Pagi-pagi sudah turun hujan.
Wajah Iris yang bak secerah mentari itu redup seketika saat membuka pintu rumah. Kini air mukanya sudah seperti benang kusut alias cemberut.
Bagaimana tidak? Hari ini adalah hari kesukaannya, hari senin, hari dimana semua pekerjaan dimulai lagi setelah hari libur. Bukannya jadi semangat, malah membuat Iris malas-malasan.
Namun, sekolah tidaklah libur hanya karena hujan di pagi hari bukan? Baiklah, Iris mengalah dengan sangat berat hati.
Dengan satu dengusan menghentak dan racauan dalam hati yang sepertinya tak akan ada habisnya sampai di sekolah nanti, gadis bersurai merah klasik keunguan itu mulai melangkahkan kedua tungkainya keluar rumah dengan payung lipat warna kuning favoritnya.
Untung saja hari ini Iris tidak telat untuk bangun pagi, jadi jika ingin melangkahkan kakinya dengan perlahan agar tidak terciprat air hujan masih ada waktu untuk sampai ke sekolah dengan tidak telat.
Sebetulnya karena apa sih Iris bisa tidak suka dengan cuaca hujan?
Alasannya sederhana, menyusahkan.
Baginya hal yang berkaitan dengan hujan itu jadinya menyebalkan, tidak bisa beraktivitas di luar ruangan, membuat segalanya menjadi basah, dan terkadang bisa membahayakan.
Beda dengan teman-temannya yang generasi galau, kalau lihat hujan senangnya bukan kepalang. Katanya biar lebih merasakan dan merasapi apa itu arti sebuah kegalauan, haduh.
Sayangnya Iris bukan anak muda yang seperti itu.
Padahal hujan itu adalah ciptaan Tuhan, namun Iris tetap pada pendiriannya yang tidak menyukai atau lebih tepatnya membenci cuaca yang sangat diidam-idamkan para petani yang sawahnya kegersangan.
* * *
Karena Iris sedari tadi sibuk meracau saja di dalam hati, jadi tak terasa tinggal sedikit lagi dirinya sampai di sekolah. Cukup melewati beberapa blok rumah dari sini dan belok ke kanan.
Biasanya kalau cuaca sedang cerah sudah banyak anak-anak satu sekolahnya yang berangkat dengan berjalan kaki.
Karena hujannya cukup deras, paling mereka diantar orang tua masing-masing. Beda dengan dirinya yang tinggal sendirian saja. Mau bermanis manja juga dengan siapa..
Kedua orang tuanya saja mungkin sudah sampai di surga semua.
Lalu, entah darimana datangnya, tiba-tiba tubuh Iris tertabrak tubuh besar dari arah kiri dirinya berpijak. Iris yang sedang dalam keadaan tidak siaga saat itu langsung tumbang begitu saja ke aspal.
"Duh.. Aduh, sakit tahu!!"
Iris meringis, menahan rasa sakit yang ditimbulkan akibat lutut kirinya tak sengaja tergerus dengan aspal jalanan ketika terjatuh tadi. Terlihat lututnya sedikit berdarah dan sepertinya akan menimbulkan memar.
Meskipun cuacanya hujan, tetap saja kalau kau terjatuh juga terasa sakit.
Payungnya saja sudah terlepas dari genggamannya. Bagus sekali, dari ujung kepala hingga kakinya kini sudah seluruhnya basah diguyur oleh air hujan.
"Punya mata kan?!"
Iris pun murka kepada sesosok yang menabraknya itu.
Sudah pagi-pagi hujan lalu di tabrak oleh seseorang tak di kenal sampai terluka begini.. Selain mengeluhkan rasa sakit, racauannya kini sudah tak dalam hati lagi, melainkan tersalurkan melalui indra pengecapnya yang sudah seperti rentetan kereta api.
"Kamu.. Engga apa-apa? Bisa berdiri?"
Akhirnya sosok itu mengeluarkan suaranya, terdengar berat, khas seorang pemuda yang berjakun. Iris terdiam sejenak, namun belum padam rasa amarahnya.
Pemuda itu pun mengulurkan tangannya di depan wajah Iris. Gadis mungil itu pun mendongak keatas—sesosok pemuda bersurai hitam yang juga basah kuyup seluruh badannya, sama sepertinya.
Karena disini Iris memang sedang membutuhkan pertolongan, mau tidak mau gadis mungil itu mengenggam tangan sang pemuda dan akhirnya ia kembali berdiri. Tentu dengan lutut yang terasa perih.
"Ngomong-ngomong siapa namamu?"
"Oh.. Kamu yang nabrak aku barusan sampai jatuh? Ngapain pakai tanya-tanya nama segala, memang bisa bikin bajuku kering lagi gitu dengan kamu tahu namaku?"
"Tidak sih," pemuda itu menjawab dengan cepat disertai tawa kecil, "Tapi setidaknya, aku akan menemukanmu lagi saat hujan kembali tiba."
Sambil berkata demikian, pemuda itu juga membantu mengambilkan payung Iris yang tadi terlempar begitu saja. Karena tentu masih merasa kesal, Iris mengambilnya dengan cepat dari tangan sang pemuda.
Iris diam seribu bahasa, air mukanya sudah tak terarah. Marah besar.
"Hihi, jangan ngambek begitu, dong.. Ya, sudah. Sampai kita bertemu lagi, ya.."
Lalu pemuda itu melambaikan tangannya, menjauh dah menghilang dari pandangannya.
—TIDAK AKAN PERNAH, teriak Iris menyahuti dalam hati. Mana pemuda itu tidak minta maaf padanya, astaga.. Salah apa Iris pagi ini? Sudah diterpa bad mood tingkat tinggi.
Karena tidak mungkin kembali pulang kerumah untuk mengganti baju, dengan hati dongkol, Iris melanjutkan perjalanannya ke sekolah dengan kaki kiri yang terseok-seok.
* * *
"IRIISS! YA AMPUN, KAMU KOK BISA BASAH KUYUP TADI?!"
Suara Tasha begitu menggelegar sampai satu kelas mengarahkan padangannya pada Iris dan teman dekatnya ini. Iris menghela nafasnya, "Biasa saja, tidak perlu heboh begitu, Tasha."
Lagi pula ini sudah jam pelajaran kedua, telat untuk heboh. Tapi namanya juga Tasha, sedikit telat berpikir sifatnya.
Sekarang Iris sudah berganti baju menggunakan baju olahraganya yang disimpan di sekolah. Iris juga sudah izin dengan guru, jadi ia tidak akan kena skors karena memakai baju seragam yang berbeda di kelas.
Untung saja tasnya itu anti air, jadi tidak perlu was-was akan bocor airnya merembes sampai ke dalam tas mengenai buku-buku.
Oh, ya, soal lutut kirinya, sudah diobati di UKS dan yang terpenting, dirinya tidak telat sampai di sekolah.
"Kalau kamu diceritain juga pasti malah ngetawain aku, percaya deh."
"Engga kok, engga. Soalnya engga pernah-pernahnya kamu datang ke sekolah sampai basah kuyup begitu.. Kamu kan engga suka hujan. Engga mungkin kan kalau hujan-hujanan?"
"Nah, itu kamu tahu."
Nada bicaranya masih terdengar sinis, meskipun bukan Tasha lah sasarannya, hanya bad moodnya masih belum hilang hingga kini.
Dan benar saja, setelah Iris menceritakan seluruh kejadian yang menimpanya dari A sampai Z, Tasha tanpa basa-basi tertawa terbahak-bahak. Tak lupa Iris mencubit manja lengan temannya itu karena gemas dan ingkar janji akan tidak tertawa mendengarkan ceritanya itu.
Namun rasanya sedikit lega telah menceritakan hal yang menyebalkan tadi pagi itu. Maklum, Iris tidak punya tempat berkeluh kesah kalau tidak dengan Tasha seorang.
Temannya semenjak masuk sekolah menengah pertama disini.
"Sudah, jangan dibawa hati meskipun meninggalkan luka. Lagi pula itu hanya orang yang bertemu dijalan kan? Kemungkinan bisa bertemu lagi itu nol persen."
"Iya, iya. Sudah tidak aku pikirkan, kok."
Iris tersenyum tipis mendengar Tasha berkata demikian, sedikit menenangkan hatinya.
Namun, gadis mungil itu masih merasa dendam karena tak sanggup membalas sesuatu seperti memberikan bogem mentah pada pemuda menyebalkan itu.
"Semoga aku cepat lupa dengan masalah pagi ini.."
Desisnya pelan.
KAMU SEDANG MEMBACA
March Rain
Teen FictionIris sangat membenci hujan, baginya hujan itu lebih banyak menyusahkannya. Tidak bisa beraktivitas dengan sesuka hati, membuat segalanya menjadi basah, dan terkadang juga bisa membahayakan. Namun, perlahan Iris mulai berubah menyukai hujan. Bukan ka...