulang sorenya. Tak apa, aku masih memiliki malam hari untuk bermain bersama teman dan tetanggaku. Biasanya selepas sholat maghrib dan makan malam, anak-anak di sekitar rumahku mulai keluar dan memanggil teman-temannya untuk bermain bersama, termasuk aku. Tak banyak memang permainan yang dapat dilakukan di malam hari, tapi keadaan yang gelap tak mampu menghentikan semangat kami. Baseball permainan yang katanya berasal dari luar negeri itu sering aku dan teman-temanku mainkan. Tapi baseball kami bukan baseball yang seperti diluar negeri tiu. Jika kau tahu baseball menggunakan bola hijau kecil alias bola kasti, tongkat pemukul yang terbuat dari kayu, serta lapangan luas yang sudah terdapat pijakan dan pion-pion tempat para pemain checkpoint, baseball kami tak semewah itu. Bola kasti kami gantikan dengan shuttle kock, yap, kok bulu ayam. Tongkatnya tentu saja diganti dengan raket. Pion-pion dan pijakan checkpoint, cukup ditandai dengan sandal jepit. Asal kau tahu saja kami tidak bermain di lapangan, selain karena larangan para orangtua, terlalu banyak juga serangga dan makhluk lainnya yang bermalam disana. Jadi kami bermain dijalanan. Jalan dengan lebar kurang dari tiga meter itu adlah lapangan pribadi kami. Jika kami sedang bermain, hampir tak ada kendaraan yang lewat. Kecuali milik warga sekitar. Yaa bisa kau bayngkan bukan suasananya seperti apa. Hangat, penuh tawa, penuh canda. Bukan cuma anak-anak yang bersenang-senag. Para orang tua dan baby sister pun ikut merasakan hangatnya malam selagi mengawasi anak-anak mereka.
Minggu, hari yang ditunggu-tunggu banyak orang di dunia. Terutama kami para anak-anak. Hari minggu adalah hari yang sempurna untuk bersepeda. Melintasi kampung, menelusuri seluk-beluknya. Menyapa gerombolan ibu-ibu senam irama. Mencari-cari sesuatu yang baru untuk dimainkan. Yap, ini saatnya berpetualang. Hampir setiap hari minggu aku terlalu banyak bermain –kata ibu-. Seusai sarapan bersepeda, jika sudah lelah baru pulang untuk sekedar minum dan memakirkan sepeda. Lanjut main ke rumah temanku, bila tak ada permainan yang menarik kami pergi kelapangan. Entah untuk apa atau mencari apa. Salah satu yang biasa dilakukan adalah mengumpulkan kuncup bunga kencana ungu, atau yang biasa kami sebut pletekan. Satu per satu pletekan kami petik dan kumpulkan. Kami mengunakan benda apapun yang ditemukan di lapangan dan layak menjadi wadah sementara pletekan. Entah kantong kresek, kaleng bekas, mangkok bekas, dan lainnya. Jika dirasa sudah cukup kami akan mencari got –saluran air- yang tenang airnya. Byur.. pletekan kami ceburkan dan segera mundur satu dua langkah. Pletek,pletek,pletek, suara bising layaknya petasan, namun tanpa api. Yeay.. kami bersorak gembira bila mana pletekan yang kami kumpulkan menghasilkan suara yang bising dan cipratan yang tinggi. Tak jarang biji bunga kencana ungu yang keluar dari cangkang kuncup pletekan akan kami kumpulkan dan kami jadikan bahan masak-masakan. Namun untuk kali ini karena gotnya kotor, kami biarkan biji berlendir layaknya telur katak itu hanyut terbawa arus.
Sebangunnya aku dari tidur siangku yang nyenyak di hari minggu aku melanjutkan petualangan ku hari ini. Angin yang cukup kencang membuat sore ini tak cocok untuk kami bermain raket. Kutatap langit biru berawan tipis itu, apa kiranya yang bisa kami lakukan. Dua tiga benda persegi kudapati melayang-layang dilangit. Layangan, ini hari yang tepat untuk bermain layangan. Aku meminta ayahku untuk membantuku menerbangkan layangan. Walau lebih tepatnya ayahku yang menerbangkannya dan aku yang membantunya. Ketika layangan sudah tinggi mengangkasa, barulah aku yang mengambil alih. Tak lihai aku mengadu layangan seperti anak-anak lelaki. Namun setidaknya aku bisa menarik ulur benang guna mempertahankan layangan tetap terbang.
Dulu, hampir setiap libur sekolah teras rumahku tak pernah sepi. Ada saja yang bermain bersama, baik teman-temanku, teman-teman adikku, atau tetangga-tetangga kami. Ramai rumahku oleh permainan disana sini. Ada yang bermain congklak, bekel, teprak lantai, ular tangga, monopoli, catur jawa, catur sepuluh, kelereng, mobil-mobilan, rumah-rumahan, masak-masakan, dan masih banyak lagi. Harmonisnya hubungan antar sesama, tak sedarah namun seperti saudara.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bukan Melawan
General FictionBukan aku hendak melawan semua takdir yang telah terjadi, hanya saja bolehkah aku mengeluh? Sudah terlalu banyak kebahagiaan dari hidupku direnggut olehnya. Salahkah aku?