Six Elves (Novel Detektif Indonesia yang terombang-ambing nasibnya)

376 6 3
                                    

Kembali ke Rumah

Embun membasahi wajah Naufal dan kelima temannya tepat saat mereka baru saja turun dari pesawat. Mereka harus menyipitkan mata saat berjalan karena matahari terik yang baru saja muncul dan mereka berjalan tepat ke arahnya. Puluhan orang berbaris di pintu masuk bandara. Sebagian dari mereka memegang karton bertuliskan nama orang yang hendak mereka jemput, dan sebagian lagi hanya diam menunggu. Naufal, Aji, dan yang lainnya langsung tau dimana orang yang menjemput mereka berada saat melihat karton putih besar teracung ke atas dengan tulisan besar ‘I’m here, six elves’, yang berarti ‘aku disini, enam anak nakal’.

Benar saja, seorang pria tua yang memegang karton itu tersenyum ramah saat mereka berenam menghampirinya. Pria tua itu lumayan tinggi dengan hidung sedikit bengkok sebagai ciri khasnya. Chris Moqu, mafia paling diburu di Amerika, adalah orang yang memberikan pukulan keras ke wajahnya saat ia dan timnya dulu melakukan penyergapan terbuka dua puluh delapan tahun lalu. Chris sendiri ditembak mati oleh pria ini saat itu. Tapi sekarang, pria tua ini tak ubahnya seorang pelayan di keluarga Naufal. Meskipun ia selalu membantah hal itu dengan menyebutkan kalau dirinya adalah asisten pribadi Naufal dan dia sangat bangga akan hal itu. Ayahnya Naufal adalah atasannya dulu saat dia masih bekerja di agensi detektif.

“Kami pulang, Houchi. Untuk apa kau membuat karton sebesar itu? Kami tidak akan tersesat di kota kami sendiri,” ejek Dj.

“Sebenarnya, nak,” Houchi menggulung karton yang diangkatnya tadi menjadi gulungan kecil lalu memukul kepala Dj dengan benda itu. “Aku membuatnya agar kalian tidak perlu repot mencariku.”

Naufal dan yang lainnya tertawa melihat tingkah mereka berdua. “Oh, ayolah, Houchi. Kau seperti tidak mengenal Dj saja. Begitulah caranya mengucapkan terima kasih.”

Houchi menatap Dj kemudian mendengus pelan. “Kalau begitu pukulan tadi sebagai ucapan kembali kasihku, Dj.”

Mereka berenam lalu mengikuti Houchi menuju mobil hitam yang terparkir lumayan jauh dari sana.

“Ada kejadian menarik apa selama kami pergi, Houchi?” tanya Dolphy.

“Harga cabai naik,” jawab Houchi cepat seolah sudah tahu pertanyaan itu akan dilontarkan.

“Lalu apa yang membuat hal itu menjadi menarik?” ejek Dj.

“Harga makanan yang menggunakan bahan dasar cabai juga ikut naik. Karena hampir semua masakan disini menggunakan cabai, itu berarti hampir semua makanan yang dijual disini mengalami kenaikan harga,” jelas Aji. Dj menggembungkan pipinya seperti katak untuk menghargai jawaban itu.

“Oh, ya tuan,” ujar Houchi pada Naufal saat ia membukakan garasi mobilnya supaya koper Naufal bisa masuk. “Agenda digital anda hari ini berbunyi.”

“Dan apa yang tertulis disana, Houchi?”

“Lie’s Birthday,” jawab Houchi singkat namun cukup membuat Naufal terkejut.

“Tujuh belas Mei,” tambah Adyth saat dia melirik jam tangannya.

“Oh, tidak. Bagaimana mungkin aku bisa lupa,” gumam Naufal pelan.

“Kurang tidur, terlalu banyak pikiran, penuaan dini, atau mungkin kau terinfeksi AIDS...”

“Itu bukan pertanyaan, Dolphy,” potong Naufal. “Kalian pergilah duluan. Aku pergi ke rumah Leli dulu sekarang.”

“Oke, hati-hati,” ujar Ilman yang baru saja membuka earphonenya. Naufal hanya melambaikan tangan sebagai balasan.

Houchi!” teriak Naufal dari jauh. “Buatkan tart coklat dua tingkat! Pakai warna merah untuk topping karena dia suka warna merah! Jangan gunakan selai strawberri!

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Mar 02, 2014 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Six Elves (Novel Detektif Indonesia yang terombang-ambing nasibnya)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang