Aku tak mendengar sedikit pun suara maupun jeritan itu lagi. Aku tak menyerah tetap ku cari Adella hingga ketemu.
Clara yang ku genggam tangannya, mulai melepaskan tangannya dariku secara perlahan dan berhenti di belakangku. Aku juga berhenti dan membalikkan badanku dan memasang wajah bingung. Kemudian Clara mengangkat tangannya dan telunjuknya mengibaratkan untuk menyuruhku diam.
Lalu ia menunjuk ke arah belakangku. Aku langsung menoleh ke belakang. Terlihat dalam samar-samar gelapnya koridor lantai dua seorang wanita berbaju kebaya sedikit merah, berjalan ke arahku. Ia berhenti sekitar 2-4 meter dariku dan Clara.
Aku tak tahu pasti itu siapa, karena yang menggunakan baju tradisional hanya bi Nimas seorang. Aku berusaha melihatnya dengan berjalan beberapa langkah ke depan untuk melihatnya.
"Non, non mau ke mana?" ucap wanita itu yang menghentikan langkah kakiku untuk mendekatinya.
"Non mau ikut ritualnya juga? Monggo non, silahkan..." terusnya sambil menggerakkan tangan kanannya ke samping seakan-akan mempersilahkan ku untuk kesana.
Aku hanya terdiam dan heran, suara yang ia keluarkan persis seperti bi Nimas yang biasanya bersama Pak Darto. Aku tak tahu apa yang sedang terjadi.
"Bi Nimas? Itu bibi?" tanyaku dari kejauhan.
Wanita itu langsung menurunkan tangannya dan menatapku dengan tatapan kesal.
"Bi, ngapain ada disini? Bi, Bibi Tau dimana Adella?" tanyaku.
Tapi ia tak menjawab salah satu pertanyaan ku. Ia hanya terdiam dan masih menatapku kesal. Suasana menjadi hening, aku mendengar suara langkah kaki dari belakang wanita itu. Aku melihat tepat ke belakang wanita itu dan tiba-tiba muncul wajah yang menyerupai Adella. Aku menganggap ini konyol dan tidak mungkin terjadi. Setelah ia maju beberapa langkah lagi, itu benar-benar Adella yang aku kenal.
"Dell...?" tanyaku memastikannya.
"Putri... Lo mau ikut upacara ini? Yuk ris, kita masuk! Tapi dia nggak boleh ikut ke dalem..." ucap Adella dengan nada lemas dan menatapku dengan tatapan kosong.
"Dell! Lu ngapain disitu dell?! Udah sini! Jangan main-main!" teriakku sembari memarahi Adella, air mataku menetes karena aku tak bisa melihat sahabat tersayang ku seperti ini.
"Ayo Put... Aku tunggu di dalam..." ucap Adella yang berjalan kebelakang dan menghilang dalam kegelapan.
"Dell!! Adella!! Lo ngapain kesana lagi!! Adella!!! Jangan ikut sama dia!!! Gue udah bilang sama Lo!! Dell... Adella...!" sahutku yang berteriak lebih kencang lagi.
Aku tak sanggup untuk menahan air mata yang menetes tanpa henti ini. Aku kemudian terdiam dan menangis tanpa ada suara. Clara langsung menatap wanita itu dan ia langsung menggenggam tanganku dengan erat.
"Putri, Ayo! Kita gak bisa lama-lama disini." ucap Clara yang berbisik padaku.
"Nggak! Gue harus bantuin Adella! Iya, gue harus bantu Adella... Lepasin tangan gue!" jawabku yang tidak bisa berpikir dengan jelas dan tenang.
"Put! Sadar! Udah ayo buruan! Sebelum dia mendekat!" paksa Clara dan terus menarik tanganku.
Saat aku menoleh ke arah Adella, aku terkejut namun tidak bisa apa-apa. Aku hanya diam terpaku melihatnya berjalan dengan cepat ke arahku. Clara yang ada di sana tidak bisa hanya diam. Ia menarikku hingga aku tersentak dan ikut berlari dengan terpaksa. Sesekali aku menoleh ke arah Adella, namun setelah aku mendekati tangga, wanita itu berhenti dan hanya menatapku dengan tatapan kesal.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Truth of Villa
Horror"Hah... Bete gue. Males banget, liburan garing kaya kerupuk. Hm... Oh! apa gue..." Keluhku di liburan kali ini, benar-benar membosankan. Namun rasa bosan itu terselamatkan dengan adanya villa eyang ku. Hari pertama liburan sangat menyenangkan, suasa...