"Pak, bukain dong gerbangnya!" gadis itu terus saja membujuk laki-laki berseragam satpam di hadapannya. Sejak dia datang lima menit yang lalu pria paruh baya itu sudah tidak mengijinkannya untuk masuk ke dalam sekolah.
"Kalau saya bilang nggak bisa, ya nggak bisa!" ujarnya tegas. Murid sejenis Windy memang banyak di sekolah ini, jadi ia sudah terbiasa menghadapi orang-orang dengan kepala sekeras gadis di depannya ini.
"Saya, 'kan cuma telat 20 menit, Pak, masa saya nggak boleh masuk, sih?" Kedua tangannya memegangi Kedua sisi Besi pagar. Dengan bibir yang di tekuk, ia masih berharap satu keajaiban terjadi dan membuat Pak Wira segera berubah pikiran.
"20 puluh menit, cuma kamu bilang?" bentaknya yang membuat nyali Windy kembali ciut.
"Lumayan itu pak, dari pada terlambat satu jam," ucapnya pelan. Ia menghela nafas, otaknya sibuk berpikir bagaimana cara agar ia bisa masuk ke dalam. Windy memang bukan termasuk siswi pintar dan dibanggakan oleh sekolah, tetapi dia juga bukan tipe murid yang sering bolos hanya karena telat.
"Pak bukain pintunya dong!"
Pandangan Windy mengarah pada cowok yang baru saja berhenti di sebelahnya. Kesan pertama yang dilihat Windy adalah, cowok ini merupakan tipe cowok yang tidak taat dengan peraturan sekolah. Itu terlihat dari pakaian yang berantakan juga gelang alay yang menumpuk di tangannya.
"Kamu lagi!" Mata satpam Ber-Nametag Wira itu melebar. "Kamu tidak bosan-bosannya ya dihukum!"
"Bapak kayak nggak biasa sama saya aja." cowok itu sebenarnya sudah biasa menghadapi Pak Wira yang setiap hari menjaga pintu gerbang sekolah. Pasalnya laki-laki ber-nametag Evan Sandi S ini terlalu sering terlambat, hampir setiap hari.
"Kali ini saya tidak akan memaafkan kalian. Pergi kalian dari sini!" Suara Pak Wira meninggi sebelum ia beranjak menuju pos satpam.
Evan menoleh ke sebelahnya. "Woi Tasya. Lo punya duit kagak?" Beberapa detik berlalu tanpa jawaban dari gadis beramput pendek tersebut. Merasa tidak di jawab Evan kembali bersuara "Woi! Gue ngomong sama lo."
Windy menoleh "Lo ngomong sama gue?" Windy menaikkan alis.
"Iya Tasya."
Alisnya naik sebelah. Windy sering melakukan ini ketika dia bingung. "Terus lo ngapain panggil gue Tasya? Sembarangan aja ganti-ganti nama orang," gerutu Windy sebal.
"Siapa suruh lo nggak pake Name-tag?"
Windy sedikit menunduk untuk memastikan perkataan Evan, kemudian terkekeh "Oh, iya."
"Nggak penting nama lo siapa. Yang penting lo punya duit nggak?"
Mata Windy melotot "Lo mau malakin gue, ya? Lo preman sini? Jangan macam-macam sama gue! Lo nggak tau apa gue pernah ikut karate!" ujar Windy sembari berkacak pinggang. Matanya melotot galak menatap Evan. Siapapun cowok ini, satu hal yang harus dia tau, Windy tidak pernah takut padanya.
Evan mengernyitkan dahinya. "Lebay lo. Duit lo itu buat Pak Wira, Kali aja mau bukain pintunya."
Windy mengerti sekarang, ia mengeluarkan uang berwarna hijau dari saku baju miliknya kemudian memberikan pada cowok aneh itu. Sebelum Evan mengambil uang itu Windy kembali menariknya "Enak aja lo pake-pake duit gue, duit lo mana?"
Laki-laki itu berdecak. "Udah siniin dulu uangnya, nanti gue ganti, deh, pas udah masuk ke dalem."
Windy memicingkan matanya sebelum memberikan uang tersebut. "Yaudah nih."
Setelah mengambil uang dari tangan Windy, cowok itu beralih menatap Pak Wira. "Pak!".
Laki-laki paruh baya itu sontak menoleh ke arah dua murid yang belum juga beranjak dari tempat mereka berdiri tadi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Rain, Wind and Mine (SUDAH TERBIT)
Teen FictionCerita ini tentang hujan, angin dan apa yang tidak bisa lagi dimiliki. Bagi Windy menjadi salah satu anak broken home adalah hal yang tidak pernah ia duga, seakan hidupnya lenyap seketika. Suatu hari, Windy menyadari bahwa takdir memang sekejam itu...