Pagi merangkak dengan tenang, tampias matahari perlahan membentuk siluet yang memanjangkan bayangan, nyiur melambai landai, ombak selaras beriringan saling berkejaran. Sampan di kejauhan membentuk sebuah titik dari bayangan yang semakin lama semakin membesar. Langit berarak tenang. Rumah mungil tepi pantai berplitur coklat, di beberapa bagian tampak dicat khusus dengan warna hitam dan putih, sangat tampak bahwa si empunya sangat suka sekali dengan kombinasi warna hitam dan putih.
Kursi goyang yang tepat menghadap matahari terbit, bergoyang perlahan menimang-nimang penghuninya dengan tenang dan nyaman. Kursi goyang empuk dan beberapa kali sudah ganti kasur, membuat penghuninya tersenyum senang duduk di atasnya. Gemerincing hiasan gantung tepat berada di ambang pintu, berbunyi perlahan. Tapi hal itu sama sekali tidak mengusik, bahkan senada dengan suara debur ombak pagi. Buih putih garam yang ikut bersama debur ombak, diiringi desir angin membuat kombinasi yang pas sebagai sebuah nada lagu, sangat indah.
Secangkir kopi hangat tersaji di sebuah meja kecil dekat dengan kursi goyang. Secangkir kopi di atas meja. Cangkir yang imut dan cantik, berwarna putih susu cukup dengan hiasan bunga daisy terplitur indah di sudut-sudutnya yang elok. Tlanakan bundar melebar memberi alas yang nyaman bagi si cangkir, tlanakan yang serasi dengan cangkir yang ada.
Akan tetapi, poin terpenting pagi ini adalah secangkir kopi kental berwarna coklat. Perpaduan krim susu, kopi yang harum, sejumput jahe yang dilumatkan bersama tumbukan kopi, hingga menimbulkan aroma pedas yang manis. Perpaduan kopi yang pas, teramat pas.
Buih-buih putih seperti ombak pantai ikut bermain tenang di genangan kopi dalam cangkir bunga daisy tersebut. Sisa-sisa susu membentuk sebuah lingkaran kecil coklat muda, memutar seperti komedi putar. Aroma yang khas dengan asap putih tipis yang membubung selaras, kopi yang nikmat. Benar-benar secangkir kopi yang nyaman dan tenang, secangkir kopi yang membawa sebuah kenangan, secangkir kopi yang membuat arakan memori terlempar lagi ke zaman puluhan tahun silam, secangkir kopi yang membuat file-file otak kembali terbuka perlahan, karena semuanya bermula pada secangkir kopi. Begitulah...
***
Saat itu, di sebuah kedai nyaman lima puluh meter dari halte bis, dan seratus meter dari sebuah kampus negeri ini, sebuah kedai kopi favorit. Tersaji pula secangkir hangat yang nikmat. Akan tetapi beda dengan cangkir kopi yang saya ceritakan sebelumnya, karena kali ini yang tersaji elok dalam tlanakan mungil dan indah adalah secangkir teh hangat yang menebarkan aroma kayu manis.
Mencengangkan, memang. Jika kamu duduk di sebuah kedai kopi, tetapi kamu justru memesan secangkir teh. Apapula masalahnya? Bukankah setiap kedai minum selalu menyediakan berbagai macam bentuk minuman sesuai selera. Akan tetapi serasa janggal sungguh jika berkunjung di sebuah kedai kopi, kamu justru memesan teh. Kenapa tidak ke kedai teh saja?
Di sinilah keunikan cerita ini, karena sosok gadis berkuncir tinggi di atas kepala, yang selalu duduk di tempat yang sama, selalu mengarahkan pandangan lelah ke luar jendela, terkadang malah mengarahkan pandangan dengan tatapan kosong, tatapan rindu serta berbagai macam tatapan yang sulit diartikan lainnya. Sebuah tatapan yang membuat setiap orang yang lewat dan lalu lalang di sekitar tempat itu akan berpikir ulang untuk sekadar menyapa.
Gadis belia dengan tatapan mata beraneka ragam saat menatap jendela, sumringah dan merubah binar matanya menjadi binar berpijar, binar indah dan binar yang sarat semangat saat membayar di kasir itu adalah Alin.
Hal itulah mungkin yang membuat si pemilik kedai kopi bermurah hati membagi tehnya untuk dinikmati oleh si pemilik mata bundar lebar bercahaya itu. Si pemilik kedai dengan ikhlasnya memberi jatah khusus kepada dirinya agar bisa turut merasakan secangkir teh hangat yang secara khusus disiapkan hanya untuk dirinya seorang.
"Saya pesen teh, boleh mas?" tanya Alin lima bulan lalu, saat dirinya baru pertama menginjakkan kaki di kedai kopi ini. Terang saja, si mas yang membawa menu aneka macam kopi mengerutkan kening, melipat wajah dan menatap tajam, situ ngeledek ya?! Begitu kira-kira bunyi tatapan si mas kala itu, Alin nyengir kuda, memasang tampang tak bersalah

KAMU SEDANG MEMBACA
Marmutkelinci143@yahoo.com
RomanceJika cemburu tidak membuat segalanya saru, maka izinkan aku bercemburu! Sayangnya cemburuku padamu menjadi sedemikian tabu. Tak seharusnya aku menyimpan rasa ini! Kelinci begitu panggilmu kepadaku, akupun memanggilmu dengan Marmut, sayangnya harus a...