Suasana kembali seperti semula saat aku telah kembali ke Tiongkok, China. Rutinitas ku sebagai seorang dokter kembali dimulai. Aku akan sangat jarang untuk menghabiskan waktu bersama dengan Junkai seperti yang kulakukan di Osaka.
Jalan-jalan, berbicara. Itu pasti akan sangat jarang terjadi. Aku dengannya telah memiliki waktu pekerjaan masing masing yang sangat padat. Dia bahkan lebih padat, dia lebih sibuk.
"Selamat menjalankan tugasmu!" ucap Junkai. Ia tersenyum manis kepadaku saat kami berada di lobi rumah sakit. Junkai mengacak-acakkan rambutku setelah ia selesai mengatakan hal itu. Dirinya masih tetap tersenyum saat melakukan itu, senyumannya tidak pernah pudar.
Aku sedikit bersemu, lalu kemudian aku mengangguk pelan. Untung saja desiran darahku bisa ku handle untuk sekarang.
Aku tak mengambil pusing rambutku yang sedikit berantakan karena Junkai. Aku tersenyum tipis, lalu merapikan rambutku. Aku sama sekali —mencoba— untuk tidak mengeluh.
Jaga sikap, itu yang aku lakukan.
"Kau juga. Jangan sampai membuat pasienmu kesal karena tingkahmu, dokter." ucapku sambil tertawa pelan. Junkai hanya mendengus, lalu tersenyum miring. Lebih tepatnya ia tengah menyeringai sekarang.
"Tentu saja tidak. Oh, atau mungkin, pasienku yang malah jatuh hati ketika pertama kali melihatku?" goda Junkai dengan penuh percaya dirinya. "Secara, aku ini 'kan begitu tampan. Wanita sepertimu saja bisa jatuh hati, dan tergila gila kepadaku. Benar kan?" goda Junkai sekali lagi. Kali ini ia membawa-bawa namaku. Junkai menyenggol sikutku dan tetap tersenyum menyeringai.
Aku terkejut. Aku cepat cepat menggelengkan kepalaku dan menukas perkataannya.
"Hei!" protesku kesal. "Bisakah kau tidak selalu membawa-bawa namaku ketika kau sedang menyombongkan dirimu?" gerutuku kesal. Aku melipatkan kedua tanganku dan memberinya tatapan tajam.
Junkai tertawa pelan. Ia mengangguk mengerti dan kembali mengelus kepalaku lembut.
"Haha, maaf. Aku hanya berbicara fakta, atau hal yang akan menjadi fakta." ucap Junkai tenang, ia tersenyum simpul.
Sial.
Kenapa dia selalu bisa 'membunuhku' dengan senyumannya itu?
Junkai tiba tiba terdiam. Ia menunduk, dan melirik kearah arlojinya. Junkai kembali mendongakkan kepalanya dan memandang kearahku.
"Oh, kupikir aku harus segera pergi sekarang. Sampa jumpa, Minzi. Aku akan menemuimu pada saat jam istirahat." ucap Junkai sambil tersenyum tipis. Ia berjalan meninggalkanku setelah itu.
Aku menatapnya yang perlahan menjauh. Tapi, entah kenapa langkahnya tiba tiba terhenti.
Aku mengernyitkan keningku, heran.
"Ada apa?" tanya ku penasaran. Junkai membalikkan tubuhnya dan tersenyum lebar memperlihatkan gigi gingsulnya. Ia melambaikan tangannya kecil.
"Sampai jumpa. Jangan dekati pria lain selain aku. Jika ada yang menganggumu, hubungi aku. Aku akan menghajarnya!" ucap Junkai, sedikit bergurau.Aku tertawa geli, lalu mengangguk. Aku membalas lambaian tangannya kecil.
"Cepat sana pergi. Nanti kau terlambat." ucapku, berusaha untuk menghentikan tawaanku. Aku tersenyum miring.
Junkai kembali tertawa dan mengangguk. Ia melambaikan tangannya sekali lagi, kemudian berjalan memasuki lift—menuju lantai dua.
Aku menatap punggungnya hingga dirinya tidak terlihat lagi dalam edaran sorotan mataku. Aku menghela nafasku berat, dan kemudian membalikkan tubuhku. Aku berjalan menuju ruangan kerja ku yang berada di ruangan paling ujung.
KAMU SEDANG MEMBACA
My Coldest Doctor [TFBOYSWJK]
Fanfiction"Kau itu sangat dingin, tapi menyebalkan disaat waktu yang bersamaan. Kau aneh. Benar-benar aneh. Menjadi dokter dengan sikap yang acuh seperti itu. ....Namun, ternyata, aku salah." . Huang Minzi, harus memulai karier awalnya sebagai dokter dengan...