Maskotku Kematianku

102 2 0
                                    

Guntur malam bergemuruh riuh menggemparkan kepekatan malam. Mendendangkan sambaran ke seluruh pelosok bumi membawa hujan deras dan kilat-kilat.

“AAAAAAARRGGHHH...”

Sebuah suara jeritan pilu melengking hebat menyemarakkan pesta alam yang baru saja dimulai. Symphoni hujan terdengar bersemangat menerpa atap-atap, seolah hendak meredam teriakan berat tadi.

“AHAHAHAHA.... Menjeritlah sepuasmu! Karena mungkin beberapa menit ke depan kau tak dapat melakukannya lagi mantanku yang tampan.”

Sayup-sayup terdengar suara lain dari bilik tembok ruang serba putih nan luas. Di sana berdiri seorang gadis dengan jubah bertudung hitam yang membungkus hampir seluruh tubuhnya. Sosoknya tampak kontras menyeimbangi nuansa ruangan. Kakinya melangkah anggun menapaki lantai marmer putih menuju sebuah meja jagal besar yang mengikat sesosok pria tinggi yang terbaring terlentang membentuk posisi salip dengan rantai.

Wajah pria itu penuh oleh lebam dan luka sayatan yang menganga. Darah segar mengalir tiada henti menuruni pipi cekungnya yang bercampur dengan beberapa gumpal darah yang tampak sudah mengering kehitaman.

“Ini baru satu jam berlalu, tapi kenapa wajahmu terlihat sedih? Bukankah kau seharusnya senang menghabiskan waktu bersamaku?” Gadis itu mengelus pelan bercak darah di wajah sang pria dengan tatapan kosong, membuat pria itu menyernyitkan keningnya kesakitan, “Itu bukan?...Yang sering kau katakan padaku dulu?” Lanjut gadis itu sembari menyeringai.

“H-henti-kan... kumoho...”

PLAKK!!!

Perkataan pria itu terputus akibat tamparan keras di rahangnya.

“AHAHAHA...” sang gadis kembali tertawa keji, “Apakah permohonanku saat itu kau hiraukan?!” Gadis itu kini menjambatk kuat rambut pria tersebut yang basah karena keringat.

“Arggh...” Sorot mata si pria terlihat amat ketakutan, menyerupai hewan malang yang tak siap dimangsa.

“Ahh! Aku ingat! Kau pernah berkata bagian tubuhmu yang paling kau sukai adalah mata dan wajah tampanmu yang mulus itu! Kini ku beri kau pilihan...” Senyum gadis itu mengembang lebar, ia lalu melepas kasar cengkramannya pada rambut pria tersebut.

“Mana yang kau pilih?”

Si gadis menunjuk tiga aquarium berukuran sedang di masing-masing kursi di sampingnya dan kembali membuka suara. “Kotak pertama adalah kelinci mati dengan puluhan jarum yang menancap di kedua mata merahnya, terlihat indah bukan?” lagi-lagi gadis itu terkikik geli. “Lalu kotak kedua berisi mayat serigala dengan jahitan di sekeliling lehernya, dan yang terakhir adalah buaya mati yang baru saja dikuliti. Ah! Mana yang kau pilih tampan? Ahahaha...”

Mendengar penjelasan panjang tersebut membuat tubuh si pria melemas seketika, ia hanya dapat bungkam dan diam, terlalu takut untuk bersuara.

“JAWABLAH!!!” Bentak gadis itu marah, mengejutkan detak jantung sang pria yang kian memacu cepat.

“Y-yang pertama!” Kata pria tersebut dengan suara bergetar.

“Menarik sekali...AHAHAHAHA!!!” Gadis jubah hitam itu kembali tertawa keras seolah kerasukan.

“Baiklah, kau telah memilih cara kematianmu, maskot kaum-mu.” Gadis itu melangkah anggun mendekati sang pria sambil meletakkan sekotak jarum jahit di samping kepala pria tersebut.

“T-tolong jangan lakukan. Kumohon! Tidak! TIDAK!!!” Pria itu menghentak-hentakkan kepalanya menjauh, tapi rantai di lehernya meminimalisir pergerakannya.

CESS!!!

“AAAAAARRRGGGHHH.....”

Satu jarum menancap mulus di manik mata hitam sang pria, darah terciprat menghiasi kelopak matanya. Jeritan kesakitan pun tak dapat dielakkan.

“CESS!!! CESS!! CESS!!!”

“AAAAAAAAAAAARRRRRRRRRRRRGGGHH.........”

Gadis itu mempercepat ritme pekerjaannya, membuat cairan merah terciprat ke segala penjuru. Jari-jarinya menari lihai memegang jarum-jarum, seolah tengah melakukan pengobatan akupuntur. Raungan demi raungan bergema setiap kali benda tajam itu menembus matanya yang kenyal. Sang gadis menyeringai puas menilai pekerjaannya lalu menatap bahagia tangan kosongnya yang dipenuhi cairan merah. Raungan kesakitan akhirnya terhenti dengan akhir yang sama seperti mayat kelinci, mata yang berbanjir darah di seluruh wajah dan puluhan jarum yang menancap di sana. Rintik hujan kini terdengar sayup, mengheningkan diri seolah hendak mencari tahu tragedi naas apa yang baru saja ia lewatkan.

-the end-

Maskotku KematiankuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang