12

148 20 2
                                    

Misi dimulai.

"Nanti gue beliin Haagen Dazs yang gede, janji."

"Gue nggak semurah itu, Mel." Berkata begitu, tetapi Selena tetap menautkan kelingkingnya dengan milik Melody. Ogah-ogahan.

"Dua?" Dua jari Selena membentuk huruf V.

"Deal, yang kecil dua."

Selena bersedekap.

"Oke, oke, besar dua." Melody mengalah. "Tos dulu!" Tangan mereka kemudian menimbulkan suara keras. Melody tersadar dan memeriksa sekeliling. Kalau ada yang melihat, pasti dia dikira orang gila.

"Buruan beraksi, sana! Rumahnya di blok empat." Melody membaca catatannya. "Gue nunggu di sana." Ada sebuah kafe sekitar dua ratus meter dari gerbang kompleks elite Bumi Hijau. Gerbang masuknya dijaga satpam. Dia yang bukan penduduk di sana tentu tidak bisa masuk sembarangan. Dari penampilannya saja, satpam mungkin akan langsung mengusirnya. Hanya celana jins sobek di lutut dan jaket gombrong biru tua, bukan tipe pakaian warga kompleks itu.

"Enak, ya, sambil ngopi-ngopi," cibir Selena.

"Buruan masuk, sana!"

"Kalau ada CCTV, gimana?" Selena masih mencari celah agar bisa kabur dari tugas mahaberat itu. Pintar sekali Melody memanfaatkannya.

"CCTV secanggih apa pun nggak bisa nangkap muka lo. Udah, sana pergi!" Melody tancap gas, Selena tidak memiliki pilihan selain pergi ke arah yang berlawanan. Mereka memang sengaja tidak mengajak Agus. Meminimalisir risiko.

Rumah bernomor sebelas itu besar dan bertingkat dua. Bangunannya bergaya Eropa, seperti kastel. Warna dominan bangunannya putih dan halamannya hijau. Asri sekali karena banyak tanaman dan bunga. Gerbangnya tertutup rapat dan ada satpam yang berjaga. Pintu rumah dan garasi itu sama. Mobil diparkir juga tidak ada. Seperti tidak ada kehidupan. Selena membayangkan pasti rumah itu kerap disinggahi wanita-wanita cantik kenalannya Pak Hari.

"Saya izin masuk, ya, Pak!" Selena berbicara di depan Pak Satpam. Baru saja dia akan masuk, terdengar suara klakson sehingga satpam harus membuka gerbang.

"Pak Gunadi, tumben?" Satpam itu menyalami pria kurus yang baru keluar dari sedan putih. Sepertinya sudah lama kenal. Selena mendekat agar bisa mendengar dengan jelas.

"Bapak ada?" tanya Pak Gunadi. "Katanya sudah pulang dari Singapura."

"Memang, tapi langsung ke Jogja. Sama ibu, Pak?" Satpam itu melongok ke dalam mobil.

"Tidak, saya disuruh ngantar buah sama ibu. Ibu minta maaf karena belum jenguk." Pak Gunadi mengangsurkan parsel yang sejak tadi dipeluknya.

Selena menelan air liur, buah di siang yang panas begitu menggoda.

"Ada urusan apa sampai bapak ke Jogja?"

"Mungkin nengokin kampung halaman, saya juga kurang tahu. Kayaknya ada festival kesenian di waduk. Perusahaan bapak, kan, sponsornya."

Bapak itu pasti Pak Hari. Ibu itu, ibu siapa? Apa salah satu mantan istrinya? Waduk?

"Ibu nggak pernah ke Jogja, Pak Gunadi?"

"Kesehatan ibu kurang baik akhir-akhir ini, jadi jarang pergi-pergi."

Pasti mantan istrinya, pasti, batin Selena.

Tidak berselang lama, mobil Pak Gunadi pergi dan satpam itu kembali berjaga. Selena melambaikan tangan, lalu masuk menembus pintu.

Ruang tamunya besar, ada dua set sofa yang nyaman. Rumah mantan anggota dewan, sih, pasti banyak tamu. Hanya ada lukisan di dinding, tidak ada satupun foto. Yang dibingkai kecil di meja pun tidak ada. Ruang keluarga biasa, dapur tidak ada yang mencurigakan.

Kutunggu Kau di 2017 (Edisi Revisi)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang