Sore seperti enggan untuk melepas matahari berwarna jingganya terbenam, maka dilambat-lambatkannya lah waktu. Atau ini hanya perasaanku saja?
Terhitung sudah ketiga kalinya aku merogoh saku untuk mengeluarkan savonetteku. Mengecek sedang berada di mana posisi jarum jam saat ini. Tapi tetap saja, perasaanku mengatakan bahwa sore hari ini memang berjalan sedikit lebih lama dibandingkan sore-sore sebelumnya.
Dari posisiku, bisa kulihat matahari sedang meluncur malu-malu untuk membenamkan dirinya. Matahari juga terlihat antara ingin dan tidak ingin meninggalkan sore. Keduanya sama-sama tidak ingin berpisah, tapi keduanya juga tidak mungkin memaksa takdir mereka. Matahari tahu sebentar lagi ia akan padam di belahan bumi yang sedang ia sinari, dan kembali menebar sinar dan hangatnya di belahan dunia lainnya yang sebentar lagi akan menyapa pagi. Sedangkan di belahan bumi tempat ku tinggal, bulan sebentar lagi akan datang mengenakan seragam kantornya, dan mudah-mudahan saja ia membawa bintang, anak buahnya.
Aku menyerah. Aku menyerah menunggu matahari benar-benar menghilang. Kubiarkan saja dia melukis langit dengan warna favoritnya, jingga kemerah-merahan. Bukankah tidak setiap hari aku dapat melihat ia begitu antusias dengan pensil warnanya? Tak jarang aku hanya disuguhkannya warna abu-abu yang monoton ketika sore hari.
Maka kuperhatikan saja langit yang sedang dijadikannya media untuk melukis. Semakin lama semakin gelap.
Sebuah layang-layang. Mataku menangkap kertas bersegi empat melayang anggun di angkasa. Layang-layang berbentuk sederhana, lengkap dengan ekor panjang (yang aku yakin, pemiliknya membuatnya dari koran) di bawahnya.
Layang-layang itu melayang, bergerak sangat tidak signifikan, yang aku tidak tahu apakah layang-layang itu sedang bergerak maju, mudur, samping kiri, atau kanan. Siapa pula pengendali layang-layang itu, pikirku.
Matahari mulai mengambil crayon berwarna dua derajat lebih gelap. Tapi sore belum benar-benar beranjak.
Layang-layang sederhana itu masih berputar-putar di tempat. Menerima terpaan angin dengan pasrah, mungkin pengendalinya tidak terlalu bersemangat untuk memainkan benangnya. Maka dibiarkannya saja angin sore hari mengambil alih.
Seekor nyamuk menggigit pergelangan tanganku. Kode alam, pikirku. Bahwa kerajaan nyamuk mulai mengirim satu persatu tentaranya untuk memerangi mahluk hidup, terutama manusia. Bahwa sore hanya tinggal menunggu hitungan menit lagi untuk bertukar posisi dengan malam.
Aku beranjak dari tempatku menikmati lukisan matahari yang kini tinggal sisa-sisa saja. Sebagian malah sudah digantinya dengan warna biru gelap, hanya tinggal secercah kecil warna jingga yang kukagumi itu.
Langkahku terhenti. Layang-layang itu kembali mencuri atensiku. Layang-layang itu tersangkut, di salah satu tiang tempat terhubungnya kabel-kabel yang menyediakan listrik untuk umat manusia di perumahan tempatku tinggal.
Kupandangi saja. Kulihat layang-layang itu dipaksa untuk melepaskan dirinya dari tiang itu. Tapi sepertinya percuma, layang-layang itu seolah-olah menemukan belahan jiwanya, tiang listrik. Betapa gigihnya untuk ditarik, layang-layang itu keukeuh mempertahankan ikatannya dengan tiang listrik.
Begitulah. Akhirnya, layang-layang sederhana itu dibiarkan saja menetap di tiang listrik. Menjalani kehidupan barunya, tanpa ada yang menarik ulur benang hidupnya.
Sikap bijaksana yang diambil oleh pemilik layang-layang itu, untuk memutuskan benangnya. Dia tahu, bukan bersamanya layang-layang itu merasa bahagia, bahwa layang-layang itu merasa lebih bahagia bersama tiang listrik, ketimbang dirinya.