KUNJUNGAN

861 35 3
                                    

Mayang menutup pintu kamar. Ia terengah-engah. Ia mundur. Pintu kamar diketuk.
" Mayang...buka pintunya." suara yang halus menelisik telinganya.
" Mayang.... Ayolah. Kami ini sahabatmu."
Mayang menarik selimut dan membekap telinganya dengan telapak tangan. Suara-suara itu masih terngiang. Hidungnya mencium bau anyir. Ia memejamkan mata. Ketukan di pintu berakhir. Mayang dengan ragu melirik ke arah pintu, namun dua pasang mata berwarna merah menghalangi pandangannya. Mayang menjerit dan melemparkan bantal ke lantai. Sosok besar dan hitam menjulang di hadapannya, hendak meraihnya. Bocah-bocah kuburan berhimpit-himpitan di pintu. Mereka berdiri dengan kaku, menatap Mayang.

Teman-teman sekamarnya bangun. Mereka mendapati Mayang menjerit-jerit. Matanya terpejam erat sementara kedua kakinya menendang-nendang. Gadis itu merasakan bulu kasar menggelitik lehernya. Ia mencoba mengikuti teman-teman sekamarnya berlari keluar. Namun, bocah-bocah kuburan itu meloncat ke arahnya dan membekapnya. Mayang menangis. Ia benci kawan-kawannya. Mereka membiarkan sosok itu menindihnya dan menebarkan bau anyir darah dan bangkai.

Anak-anak panti asuhan yang sekamar dengan Mayang bercerita dengan nada suara bergetar di pagi hari. Mereka tidak henti-hentinya terisak dan memeluk bibi Arum. Anak-anak lainnya berkumpul di ruang tamu panti asuhan. Bibi memeriksa kamar Mayang. Gadis itu tidak ada. Ia berlutut dan melihat kolong ranjang. Mayang tidak ada. Sampai ia menoleh ke lemari. Ada suara kunyahan di dalam sana. Bibi Arum memberanikan diri membuka pintu lemari.

Ia langsung lemas melihat Mayang sedang berjongkok di dalam lemari sembari menyedot gumpalan daging berwarna merah pekat. Gadis itu sangat pucat. Rambutnya berantakan. Tangannya yang kurus memegang erat gumpalan daging yang sedang dilahapnya. Tanpa mengucapkan apapun, Mayang menyeka bibirnya dan keluar dari lemari. Bibi sangat syok. Begitu Mayang keluar dari pintu kamar, ia memaksakan lututnya yang gemetar untuk berlari. Ia menyergap Mayang dari belakang dan membalikkan badan gadis itu agar menghadap wajahnya.

" Mayang! Ya tuhan! Apa yang kau makan?" tanya bibi sambil memperhatikan bercak merah di bibir gadis itu. Mayang hanya menatap datar bibi. Ia tidak menunjukkan emosi apapun. Pandangannya kosong, seolah-olah, ia hanya sendirian. Sesungguhnya bibi sangat takut, namun ia memberanikan diri dan mengajak Mayang ke kamar mandi. Dibersihkannya wajah Mayang dan membasuh gadis itu. Ia mencarikan Mayang baju bersih. Disikatnya kaki dan tangan Mayang. Gadis itu terus diam, ia tidak membuka bibirnya sedikitpun. Bibi membungkus Mayang dengan selimut tebal. Bibi menjerang air di teko. Ia segera menemui anak-anak lain dan meminta pengurus panti asuhan untuk tetap mengajak mereka melakukan aktivitas seperti biasa. Wajah-wajah anak-anak panti asuhan masih tersorot rasa takut. Jeritan Mayang kemarin malam membuat mereka waswas.

Mayang tidak menyentuh teh yang dibuatkan oleh bibi. Pikirannya benar-benar kacau. Ia tak mampu memikirkan apapun saat itu. Ia terbayang-bayang ketika sosok hitam itu menindihnya dan menghembuskan napasnya yang busuk.

Mayang masuk ke kamar dan mendapati anak-anak lain beringsut menjauh. Mereka merapat di dinding. Mereka memberingkus diri menggunakan selimut dan tidur di satu ranjang. Mayang tidak mengucapkan apa-apa dan langsung membaringkan diri di ranjang. Ia menarik selimut sampai leher.

" Anak-anak, mari kita berdoa sebelum makan." ucap bibi sambil mengatupkan tangan dan memejamkan mata. Anak-anak panti asuhan melakukan hal yang sama. Kecuali Mayang. Ia menatap dinding ruang makan. Kedua tangannya diletakkan di atas meja makan. Rambutnya disisir rapi, bibi yang melakukannya. Ia tidak melakukan kegiatan seperti biasa. Bibi harus mencuci bajunya, menyisir rambut Mayang dan merapikan ranjang anak itu. Sejak kejadian malam itu, ia tidak pernah bicara lagi. Bahkan, ia seringkali memandang tidak minat makanan yang dihidangkan. Bocah-bocah kuburan itu menghilang. Mereka tidak menemuinya lagi. Mayang seperti kehilangan jiwa. Ia laksana hantu yang kebingungan mencari jalan untuk ke tempat seharusnya ia berada. Ia selalu memeluk tongkat neneknya setiap tidur.

Bibi mengawasi Mayang ketika gadis itu mendorong piringnya menjauh. Anak-anak lain dengan lahapnya makan dan tidak mengacuhkan Mayang. Tetapi ketika gadis itu berdiri dan meninggalkan ruang makan, semuanya serentak menoleh. Mayang menyeret kakinya.

Malam tiba, pengurus panti asuhan mengajak anak-anak untuk berkumpul di ruangan dan berdoa. Suasana sangat lengang. Saat acara berdoa sudah selesai, mereka kembali ke kamar. Empat anak kecil yang satu kamar dengan Mayang menyusuri lorong panti asuhan sambil tertawa kecil. Suara jangkrik terdengar pelan dari semak-semak di halaman. Lampu berwarna oranye buram menerangi lorong. Untuk mencapai kamar, mereka harus melewati perkebunan panti asuhan, perkebunan tempat pohon pisang banyak tumbuh. Tempat favorit Mayang. Anak-anak itu berjingkrak-jingkrak riang. Namun, mereka menghentikan langkah ketika melihat seorang gadis keluar dari kamar mereka. Mayang. Gadis itu memegang tongkat hitam dan rambutnya terurai bebas.

Mayang berjalan pelan, nyaris seperti melayang. Ia menyelipkan seuntai rambut ke balik telinganya dan mengetukkan ujung tongkat ke batang pohon pisang. Empat anak kecil teman sekamarnya langsung bersembunyi dan mengintip. Mayang mengamati keadaan sekitar dan menghela napas panjang. Suara gemerisik memecah kesunyian. Pohon pisang itu berguncang. Lalu, sosok besar dan hitam muncul. Sosok itu mengulurkan tangannya yang besar dan berbulu. Mayang menyentuh tangan itu. Ia tersenyum. Sosok itu merangkulnya dan menimangnya seperti bayi. Mayang sontak terkikik sementara rambutnya mengayun. Anak-anak tadi yang mengintipnya berteriak. Mereka berbalik arah dan berlari kencang.
Mayang mendengar teriakan itu. Ia turun dari tangan sosok itu dan mengajaknya mengejar anak-anak tadi.

Anak-anak kecil itu menangis keras. Mereka semakin histeris begitu sadar kalau Mayang mengejar. Gadis itu melotot marah. Ia mengacungkan tongkat neneknya.

Salah satu anak kecil itu tersandung dan jatuh menghantam lantai. Akan tetapi ia tidak merasakan kerasnya lantai, melainkan gundukan kasar dan berbau anyir. Anak kecil itu gemetar. Cairan hangat mengaliri sela-sela pahanya. Sosok hitam tadi, yang diajak becanda Mayang, sekarang menjulang di depannya. Mayang berhenti di belakangnya. Ia menelengkan kepala sehingga rambutnya menyentuh lantai. Wajahnya yang pucat menyeringai seram. Lingkaran hitam menghiasi bagian bawah matanya.

" Halo..." sapa Mayang, untuk pertama kalinya sejak kejadian itu ia akhirnya mengucapkan sesuatu. Anak kecil itu menyeka pipinya dan berjongkok. Tubuh kecilnya gemetar. Mayang menyentuh puncak kepalanya.
" Tidak apa-apa, kau aman bersamaku." Mayang mengentakkan tangan anak itu dan menyeretnya paksa. Anak itu memekik lantang lantaran kakinya bergesekan dengan lantai. Sakit luar biasa menerpanya. Mayang menunjukkan ekspresi datar. Ia menyeret anak itu ke balik rimbunnya pohon pisang.

Potongan tabung kecil dari besi yang digantungkan di setiap atap teras panti asuhan berdenting karena ditiup angin. Pagi itu hujan. Udara sangat dingin. Suasana gelap dan sunyi. Selain dentingan besi itu, yang terdengar menyayat adalah isak tangis penghuni panti asuhan.

Bibi Arum tidak henti-hentinya mengusap wajah seorang anak kecil yang sudah dingin. Matanya terpejam. Sekujur tubuhnya basah karena air hujan. Lebam memenuhi kaki dan tangannya. Darah yang masih basah bergumpal di bibirnya. Dadanya robek bekas koyakan. Sementara para penghuni panti asuhan mondar-mandir ketakutan, marah dan bingung, Mayang sedang bersembunyi di dalam lemari. Leher sampai dagunya kotor akan darah. Diam-diam ia tersenyum.

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
KalaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang