Setelah mematikan TV aku pergi ke belakang untuk buang air kecil. Ketika kembali tidak lupa untuk mematikan lampu ruang depan, tempat ku menonton TV tadi sekaligus menjadi tempat tidur. Tubuh telah berselimut dan guling sudah dirangkul, sebentar aku melihat jam di HP-ku. Dua belas seperempat, tidak terasa sudah semalam ini.
Kulempar HP-ku ke kaki, lalu menendangnya agar benar-benar jauh dari ku. Jangan berpikir sebelum memejamkan mata aku berdoa dulu, itu bukan kebiasaanku.
Aku tidur menyamping ke kanan, menghadap tembok. Sinar lampu jalan menembus jendela yang tertutup gorden sebagian. Cahayanya menerangi tembok rumahku dengan siluet gorden yang berayun pelan. Aku memejam.
Seperti keadaan desa lainnya ketika malam. Hening. Tak ada suara. Bahkan suara angin kadang terdengar.
Lirih terdengar suara sepeda onthel. Suaranya semakin mendekat dan jelas. Ketika sampai di sekitar rumahku suara itu berhenti. Satu yang kupikirkan. Pakdheku. Dia pasti mencari anaknya--yang sebaya denganku--yang sering pulang malam. Aku diam saja tidak bangun, menunggu Pakdhe mengetuk@ pintu baru bangun.
Mataku masih terpejam. Cukup lama terpejam sejak suara sepeda onthel itu berhenti. Aku heran, kenapa Pakdhe tidak juga mengetuk pintu? Lantas aku membuka mata, dan masih disuguhkan siluet gorden di tembok.
Di situ aku lihat gorden berayun keras seperti disibakkan. Aku pikir Pakdhe yang menyibakkannya. Itu wajar karena rumahku memakai jalousie window (jendala yang dapat berputar 90 derajat dan memiliki pelat-pelat panjang horizontal). Dan salah satu kacanya pecah. Pakdhe pasti mudah menyibakkan gorden.
Dia menyibakkan gorden begitu lama. Pasti matanya berkeliaran mencari anaknya. Karena tidak ditemui, dia menutup kembali gordennya. Dia pasti pergi. Meninggalkan siluet gorden di tembok.Aneh, kenapa tidak ada suara orang mengayuh sepeda? Ini sudah terlalu lama sejak dia menutup gorden.
Siluet gorden di tembok yang lurus ke bawah tiba-tiba berayun keras kembali, disibakkan. Aku tahu, dia pasti memastikan sekali lagi. Dia menutupnya lagi. Benarkan. Gorden tersibak lagi.
Lho! Siapa ini yang buka gorden? Wah, sepertinya dia bukan Pakdhe, lalu siapa?
Pikiranku berkecamuk. Semua opini berdebat. Dan yang menang adalah, dia--si pembuka gorden--adalah maling. Dia mengintip untuk memastikan kondisi aman. Tapi karena ada aku tidur di situ dia memastikan apakah aku sudah benar-benar tertidur. Dia pasti takut kalau sudah masuk aku pasti memukulinya sambil teriak, "MALING!!! MALING!!!"
Tapi dia tidak juga masuk-masuk. Aku semakin bingung. Apa dia tahu kalau aku belum tidur?
Tiba-tiba pikiran lain datang. Dia ... hantu. Pikiran itu berhasil membuat jantung berdebar. Sangat kencang sampai bisa terdengar. Hawa-hawa lembut tapi dingin menjamahi tubuh. Bulu kudukku pasti berdiri. Phobiaku sepertinya mulai berkuasa.
Lalu apa motif hantu itu mengintip? Apa dia minta dibuka tali pocongnya? Atau minta sate seratus tusuk?
Tidak. Itu tidak benar. Kalau memang dia hantu, dia akan langsung menembus tembok dan membangunkanku untuk dibuatkan sate. Dia pasti ... pembunuh berantai.
Ya Tuhan, pikiran dari mana lagi itu? Tapi mungkin ada benarnya. Dia sedang melihat-lihat situasi dan kondisi, makanya membuka gorden berkali-kali, lalu menyusun rencana.
Tapi apa motifnya? Apa dia ... psikopat. Oh, tidak. Ini lebih menakutkan dari hantu.Dia menyibakkan gorden, lalu menutupnya. Dia membuat jantungku berdebar lebih keras lagi. Dia sibakkan lagi. Sesuatu menuruni punggung dan itu basah. Itu pasti keringat dingin. Dia menutup gordennya, lalu menyibaknya lagi. Napas memburu, padahal tidak olah raga.
Kali ini skenario dalam kepala berubah. Dia tidak akan membangunkanku dan minta dibuatkan sate. Dia tidak akan masuk rumah lalu aku pukuli. Tapi dia tetap akan masuk rumah, aku tidak bisa bergerak karena terlalu takut, dan dia mengendap-endap ke arahku, lalu memenggal kepalaku dengan goloknya.
Bagaimana ini? Bagaimana jika itu nyata? Apa yang harus aku lakukan?
Aku tahu. Ketika dia menutup gordennya, aku harus cepat-cepat bangun dan berlari ke dalam. Aku harus mencari senjata untuk melawannya. Yang jadi masalah dia tidak tentu ketika membuka dan menutup gorden. Kadang lama membukanya, kadang sebentar. Begitu juga ketika menutup.
Aku harus mengambil waktu yang tepat dan posisi yang memungkinkan untuk bergerak cepat. Selimut ini pasti menghalangi. Kutata sedemikian rupa agar tidak terjadi kecelakaan dalam pelarian. Kugerak-gerakkan tubuh sepelan mungkin.
Guling ini juga bisa menjadi penghalang. Kucoba menyingkirkannya sepelan mungkin juga, berharap dia tidak melihat dan mencurigaiku. Semua penghalang sudah diurus, tinggal mencari waktu yang tepat untuk berlari.
Siluet gorden di tembok kembali disibakkan. Dia sedang melihatku. Pasti. Adrenalin pun terpacu terpacu. Ketika dia menutup gorden, aku hampir berdiri. Tapi tiba-tiba dia menyibak gorden lagi. Sial.
Percobaan kedua ternyata tidak menunggu lama. Sebentar dia sudah menutup gordennya lagi. Aku segera berdiri dan berlari ke dapur. Dia pasti kaget melihat selimut dan guling berserakan tanpa ada aku.
Beberapa detik kemudian aku kembali ke ruang depan dengan pisau di tangan. Aku lihat tidak ada orang di luar. Suara sepeda juga tidak terdengar, tidak mungkin jika dia berlari pulang. Dan aku lihat gorden itu ternyata dari tadi berayun keras tersibak karena tiupan angin. Aku menarik napas lega.
Aku bilang juga apa. Suara angin kadang terdengar, kadang tidak. Dan tadi tida terdengar suaranya. Itu sebabnya pikiranku menggila. Huft ... lain kali akan kucoba positive thinking.
•∆• ===•••=== ^∆^
Malam🙋🙋😁😁😁 ini cerita kedua dariku. Setelah 'Berawal dari Sebuah Buku' gak terselesaikan, author punyta inisiatif bikin kumcer. Tp author minta maaf, soalnya updatenya gak bisa tertip🙇🙇
Buat cerita yang ini author minta kalian, readers, buat kasih nilai (0-100). Klo kalian lg males kasih kripik, sih. Tp klo mood kalian lg bagus, author minta kripik pedes sepedes2nya
Okay... #siyunex story ✋✋
KAMU SEDANG MEMBACA
Jalur Berliku dari Imajinasi
Short StorySebuah imajinasi yang tersalurkan melalui cerpen.