Setelah memaksakan diri mengikuti Ujian Nasional akhirnya badanku memberontak. Aku sudah tidak sanggup lagi.
Dan sekarang disinilah aku, di tempat paling menyeramkan selama hidupku. Seharusnya aku sudah terbiasa dengan tempat ini tapi aku masih saja tak terima jika tempat ini lah yang menjadi rumah kedua ku.
Bagaimana tidak? Tempat serba putih, tercium bau obat-obatan di setiap sudut nya. Rumah sakit ini sangat mengerikan bahkan lebih mengerikan dari rumah kosong di dekat rumahku.
"Teh, ada yang harus bunda bicarakan sama kamu"
"Iya bun bicaralah" jawabku sambil tersenyum.
"Penyakitmu teh, dokter bilang tidak ada cara lain selain dengan operasi pengangkatan" jawab bunda terisak.
"Kapan bun? Alula siap bun" aku tegar. Ya aku harus tegar demi bunda.
"Besok jam 11, kamu tidak apa-apa teh?"
"Tidak bun teteh harus kuat, teteh pengen sembuh bun"
Bunda memelukku, rasanya tenang dalam pelukan bunda. Jangan lepaskan pelukan ini bun. Bagaimana teteh kuat menghadapi semua ini tanpa pelukan bunda?.
Karena kanker ku belum menyebar dan masih stadium awal dokter menyarankanku untuk melakukan Mastektomi (pengangkatan payudara) untuk menghindari risiko kambuhnya kanker payudara dan setelah itu melakukan kemoterapi.
Aku harus merelakan salah satu bagian yang terpenting dalam kehidupan wanita. Tapi aku harus kuat. Karena ini yang terbaik untuk ku.
**
Wajah bunda yang pertama aku lihat setelah aku tidur beberapa jam karena pengaruh anastesi (pembiusan) untuk melakukan operasi."Bun..."
"Sudah nak jangan banyak bicara, kamu masih lemah"
"Assalamualaikum"
"Waalaikumsalam"
Samar-samar aku mendengar bunda berbicara dengan seseorang. Tapi mataku sudah tidak bisa di gerakan rasanya ngantuk sekali.
**
"Ris, antar gue ke toilet gue pengen Buang Air Kecil" pintaku pada Risa yang setiap hari menjagaku di Rumah Sakit.
"Yaudah ayo la"
Dia memang sahabat terbaikku. Dengan kesibukannya mendaftarkan diri untuk kuliah, dia masih sempat membantu Bunda merawatku di rumah sakit.
"Ris, lo sudah daftar kuliah dimana?"
"Aku mantap kuliah di UGM la, aku ingin menjadi dokter"
"Wah hebat tuh ris, semoga berhasil yah"
"Kamu kuliah dimana la?"
"Gue gak tahu ris, gue bakal jadi apa nanti" jawabku putus asa, dari kecil aku selalu bilang sama Ayah aku ingin menjadi seperti ayah arsitektur yang hebat. Tapi harapan anak kecil hanya menjadi angan saat sudah dewasa apalagi dengan keadaan ku seperti ini.
"Jangan seperti itu, semangat kamu masih punya harapan la. Alloh tidak tidur. Bismillah" jawaban risa yang menenangkanku. Seperti biasa perempuan sholehah ini selalu bisa menenangkanku
**
Dibalik pintu rumah sakit, seorang wanita paruh baya menangis mendengar dua orang perempuan berbicara di dalam.Dalam hatinya merutuki kesalahan di masalalunya. Karena keegoisannya lah anak sulungnya harus merasakan kepahitan di setiap kehidupannya.
Rasanya penyesalan saja tak cukup untuk menebus kesalahannya. Bahkan untuk berpura-pura tegar saja dia sudah tak sanggup.
Tapi apa yang harus di lakukan seorang ibu, jika dia tidak tegar siapa lagi yang akan menyemangati anaknya nanti.
Biarlah penyesalan dan rasa sakit ini dia yang rasakan seorang diri. Tak perlu lagi anaknya merasakannya.
-------- # ----------
Bismillah yah.. 😊
KAMU SEDANG MEMBACA
Sebening Embun Pagi
SpiritualSuara itu lagi, suara yang dulu pernah aku dengar, suara yang pertama kali langsung membuatku bergetar. Dia. Embun pagi yang sering aku ucapkkan di setiap doaku. Sang embun yang menyambut pagiku dengan sejuk hanya dengan mendengar suaranya. Memang...