Pertemuan

28 3 3
                                    

Dengarkah kau lantunan diamku? Jika ya, rasakan erat lapisan pori-poriku. Pandanglah ke ufuk. Dimana matahari merasakan senyuman merekah, dimana nafas mengukir sebuah janji, darah mengalirkan kata yang tak terjawab. Kupercaya kelak tangan akan merapuhkan sentuhan, perpisahan pasti datang apa adanya, tetapi yakinlah, perpisahan bukan akhir segalanya, bukan pula arti dari sebuah pelepasan dan akhir dari sebuah pertikaian,

Tapi sebuah penantian pertemuan abadi dalam dimensi keabadian.

Langkah kakiku merapat, rapat, rapat, dan lumpuh, sampai-sampai tak dapat lagi kurasakan urat nadi dari alas kaki. Apakah ini? Kuhentikan pijatanku, kuhentikan tarikan jemariku, kumantapkan nafas sepersekian detikku. Kuterjerat oleh kawat tanpa duri menali dua bola mataku dengan erat tertuju fokus pada jendela tanpa fondasi. Sesosok gadis kecil berserabut hitam kelam yang terurai sampai bahu datang menghampiriku. Tunggu! kumencoba mengolah kognisi, memantapkan penglihatan, buffering, tubuh mana dulu yang harus kuperintah, tangankah? Kakikah? keduanya? atau... Bruaakkk, sakit, berat. Dengan cara yang kasar dan sempat mengejutkan sarafku, ia berada tepat di atasku, badannya bersentuhan dengan kulit ariku.

"Hiks,..hiks,.hu, huaaa" eeh, menangis? kenapa menangis? seharusnya akulah korbannya, merasa kesakitan karena tiba-tiba ia terjun di atas kepalaku, menindihiku, dan saat ini sedang berusaha mencoba bertahan untuk tidak menangis pula. Tapi, dengan cepat ku menegakkan badanku dan menatapnya perlahan. Perlahan memasuki lorong irisnya. Berhenti? Tangisannya berhenti? Eh kenapa malah ekspresi wajahnya berubah, tatapan matanya tertuju tepat ke wajahku dengan pupil yang membesar dan semakin membesar, sampai-sampai sisi lain matanya susah untuk dibedakan, menyatu, tanpa batas.

"Si , si, siapaa kau?" ekspresi wajah menunjukkan rasa ketakutan dan bingung seakan-akan ia berada dalam kawanan heyna. Eh aku? Kau bertanya padaku, seharusnya pertanyaan itu untukmu. Ku berusaha menenangkan diri, ku tegapkan tubuh mencoba meraih secarik kertas putih dan potongan kayu yang tlah diraut di atas meja bernyanyi, kurajut kata perkata ke dalamnya.

" Kenapa kau bisa kemari?"

"A, aku terjatuh dari tempat yang tinggi sekali"

"Apa yang menyebabkanmu terjatuh, tolong ceritakan awal mulanya sebelum kau terjatuh dan akhirnya berada disini, menindihku"

"Aku tak tahu..." balasnya polos. Apa barusan yang kudengar?

"Bisakah kau mengulanginya sekali lagi?"

"Aku tidak mengingat apapun, satupun, yang kutahu aku terjatuh dan keberadaanku disini." Heh, amnesia katamu? Haruskah kupercaya? Tidak, tidak ada seorang pun yang dapat bersinggah di tempat tenangku ini. Haruskah kupasang penghalang agar tak ada mahkluk lain yang mengacaukan tempat ini. Yah, sama saja alhasil kebobol juga. Siapa sesungguhnya gadis ini. Ugh, lupakan! akan kusambung permainan melodiku lagi bersama meja bernyanyi. Ku tak peduli dengannya. Tanpa menghiraukannya kubersiap memetik balok hitam-putih.

**

Tetap melihatku dengan bola mata hitam pekatnya, memerhatikan setiap inci tarian jari jemariku, ke kanan, ke kiri, matanya mengikuti ayunan jariku.

"Permainan melodi yang indah, teruslah bermain, jangan berhenti, ijinkan kumerasakan ritme klasik yang kau ciptakan." Ku hanya bisa menganggukkan kepala. Keteruskan permainanku bersamanya. Sosok asing dari langit yang datang tiba-tiba dengan atraksi jatuhnya. Sudah 4 hari ia tersekap di tempatku ini, memintaku terus bermain. Tersadar duniaku yang sekarang telah tercipta ruang dimensi dunia lain baginya juga.

**

Detik demi detik, menit demi menit, jam tak mau kalah dengan mereka, disusul hari dan minggu, keeksistensiannya melukiskan dimensi baru bagi ruang kecilku yang mungkin juga ruang isi emosiku, emosi?

"Akankah kau tetap bermain meskipun kau tak dapat lagi mengayunkan jarimu?" tanyanya polos mendekati meja bernyanyiku. Lekas ku ambil lembaran baru yang masih tersisa dan menuliskan kata penghubung kepadanya.

"Aku tak akan pernah berhenti bermain, sampai ku merasa bosan."

"Lalu kapan kau mulai merasa bosan?" sahutnya lagi penasaran dengan terus menatapku. "Diriku sendiri juga tak tahu kapan rasa bosan itu datang, tapi kuberharap, ku tak menemukan kebosanan itu, kuingin terus dan terus memainkan ritmeku sampai semua tersampaikan."

"Siapa yang kau maksud? untuk siapa kau memainkan ritme ini?"

"Untuk seseorang yang tak pernah ada..." kuterdiam sejenak menatap penuh masuk ke jendela jiwanya.

" Dan kelak menjadi ada" sambungku perlahan.

"Akankah aku bisa menjadi bagian darinya?"

"Untuk apa kau memohon, dari sebelum-sebelumnya kau sudah tercipta untuk menjadi bagian dari ritme ini." Ku alihkan pandanganku menatap langit tanpa batas lalu sedikit ekor mataku melihat ke arah pancaran wajahnya, senyuman tipis nan hangat dengan penuh serpihan keharmonian merekah darinya. Kulanjutkan petikanku ke permukaan hitam-putih meja bercua, kuterbayang, bayangan yang tak terbayang, abstrak, gelap menjadi terang benderang tanpa sekat dan serat. Polos layaknya pancaran wajah dari gadis kecil itu. Akankah waktu menjawab permohonanku, akankah angin, air, dan embun, merangkai kataku menjadi sebuah lisan tak terucap, akankah aku dan dia menjadi suatu ketiadaan. Sejauh mana melodi ini mengalir dan terbang...

***

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: May 05, 2017 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Untittled 2Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang