Hujan turun dengan lebatnya sore itu. Setiap tetesan yang turun dari langit membuat seorang gadis yang berada di bawahnya begitu senang saat menikmati bulir yang jatuh. Sesekali dia tertawa ke arah ribuan rintik hujan yang kini menemaninya. Tubuhnya sibuk bergerak kesana kemari dan menari bersama hujan.
Senyumnya melebar sejak dia mulai berada di bawah hujan tadi. Ia merasa bebas, ia senang merasakan sejuknya dan ia senang menikmati setiap tetes hujan yang menyentuh kulitnya.
Dengan seragam yang masih lengkap, ia masih saja menari ria bersama hujan yang membuat senyuman selalu terukir. Entah apa yang membuatnya begitu menyukai sejuk air hujan. Mungkin menurutnya, hanya hujan yang mampu membuatnya merasa senang dan tenang.
Gadis itu terlalu senang berada di bawah hujan, sampai lupa pada satu temannya yang sejak tadi menunggu.
"Rain, pulang yuk!" teriak gadis bername tag Windya Fahira. Ia masih berdiri di koridor sekolah, dengan jaket berwarna coklat milik Arda—sahabatnya yang sejak tadi ia pegang. Gadis itu tidak memakai jaketnya entah karena apa, padahal Arda memberikannya agar Windy tidak kedinginan karena hujan. "Arda nunggu, tuh, di parkiran," teriaknya lagi.
Hujan biasanya memberikan kesan romantis pada setiap orang yang menikmatinya, dari butir butir tetesan air hujan yang menyentuh kulit terasa menyenangkan.
Hujan, mungkin setiap perempuan menyukainya termasuk Raina, tapi tidak untuk Windy. Dia hanya menyukai Angin, angin adalah hidupnya. Menurutnya hujan hanya akan membuat tubuh seseorang menjadi sakit akibat suhu dinginnya, dan juga karena setiap hujan turun dia akan teringat pada Dika, sang mantan yang juga menyukai hujan seperti Raina.
"Duluan aja Wind, gue masih mau main hujan, nih," balasnya teriak setelah beberapa detik berlalu, ia melanjutkan tarian dalam hujan.
"Ya udah, gue duluan, ya," ucapnya kemudian. Tetapi dia tidak bergerak dari tempat awal dia berdiri tadi, matanya masih menatap Raina. Dia masih tidak yakin jika harus meninggalkan sahabatnya itu sendirian. "Elo nggak masalah, 'kan, gue tinggal sendirian?" Satu alisnya terangkat.
Raina terkekeh pelan, kakinya melangkah ke arah gadis yang tadi menunggunnya. Raina semakin dekat dengan Windy, tangannya mulai bergerak memegangi tangan kanan Windy. Ia mulai curiga dengan sahabatnya. "Mau ngapain? Jangan bilang lo mau narik gue buat nemenin lo hujan-hujanan kayak kemarin. Gue nggak mau Rain! Lepasin tangan gue! Hujan cuma bikin kita sakit!" Windy membantah dengan dramatis dengan tangan yang berusaha ia lepaskan dari tangan Raina.
Gadis berambut panjang itu menaikkan sebelah alisnya. "Ge-er banget sih, lo. Gue cuma mau bilang jangan lupa bawa catatan Fisika gue yang lo pinjam seminggu lalu." Windy memang punya kebiasaan pelupa, jika tidak Raina ingatkan dia tidak akan ingat jika buku Raina ada di rumahnya.
"Bilang, dong," ujarnya kemudian mengingat-ngingat sesuatu. "Eh, tunggu-tunggu, kayaknya gue bawa, deh, buku catatan lo." Windy melepaskan sebelah tali tas dari lengan kirinya kemudian mengacak-acak isi di dalamnya gar menemukan buku milik Raina. "Nah, ini!" ucapnya saat menemukan buku setebal seratus lembar yang terlihat rapi karna terbungkus sampul berwarna coklat.
"Ini!" seru gadi situ sambil menggerak-gerakkan buku tersebut di depan Raina. "Ini buku lo, Rain."
Raina menghela Nafas pelan, dengan mata yang menatap wajah Windy datar. "Lo nggak liat keadaan gue gimana?" Raina kebaikan alisnya. "Tangan gue, 'kan masih basah, Wind."
Windy terkekeh karna kebodohannya sendiri. Kenapa dia bisa lupa kalau Raina baru saja bermain hujan, otomatis tangannya pasti basah dan akan membuat buku Raina jika ikut basah. "He-he. Gue lupa."
"Ya udah bawa aja dulu, tapi jangan lupa besok dibawa."
Windy mengangguk. Setelah memasukan buku itu kembali ke dalam tas,ia berucap, "gue balik dulu, ya, bhay!" serunya seraya berlari kecil meninggalkan Raina.
Windy, gadis berambut sebahu itu selalu saja terlihat ceria dan tertawa. Tapi siapa sangka, dari sisi yang tak terlihat, ada luka yang belum juga bisa di sembuhkan. Dari sisi yang tak terlihat, ia menyimpan beribu luka yang kian hari kian bertambah. Jauh dari tempat yang tak terlihat, Windya Fahira benar-benar jauh dari kata baik-baik saja.
Perempuan itu menatap punggung Windy yang sudah semakin jauh dari tempat dia berdiri. Ia membalikkan badan berniat untuk kembali bermain hujan, namun pandangannya justru tertuju pada laki-laki yang sedang berjalan menuju lapangan basket. Sama dengan dia, laki-laki itu pun sedang bermain hujan. Kini laki-laki yang Raina pun tidak tau siapa namanya itu menatapny, ia langsung membuang muka karena malu.
"Sini!" Cowok itu berteriak sembari mengayunkan tangannya ke arah Raina. Ia Menoleh ke kebelakang, Raina berpikir orang yang di panggil oleh cowok itu ada di belakangnya, tetapi tidak ada siapapun.
"Elo!" teriaknya yang berada cukup jauh dari posisi Raina berdiri. Tapi masih bisa didengar oleh gadis berambut panjang itu.
"Gue?" tanya Raina bingung
Laki-laki itu tersenyum lalu mengangguk. "Iya, elo!"
Raina mulai melangkahkan kakinya ke arah Laki-laki tadi. Semakin dekat, laki-laki masih menunggu kedatangan Raina dengan bola basket yang sejak tadi di pegangnya.
"Lo kenapa hujan-hujanan?" tanya cowok itu kemudian, tangan kanannya menjulur ke depan bersiap untuk bersalaman "Gue Rai. Elo?"
Raina membalas uluran tangan cowok itu dengan senang hati. "Raina." Senyumnya mengembang. "Karna gue suka hujan," ucap perempuan itu sembari melepaskan jabatan tangannya dengan Rai.
"Pluviophile?" Rai menaikkan kedua alisnya. Raina mengangguk cepat dan singkat. Mulutnya membentuk bulat dan mengucapkan huruf O dengan pelan, nyaris tanpa suara.
"Elo, Pluviophile juga?"
Rai tersenyum ramah. "Gue suka hujan, tapi gue lebih suka sama aromanya."
"Petrichor?"
"Iya, petrichor."
"Kenapa?" Raina penasaran dengan cowok di depannya ini, bukankah biasanya laki-laki tidak suka hujan? Kenapa dia suka. Apalagi dia tau semua tentang Pluviophile dan Petrichor.
"Nggak tau."
Sungguh jawaban yang sangat konyol menurut Raina. Biasanya orang menyukai suatu hal itu pasti ada alasannya.
"Lah? Kok nggak tau?"
Keningnya berkerut. "Emang kalo suka sama sesuatu itu harus punya alasan, ya?" Rai mendapatkan anggukan dari Raina. "Setau gue, kalau kita suka sama sesuatu itu biasanya tanpa alasan. Rasa suka itu ngalir aja kayak Air hujan yang nanti bakalan ngalir ke laut. Sama kayak cinta, cinta juga hadir tanpa alasan, 'kan?"
Raina berusaha menerjemahkan kata demi kata yang Rai ucapkan, sedetik kemudian dia mulai paham lalu mengangguk untuk membenarkan perkataan laki-laki di depannya itu.
"Mau main basket?"
Raina mengangguk.
A/N:
Semoga perubahan dalam cerita ini buat kalian suka, ya.
Kalo kalian, punya alasan untuk suka ke satu hal?
KAMU SEDANG MEMBACA
Rain, Wind and Mine (SUDAH TERBIT)
Teen FictionCerita ini tentang hujan, angin dan apa yang tidak bisa lagi dimiliki. Bagi Windy menjadi salah satu anak broken home adalah hal yang tidak pernah ia duga, seakan hidupnya lenyap seketika. Suatu hari, Windy menyadari bahwa takdir memang sekejam itu...