"Menjual kondom untuk badan amal? Nice try, Lea van Baar."
Seorang cowok berambut kusut melewatiku sambil terbahak keras, disusul dengan anak-anak lain dari belakangku. Tawa mereka terus menggelegar hingga ke ujung koridor saat aku menatap mereka heran. Apa sih maksud mereka? Benar-benar mengganggu saja.
Aku sedang mengambil buku-buku catatanku saat sebuah tepukan di bahuku membuatku menoleh. Mr. Kingsley, guru konseling berbadan gorila, sedang berdiri di sebelahku. Tatapannya garang.
"Miss van Baar, ikut aku ke ruang konseling," katanya memerintah.
"A-apa?" Aku menatapnya heran. "Mengapa?"
"Kita harus membicarakan soal kegiatan mulia yang sedang kauselenggarakan."
*
Duduk di kursi menghadap Mr. Kingsley membuatku merasa seperti tahanan yang sedang mempersiapkan diri untuk sebuah hukuman mati atas sebuah kejahatan yang bahkan tidak kulakukan. Kenyataannya, aku tidak tahu apa yang membuatku diundang kemari.
Mr. Kingsley duduk dengan canggung di kursi kecilnya—atau bobot tubuhnya yang membuat kursi itu terlihat kecil? Entahlah. Pria berkulit hitam itu menatapku lama, seolah menantiku melakukan pengakuan dosa. Aku menatap ke sekitar dengan mulut terkatup rapat, lalu menjatuhkan fokus pada sebingkai foto wanita tua di rak di belakang Mr. Kingsley. Itu Mrs. Kingsley, ibu dari pria yang sedang terlihat seperti tumpukan lemak di depanku saat ini. Mr. Kingsley menghela napas, menautkan kesepuluh jarinya lalu meletakannya di atas meja.
"Aku sangat menghargai niat muliamu, Miss van Baar," ujar Mr. Kingsley memulai. "Melakukan sesuatu untuk badan amal di usia semuda ini. Menakjubkan."
Aku masih tidak paham apa yang pria ini sampaikan.
"Tapi," Mr. Kingsley berdehem, "kurasa sebaiknya kau memikirkan untuk menjual benda lain seperti kue, bros, dan hal-hal umum lainnya. Bukannya memilih kondom."
Keningku bertaut. Aku memandang Mr. Kingsley, heran. Di belakang sana, mata Mrs. Kingsley tampak menyorotiku.
"Sir," kataku, "sejujurnya aku tidak mengerti apa yang sedang Anda bicarakan."
"Oh, Miss van Baar. Tidakkah spanduk kecil yang menempel di tasmu itu mengiklankan sesuatu?"
Aku segera melepas ranselku dan memandangnya di pangkuan. Mulutku ternganga. Kutemukan sebuah spanduk kecil berisikan tulisan: MENJUAL KONDOM, UANG YANG DIDAPAT DARI HASIL PENJUALAN AKAN DISUMBANGKAN KE BADAN AMAL. Tak lupa, foto seorang wanita seksi berpakaian minim turut menghiasi spanduk itu.
"S-Sir." Aku tak tahu mengapa aku gugup. "Tapi aku tidak menjual kondom. Aku tidak tahu siapa yang melakukan ini."
Ya, aku sama sekali tidak mungkin dan tidak akan pernah melakukan hal sekonyol ini. Seingatku, pagi tadi tidak ada sesuatu yang aneh pada ranselku. Aku mengenakannya sejak berangkat ke sekolah bersama Lou.
KAMU SEDANG MEMBACA
My Twin Brother Lou [Louis van Baar]
FanfictionAku dan Lou tidak kembar-kembar amat. Kami bukanlah kembar identik, namun wajah kami berdua sangat mirip. Lou punya mata biru, rambut pirang, dan hidung lancip. Aku juga sama, tapi aku bukan cowok. Lou sangat nakal dan idiot, sedangkan aku tidak. Lo...