Bungou Strays Dogs © Kafka Asagiri and Sango Harukawa
(I don't take any profit by publishing this fict)
AU
Dazai/Atsushi
Dazai/Akutagawa
Dazai's POV
Boku no Sekai
Lensa mataku menatap lurus pada kelereng yang kupegang di antara telunjuk dan ibu jari. Di dalam bola itu, terdapat butiran warna yang indah. Kelereng transparan berisi butiran pasir dan mutiara imitasi aneka warna. Seperti inikah alam semesta bagi Tuhan? Kecil, tapi menakjubkan. Aku tak tahu. Bibir ini tak pernah bercengkerama dengan-Nya. Bertanya pun, pada akhirnya hati ini yang menjawab. Aku? Aku hanya seorang penulis. Aku pemilik dunia di dalam lembaran kertas penuh tinta. Aku bukan pemilik dunia sebenarnya, yang manusia bilang realita. Namun, aku bisa membagikan dunia dan impian bagi mereka yang membaca karyaku. Ya, andai saja aku berminat untuk mempublikasikannya.
Aku hanyalah manusia konyol. Alih-alih membawa hasil jerih-payahku beberapa bulan terakhir ke penerbit, aku justru menenteng tas berisi naskah novelku ke mana pun, meminta seseorang yang kukehendaki untuk membacanya. Aku akan menanti mereka yang bersedia, tak peduli hingga mentari bertolak dari langit di atas sana. Aku menanti dengan setia. Ketika mereka selesai membaca, aku tersadar dari lamunanku. Ekspresi mereka beragam, membuatku tak pernah bosan. Sebagian dari mereka hanya terbengong-bengong, sebagiannya lagi memberikan pesan dan kesan. Aku terkesima. Kuhaturkan terima kasih sebisaku melalui tubuh yang membungkuk dalam-dalam.
Diri ini akhirnya mendapat nama panggilan, yakni "sang penjelajah". Sepasang kaki yang Tuhan pinjamkan menjadi kendaraan yang mengangkut tubuhku melintasi daratan. Terik dan hujan silih beranti menemaniku. Peluh dan kepulan udara bersahutan. Aku terus menjelajah, masih dengan kekonyolanku.
"Paman, apa yang kaulakukan?" Pertanyaan yang dilontarkan seorang anak menengadahkan kepalaku.
Warna hitam-putih sebagai mahkota kepala menyambut penglihatan ini. Seorang anak lelaki memandangku dalam sirat penasaran, dua butiran besar gulita miliknya terarah pada tas yang kubawa. Aku membuka tasku, memamerkan lembaran kertas yang mulai tampak usang, jejak dari tangan ke tangan. Bocah itu meminta izin padaku.
"Boleh aku membacanya?"
Aku menghela napas, sedikit keberatan. Karyaku adalah konsumsi orang dewasa. Narasinya terlalu berat untuk dicerna. Kisahnya imbang, sama beratnya. Aku tak ingin mencekoki benak anak sepuluh tahun dengan bacaan seperti ini. Namun, dia bersikeras.
Bocah beralis tipis itu menggembungkan pipi sebal. "Ayolah. Aku ingin membacanya. Aku murid paling cerdas di kelasku, jadi tidak usah cemas."
Menarik. Bocah ini pintar bicara rupanya. Apakah setiap saat lidahnya terbiasa berdansa? Apakah dia pembual? Maksudku, manusia dengan kemampuan berbicara biasanya hanya pembual. Mereka mengandrungi pendengar, melacurkan lisan. Mereka mengail umpan mereka dengan ucapan. Aku duduk di sebuah kursi taman. Kusodorkan naskahku. Tangan pasi miliknya menyapa tanganku. Jemari kami bersentuhan, memindahkan lembaran kertas dariku kepadanya.
Daguku ditopang dua tangan yang tak memiliki urusan. Kubiarkan sang bocah duduk di sisiku, matanya bergulir dari kanan ke kiri secara monoton. Dua gulita lalu berbinar, seolah-olah tengah menampakkan rupa langit malam penuh kejora. Ini kali pertama aku melihat ekspresi pembacaku dengan seksama selama dia membaca. Anak itu terkadang mengerutkan dahi, terkikik, dan bahkan mengerucutkan bibir. Dia membaca lebih cepat dari perkiraanku, melebihi pembaca yang sudah-sudah. Bahkan ketika lazuardi masih angkuh berdiri di atas kami, dia menyudahi sesi membacanya. Dia kembalikan naskah tersebut pada pemiliknya, yakni aku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Boku no Sekai
FanfictionDua pertemuan, satu benda, dan tiga rasa. Ini kisah tentang kita bertiga. [AU]