Ada yang Spesial dari Hujan

621 6 0
                                    


Ada yang spesial dari hujan,
Ia tetap kembali meskipun telah jatuh berulangkali.
Aku masih terdiam di tempat ini untuk waktu yang cukup lama. Duduk dalam kebimbangan yang entah dimana ujungnya. Tak terlihat. Sesederhana rintik hujan yang mengalun pelan di kaca jendela membuat mataku tak henti terpana. Bibir ini seolah tersenyum tanpa ku sadari.
“Ini” ucapnya sambil menyodorkan payung biru mungil padaku
Aku masih terdiam memandangnya meskipun ia menundukkan kepala.
“Tapi kan kamu cuma punya satu, Sat” kataku agak canggung
Aku tak langsung menerima payungnya.
“Aku masih ada agenda di sini sekalian menunggu hujan agak reda”
Aku masih belum menjawab sampai akhirnya Satrio meletakkan payung itu disampingku setelah seseorang memanggilnya untuk segera memulai rapat.
Kenangan tidak hanya berhenti disitu. Kami kembali bertemu dalam situasi yang cukup romantis. Ya, setidaknya menurutku begitu. Aku melihat sosoknya duduk di kursi penonton paling depan. Sempat rasa grogi mengaca-acak mimik wajahku saat sedang membacakan sebuah puisi tentang hujan kala ulang tahun sekolah. Hingga akhirnya aku melihatnya berdiri, bertepuk tangan disaat semua audien hanya bertepuk tangan dalam kepura-puraan. Ia tersenyum. Entah ditujukan untuk siapa senyuman itu tapi aku akan menganggapnya sebagai sebuah pertanda bahwa itu ditujukan khusus untukku, senyuman manis khusus untukku.
Tarrrr…………
Flashback end.
Lagi-lagi aku harus mengakhiri lamunan manis ini dengan hal yang tidak menyenangkan. Aku meraih headphone dalam laci, ku putar lagu seadanya dengan keras. Menurutku tetap berdiam diri di kamar adalah pilihan terbaik. Aku tidak ingin mendengar kekacauan diluar. Aku tidak ingin melihat apa yang terjadi diluar. Lebih tepatnya sebuah adegan yang membuat hatiku sangat sakit, Bahkan hanya sekedar mengingatnya-pun aku tak mampu. Namun, entah mengapa lagu-lagu yang ku putar seakan mengalun begitu pelan. Air mata meleleh tanpa izin. Hidup tanpa adanya keharmonisan membuatku lelah dan bosan. Sekuat apapun aku mencoba berdiri, tetap saja kaki ini tak mampu menopang beratnya masalah yang ku alami. Bagaikan aku telah berkawan lama dengan luka dan air mata. Terkadang aku hanya bisa bertanya pada diri sendiri.
Bagaimana rasanya jika memiliki seorang sahabat?
Bagaimana rasanya dipeluk oleh orangtua?
Bagaimana rasanya makan bersama keluarga?
Entahlah. Aku tak tahu jawabannya. Hati ini hanya akan selamanya menjadi terminal rindu yang tak memiliki tujuan. Juga seperti memimpikan pelangi di tengah kemarau panjang.
***
Bertemu tanpa bertatap muka. Itulah yang selalu ku lakukan agar bisa bertemu walau hanya mendengar suaranya. Setiap kamis ba’da ashar aku sudah stand by di masjid sekolah untuk mendengar Satrio mengisi kajian. Tanpa ku sadari hal itu menjadi kebiasaan yang tak bisa ku tinggalkan. Aku merasa rindu ketika tak bersua ataupun sekedar mendengar suaranya. Laksana candu yang membuatku susah untuk melepaskan diri.
“Sepertinya anti selalu disini setiap kamis sore ya?” tanya seseorang yang tiba-tiba saja menghampiriku
Spontan aku langsung mengisyaratkannya untuk diam dengan menempelkan jari telunjuk ke bibirku. Ia tersenyum mungil.
Oh Tuhan, senyumnya begitu indah. Entah mengapa auranya terasa sangat berbeda. Wajahnya seolah menyampaikan sebuah keteduhan dan kenyamanan. Aku memandang perempuan berjilbab putih besar itu dengan cukup lama.
“Mbak” ucapnya sambil menggoyahkan pundakku pelan
Aku terperanjat dari lamunan.
“Kalau anti tertarik, Rohis ada kok jadwal kajian untuk putri. Kalau kajian putra kan setiap kamis, nah kalau yang putri setiap senin ba’da ashar. Anti boleh kok gabung sama kita” terangnya
Bahkan nada bicaranya jelas berbeda. Aku merasa begitu kecil di hadapannya. Aku malu.
“Namaku bukan anti” jawabku kemudian berlalu meninggalkannya
Aku sempat bebarapa kali menengok dan kudapati perempuan itu tersenyum kecil. Entah apa arti senyuman itu namun, hal itu membuatku risi. Aku merasa seperti ada sebuah penghinaan. Aku sangat paham bagaimana posisiku di sekolah ini. Hanya sebagai tokoh pembantu yang bahkan tak terlihat. Aku bergegas meninggalkan mushola sekolah. Baru beberapa meter keluar dari area masjid, langkahku terhenti. Ku putar kembali kaki ini menuju masjid. Tapi, aku hanya bisa mematung melihat perempuan itu masih berada disana. Ia sedang berbincang dengan Satrio.
Hanya dengan melihat keakraban mereka dadaku terasa begitu sesak. Kebahagiaanku yang kemarin seolah musnah. Ku senderkan payung yang sempat Satrio pinjamkan di tiang parkiran mushola. Aku berlari menjauh, berlari sekuat yang aku bisa. Satu hal yang membuatku merasa sangat sedih adalah aku tak mungkin bisa bersanding dengan perempuan itu untuk mendapatkan Satrio. Tidak mungkin dan tidak akan bisa. Kali ini aku kembali tersadar, aku hanyalah aku. Gadis kesepian dengan segunung masa kelam. Aku hanya buih di lautan dan perempuan itu adalah permata. Dia adalah kuncup bunga nan elok rupawan yang berada ditepian jurang sehingga bukan sembarang orang yang bisa memetiknya. Sedangkan aku, hanya sebuah rumput kering yang hanya bisa memandang keindahnnya. Aku menghakimi diri sendiri yang terlalu banyak berharap.
Bagiku, angan dan harapan adalah satu hal yang sangat menyakitkan.
***
Aku berbaring di salah satu kamar tidur klinik sekolah. Tubuhku masih terasa sakit setelah pertengkaranku dengan ayah tadi malam. Ia memukuliku tanpa ampun seolah aku ini  bukan anaknya. Namun, entah keberanian darimana yang membuatku berani membela diri dihadapan ayah. Meskipun pada akhirnya aku tidak bisa berbuat apa-apa ketika ia melayangkan pukulan dengan mudahnya.
“Apa jika aku mati…… semua akan selesai? Apa jika aku mati, penderitaan ini akan berakhir?” gumamku
Aku menghela napas dalam sembari memandang langit-langit ruangan. Air mataku kembali mengalir tanpa izin. Sungguh aku benci melihat betapa lemah diriku hingga dengan mudahnya setitik air meleleh membasahi kedua pipi. Entah dimanapun aku berada aku merasa tidak mampu menemukan sebuah kebahagiaan. Seakan dunia ini begitu gelap. Hidup dengan awan hitam yang tak berhenti menggelayuti. Aku tak lagi bisa menahan beban berat ini. Beban berat dengan berbagai kenyataan yang menggerus semangat hidupku. Kenyataan bahwa aku tak punya keluarga yang harmonis, tak punya teman, tak ada tempat bagiku untuk bersandar. Tak ada yang bisa ku lakukan kecuali menangis, menangis dan menangis. Aku tidak tahu harus bagaimana menggantungkan diriku pada-Nya. Aku terus saja memusuhi-Nya karena ketidakadilan yang ku terima.
“Kenapa harus ada orang sepertiku di dunia ini? Bagaimana mungkin akan ada orang lain yang mencintaiku bahkan disaat aku membenci diriku sendiri. Sebenarnya apa gunanya aku hidup? Mungkin keberadaanku hanya sebagai pelampiasan amarah mereka. Ya, hanya sebuah objek pelampiasan”
Aku tertawa dalam tangis.
Aku tersentak ketika melihat seseorang meletakkan sebungkus tisu di tepi ranjang. Sekilas aku melihat tangannya. Ia segera keluar dari klinik sekolah ketika aku membuka gorden pembatas yang terpasang disebelah kanan ranjang. Orang itu terasa tidak asing. Ku paksakan kaki ini untuk mengejarnya.
“Satrio!” seruku
Ia berbalik kaget.
“Audrey”
“Ayo kita bicara”perintahku
Kami berhenti di atap gedung laboratorium.
Aku melangkah menghampirinya tanpa ragu kemudian ku lempar tisu itu ke arah Satrio. Tissu itu terpental tepat di dadanya. Lagi-lagi satrio menunduk.
“Angkat kepalamu!” teriakku
Satrio mengangkat kepalanya sedikit tapi tak sepenuhnya memandangku.
“Sebegitu jijik kah aku dimatamu, Sat? sampai kamu-pun enggan untuk melihatku”
“Mata ini haram memandang perempuan yang bukan mahramnya”
Aku tersenyum agak sinis.
“Aku benci melihat kebaikanmu, aku benci  kamu menegurku, dan aku benci dengan semua perlakukan baikmu padaku. Kamu tahu kenapa? Karena semua yang kamu lakukan hanya topeng. Aku nggak percaya dengan kebaikan orang lain. Begitupun denganmu. Jadi aku mohon jangan lagi berbaik hati padaku. Karena itu semua akan semakin membuatku terluka” jelasku dengan nada marah
“Aku yakin hatimu tidak bilang seperti itu, Rey” bantahnya
“Tahu apa kamu tentang hatiku?!” kataku dengan nada meninggi
“Bahkan aku sendiri saja nggak tahu. Aku nggak tahu untuk apa aku hidup. Tujuan, harapan, cita-cita, aku nggak punya semua itu. Aku hanya sebuah nyala lilin di tengah teriknya gurun pasir. Jadi aku mohon pergi jauh-jauh dari hidupku, Sat” kataku dengan memberikan penekanan di kalimat terakhir
Aku berbalik pergi meninggalkannya.
“Aku bersedia menjadi temanmu, Rey!” seru Satrio
Langkahku terhenti. Semua perkataannya membuatku muak.
“Teman” lirihku sengit
“Masih banyak jalan untuk bahagia, Rey” ucapnya
Aku berbalik.
“Memang kamu ini siapa sok peduli dengan kebahagiaanku? Bahkan mereka saja nggak pernah menganggapku ada. Aku ini hanya objek pelampiasan amarah mereka. Seluruh tubuhku ini sudah menjadi saksi bagaimana kejamnya mereka yang mengatas namakan sebagai orangtua. Cacian, pukulan sudah biasa ku terima. Oleh karena itu, aku nggak percaya bahwa DIA menciptakan bahagia bersama luka. Aku sudah lupa bagaimana caranya bahagia” jelasku sembari menunjuk kearah langit ketika mengucap kata DIA
Hening. Hanya terdengar deru napasku yang tak beraturan. Butiran-butiran air mata tiada henti mendorong sudut mata. Hingga akhirnya meleleh membasahi kedua pipiku.
Aku menghela napas panjang.
“Aku ini hanya anak yang lahir dari hubungan gelap. Aku dilahirkan dan dibesarkan tanpa cinta. Ya, bisa dibilang aku ini hanya buah dari perbuatan haram. Jadi kamu tidak perlu mengotori hidupmu yang suci itu dengan berpura-pura menjadi temanku” ucapku
“Tapi, Rey….
“Aku mohon Sat, pergi jauh-jauh dari hidupku” tegasku
Tangisku pecah. Aku tertunduk di lantai. Aku sudah tidak mampu menahan seluruh perasaan yang terus tertumpuk dalam hati. Entah alasan apa yang membuatku begitu leluasa untuk mengungkapkan segala resah dan gundah. Selama ini aku tidak pernah menceritakan secuil episode hidupku pada orang lain. Tapi aku rasa Satrio berbeda.
Satrio sama sekali tidak bergeming. Ia berdiri disana untuk waktu yang lama hingga akhirnya tangisku berhenti.
“Apa kamu sudah lega, Rey?” tanyanya
Aku hanya diam.
“Aku tidak tahu ternyata ujianmu begitu berat. Bahkan aku tidak begitu mengenalmu meskipun kita sudah hampir dua tahun berada di kelas yang sama. Aku hanya mengenalmu sebagai perempuan pendiam yang sering menghabiskan waktu di perpustakaan dan juga mushola sekolah akhir-akhir ini. Tapi meski begitu, aku sangat menikmati karya puisimu di blog. Aku adalah salah satu orang yang ingin puisi-puisimu menginspirasi banyak orang. Jadi, aku memberanikan diri untuk mengirimkan salah satu puisimu pada Pak Zuhdi kala ulang tahun sekolah. Maaf, kalau kamu tidak berkenan” Jelas Satrio
Entah benda apa yang menyusup jauh ke dalam hatiku. Aku merasa hujan lebat yang dulu, kini menyisakan sebuah rintik yang mengalun syahdu. Satrio bahkan tahu banyak tentang kebiasaanku. Bahkan kebiasaanku mendengarnya mengisi kajian.
“Maaf karena aku tidak segera mengulurkan tangan disaat kamu berada di jurang yang begitu dalam. Aku benar-benar minta maaf” Ucap Satrio
Aku tidak pernah berpikir Satrio akan bertindak sebegitu jauh.
“Jujur aku hanya ingin berteman denganmu, Rey. Karena yang aku lihat kamu butuh teman. Itu saja. Sama sekali tidak ada maksud untuk menambah penderitaanmu. Meskipun kamu membuang payungku waktu itu ataupun melempar tisu ini padaku, aku akan berusaha untuk menjadi temanmu. Jadi, jangan pernah merasa kesepian lagi. Semua penciptaan Alloh tidak ada yang sia-sia, Rey. Bahkan daun yang jatuh-pun atas kehendak-Nya. Alloh itu sudah menyiapkan berbagai scenario untuk hamba-Nya. Jika kamu punya keinginan untuk keluar dari jurang itu maka aku akan dengan senang hati mengulurkan tangan. Ada banyak teman yang siap untuk menerimamu, dengan segala keadaan” jelasnya dengan sangat bijak
Aku tertunduk dalam setelah mendengar penjelasannya. Air mata kembali mengalir. Tapi kali ini terasa menghangatkan. Aku merasa secercah cahaya mulai masuk menyapa kebekuan yang ada dalam diriku. 
“Apa alasanmu melakukan semua ini, Sat?”
“Bukankah wajib menolong saudaranya yang tengah kesusahan? Jadi, ayo berteman”
“Teman?”
Ia mengangguk.
Kabut hitam seolah kian menghilang berganti dengan langit biru. Ada secercah cahaya yang mulai merangkak masuk ke dalam relung jiwa. Meskipun masih terasa seperti nyala lilin di sebuah tanah lapang nan gelap tapi setidaknya masih mampu menyinari sebagian dari hatiku yang beku.
***
Aku tidak pernah membayangkan sebelumnya akan ada hari dimana aku bisa bercanda tawa dengan orang lain. Bertegur sapa dan saling mengasihi bersama teman-teman berjilbab besar anggota Rohis. Mereka mengenalkanku untuk mencintai Alloh, menjalankan kewajibanku sebagai perempuan muslim. Hingga sampai detik ini aku merasa begitu nyaman dengan pakaian syar’i yang ku kenakan. Bahkan mereka menemaniku membeli jilbab, busana muslim atau terkadang memberikanku dengan cuma-cuma. Sungguh, kebahagiaan ini tak bisa ku lukiskan dengan apapun kecuali dengan sujud syukur.
Dan aku tak lagi mengharapkan Satrio membalas perasaanku. Aku ingin melihatnya bahagia dengan perempuan itu. Qonita namanya. Sahabat terbaikku setelah aku hijrah. Dia membuka lebar kedua tangannya untuk merengkuhku, bukan menolongku saat tenggelam tapi mengajari bagaimana caranya berenang. Perempuan sepertinya sangat cocok untuk laki-laki sebaik Satrio.
“Bagaimana keadaan ibu anti, Rey?” tanya Qonita sembari melipat mukena masjid sekolah
“Alhamdulillah sudah lumayan membaik. Kemarin sudah bisa berjalan normal meskipun masih pelan-pelan” jawabku sembari membantu Qonita merapikan mukena dalam almari
Qonita maupun Satrio membantu untuk mencari jalan keluar atas masalah yang dihadapi kedua orangtuku. Hingga akhirnya ibuku memutuskan untuk bercerai karena perilaku ayahku yang sering menyiksanya sampai masuk rumah sakit.
“Alhamdulillah kalau sudah sehat. Anti  harus merawat ibu anti dengan baik. Bantu beliau untuk menemukan jalan hidupnya yang lebih baik”
“Iya, Ta. Berbuat baik kepada ibuku seolah bisa membalas kebaikan kalian”
Qonita tersenyum simpul.
“Oya, ana ada titipan barang buat anti. Sebentar ya, ana ambilin dulu”
Aku melihatnya melangkah mengambil tas kemudian menyodorkan sebuah kotak dari dalam tasnya.
“Dari siapa, Ta?”
“Dari Satrio” jawabnya
“Satrio??” tanyaku heran
Qonita mengangguk.
“Makasih”
“Iya sama-sama” jawab Qonita, lagi-lagi dengan senyum manisnya
Satrio, kamu sangat beruntung bisa mendapatkan perempuan sebaik, seanggun dan secantik Qonita. Meskipun terasa sedikit berat, tapi aku akan menjadi salah satu orang yang mendukung akhir bahagia kalian. Kataku dalam hati.
***
Aku melihat ibu sedang dibantu dokter untuk latihan berjalan. Sembari menunggunya selesai terapi aku membuka kotak yang diberikan Satrio.
Semoga ibumu lekas sembuh. Semangat Rey untuk menjadi anak yang berbakti.
Aku tersenyum tersipu malu membaca tulisan Satrio yang disematkan di dalam kotak. Ternyata dia membelikan beberapa obat herbal untuk ibuku.
“Kamu kenapa, Rey?” tanya ibuku yang tiba-tiba saja sudah berdiri di depanku dibantu dengan krek.
“Rey nggak pa-pa kok buk” jawabku bohong
Aku hanya bisa menunduk, menyembunyikan kebohongan dari raut wajahku.
“Kita duduk disana yuk” ajak ibu
Kami duduk di sebuah taman rumah sakit yang cukup lebar. Banyak anak-anak dengan baju pasien bermain bersama keluarga ataupun teman sesama pasien. Jelas pemandangan yang membuat nyaman dan aman. Melihat tawa mereka seolah menjadi obat mujarab pengluruh asa.
“Mereka sangat bahagia ya, Rey. Seolah tidak terjadi apa-apa” tutur ibu dengan senyuman yang terukir diwajahnya yang sudah mulai menua
Aku mengangguk “Ehmm”
“Maaf, maaf dan maaf. Hanya itu yang bisa ibu lakukan untuk menebus semua kesalahan di masa lalu. Sebagai ibu, aku tidak mampu menciptakan kenangan indah untukmu, bahkan sejak kecil”
Aku melingkarkan tangan ke punggung ibu. Ku letakkan kepala di pundaknya.
“Masa lalu biarlah menjadi masa lalu, yang penting bagaimana aku dan ibu menjalani hidup baru dengan lebih baik. Alloh sudah menyiapkan berbagai scenario untuk hamba-Nya. Kita hanya perlu berusaha dan berserah diri”
Seluruh tubuhku gemetar seketika setelah ibu mencium kepalaku. Ini pertama kalinya untukku. Aku menangis bahagia.
“Kamu tadi kenapa, Rey? Awalnya senyum-senyum tapi kok tiba-tiba jadi sedih begitu?”
Aku tidak menyangka ibu akan sangat peka dengan perubahan wajahku.
Aku hanya menggeleng.
Aku tidak ingin berbohong, jadi ku mohon ibu jangan bertanya lagi. Kataku dalam hati
“Kemarin ada laki-laki yang menjenguk ibu”
“Kapan?” tanyaku kaget
“Sewaktu kamu pulang ke rumah mengambil baju ganti”
“Dia baik dan sopan” lanjut ibu sembari mengingat pertemuannya dengan laki-laki itu
“Aku belum siap kalau ibu menikah lagi” kataku jujur
Aku benar-benar belum siap untuk hidup dengan ayah baru. semua tentangnya membuatku takut.
“Menikah?!”
Ibuku tertawa lepas. Aku hanya diam.
“Dia mengenalkan dirinya sebagai temanmu, Rey”
Spontan aku menyebut nama Satrio.
“Kok kamu bisa tahu? Padahal ibu belum kasih tahu namanya lho”
Aku kembali diam.
Ibu menepuk-nepuk pundakku.
“Nggak pa-pa kalau kamu suka sama dia. Dia itu laki-laki terbaik yang pernah ibu temui selama ini. Kamu sudah menyatakan perasaanmu?”
Aku menghela napas.
“Dia berbeda, bu. Jadi aku tidak mungkin bisa menyatakan perasaanku begitu saja. Aku ingin melihatnya mendapatkan perempuan yang jauh lebih baik dariku, tapi disisi lain, terkadang aku masih saja menyelipkan namanya dalam setiap do’a. Aku orang yang jahat ya, Bu. Egois”
Kali ini ibu merangkulku.
“Kamu bukan orang jahat. Seperti yang kamu bilang tadi, kita hanya perlu berusaha dan berserah diri”
Aku mengangguk.
Aku bertekad untuk mengubur perasaan ini dalam-dalam agar tidak menjadi pengacau dalam hubungan persahabatan kami. Bagaimanapun juga Qonita jauh lebih baik daripada aku. Dia yang lebih pantas mendapakan Satrio. Aku akan selalu menyiapkan hati yang lapang untuk takdir apapun nantinya.
***
Masa putih abu-abu telah lama usai. Aku, Satrio dan Qonita sudah menjadi mahasiswa semester akhir. Meskipun kami berbeda kampus tapi komunikasi tetap terjaga. Ada grup khusus di media sosial untuk menjaga ukhuwah kami dengan yang lain agar tetap erat. Kami menyempatkan untuk bertemu tiap ada libur panjang. Ya, meskipun tidak selalu bisa lengkap.
Seperti hari ini, Qonita dan beberapa teman Rohis yang lain datang ke Depok untuk menemuiku. Kami memesan sebuah Café dengan pemandangan asri. Cocok untuk ngobrol dan bersantai bersama orang-orang tercinta.
“Aku dengar kamu mau ke Jepang ya, Rey?” tanya ‘Aisyah, salah satu teman Rohisku yang kini sudah menjadi calon dokter gigi
Aku mengiyakan.
“Acara apa, Rey?” tanya temanku yang lain
“Festival Budaya. Aku akan membacakan salah satu puisiku disana”
“Kapan berangkatnya?” Sambung Qonita bertanya
“InsyaAllah akhir bulan Maret ini”
“Wah, kok bisa barengan ya, Rey. Satrio juga sedang ada di Jepang, dia ikut pertukaran mahasiswa. Dia punya ambisi besar untuk memajukan teknologi di Indonesia. Ana harap anti bisa ketemu sama Satrio disana” jelas Qonita
Dan dengan respon yang masih sama, aku berusaha untuk menutupi semunya dengan senyuman. Meskipun sudah bertahun-tahun, kedekatannya dengan Satrio masih saja menggoreskan luka.
“Awal April adalah waktu yang pas untuk melihat Sakura, Rey. Wah, pasti bakal menyenangkan ya bisa lihat Sakura secara langsung di Jepang”
“Aku kesana kan bukan untuk jalan-jalan, syah” jawabku
“Mumpung disana, anti harus menyempatkan untuk jalan-jalan”
“Iya deh” kataku
Kami-pun tertawa.
***
Memang benar, awal April adalah waktu yang pas untuk menikmati keindahan bunga sakura di Tokyo. Musim semi di jepang memang indah. Selepas jadwal festival usai, aku menyempatkan untuk berkeliling menikmati keindangan pencipataan Alloh di Negri Matahari Terbit. Hanya butuh waktu kurang lebih 10 menit dari Stasiun Shinjuku untuk sampai di Shinjuku Gyeon. Salah satu tempat terbaik untuk melihat mekarnya bunga Sakura. Aku sudah menyiapkan kamera di leher untuk merekam semua memori indah ini.
“Wah, maka nikmat Alloh yang mana lagi yang harus didustakan” gumamku
Aku tidak henti memotret setiap momen berharga yang ada didepanku saat ini. Beberapa keluarga yang tengah menikmati pesta kebun-pun tak lepas dari bidikan kamera alakadar-ku.
Cekrik.
Aku berbalik ke kanan dan langsung memotret. Dan hasilnya membuatku terkejut. Bagaimana mungkin semua ini bisa terjadi? Aku yakin ini bukan suatu kebetulan. Bagiku tiada yang kebetulan di dunia ini karena ada Sutradara terbaik. Dialah Alloh.
“Assalamu’alaykum. Hisashiburi, Audrey” sapanya
Apa semua ini mimpi? Apa mungkin aku masih tidur di Hotel? Kenapa aku bisa bertemu Satrio disini? Apa yang terjadi?
Aku sama sekali tidak berani untuk sekedar memimpikannya. Bagiku dia hanya sebuah harapan kecil dalam genggaman.
Aku mundur beberapa langkah dan berbalik membelakanginya.
“Aww” rintihku pelan setelah mencubit tangan kiriku
“Ini bukan mimpi” gumamku sendiri
Ketika aku berbalik, aku masih menemukan Satrio berdiri di depanku. Hanya berjarak beberapa langkah dari hadapanku.
“O…genki.. desuka?”
Aku menunduk. “Genki desu” jawabku
“Yoroshiku onegai shimasu” ucap Satrio fasih berbahasa jepang
Aku hanya bisa tertawa kecil melihat kenyataan ini.
“Sepertinya kamu sangat bahagia, Alhamdulillah kalau semua berjalan lancar” kata Satrio
Bukan lancar atau tidaknya acara festival yang membuatku bahagia, Sat. Tapi karena Alloh mempertemukanku denganmu disini. Sebuah scenario yang sama sekali tak pernah ku bayangkan.
“Alhamdulillah lancar. Darimana kamu tahu kalau aku ada acara di sini, Sat?” tanyaku dengan terbata-bata
“Qonita memberitahuku. Tapi aku tidak menyangka kalau kita akan bertemu disini”
“Ahhh, Qonita”
Aku memarahi diriku sendiri yang merespon dengan nada begitu kecewa.
Apa yang kamu lakukan, Rey!!! Berhenti untuk berharap banyak.
“Sepertinya kalian sangat akrab ya” kataku
Satrio mengulas senyum. Senyuman yang sudah lama tak pernah ku lihat.
“Tentu saja, Rey. Aku dan Qonita kan bersaudara. Setelah 2 tahun Umiku meninggal, abi menikah dengan uminya Qonita. Mulai dari situlah kami menjadi saudara”
Seperti anak kecil yang langsung berlari ke pelukan ibunya ketika mendengar suara petir. Pernyataan itu membuatku begitu kaget dan kelu untuk bicara.
“App..ppaa? Sss..audara?!” tanyaku mengulangi
“Iya. Kami sudah menjadi saudara sejak kecil” jawabnya begitu enteng
Aku tidak tahu harus melanjutkan percakapan ini dengan bagaimana. Akhirnya pembicaraan kami harus disudahi ketika seorang laki-laki tionghoa memanggil namanya.
“Oya, Rey, Setelah ini aku masih ada acara lagi. Kabar-kabar kalau mau pulang ke Indonesia. Aku pergi dulu. Assalamu’alaykum” Pamitnya sembari melambaikan tangan
Bahkan aku hanya bisa menjawab salamnya dengan lirih tanpa bisa berbalik ke belakang untuk melihatnya pergi.
***
Aku tidak tahu pasti apakah rindu dan cinta ini akan berbalas. Seperti mekarnya bunga Sakura, begitupula hatiku. Tiada yang tahu bagaimana Alloh menyusun sebuah episode dalam kehidupan. Dengan pena-Nya yang Agung, manusia mana yang bisa menebak arah takdir yang dibuat oleh-Nya. Seperti sebuah pertemuan yang mengisahkan antara sapu tangan dan air mata. Hanya untuk mengusap duka tapi meresap sebuah makna. Bisa jadi itu cinta atau sebuah ikatan yang memang sengaja Alloh buat untuk membahagiakan hamba-Nya. Takdirnya tak bisa dirubah. Seperti seorang pezina yang masuk surga hanya karena memberi minum seekor anjing juga seorang ahli ibadah yang masuk neraka hanya karena seekor kucing. Itulah bukti takdir Alloh.
Dalam perjalanan pulang di pesawat aku hanya bisa tersenyum dan tersenyum. Mengingat bagaimana Satrio mengungkapkan sebuah kenyataan yang tak pernah ku ketahui selama ini. Entah harus bahagia atau tidak tapi yang pasti aku merasa lega. Meskipun aku tidak tahu bagaimana Alloh mengakhiri kisah ini.
Lisa, salah satu teman baikku di Depok menjemputku di Bandara. Dia diberi rezeki lebih oleh Alloh melalui keluarganya yang cukup kaya dan terpandang sehingga ia bisa menjemputku dengan mobil pribadinya.
“Kita ke rumah Umi dulu ya, Rey?” tanya Lisa meminta pendapatku
“Umi Suci?”
Lisa membenarkan. Kemarin malam umi menghubungi Lisa dan menyuruhku untuk menemui beliau.
“Kenapa Umi Suci mendadak sekali ingin bertemu denganku, Lis?” tanyaku penasaran
“Aku juga kurang tahu, Rey. Mungkin kamu dapat jodoh” godanya
Lisa terkekeh-kekeh dan aku hanya bisa diam menanggapi candaannya. Itu sama sekali bukan guyonan. Baru kali ini aku benar-benar takut dan tidak siap untuk bertemu Umi Suci. Beliau adalah guru ngaji sekaligus ibuku di Depok.
“Kamu gugup sekali, Rey” kata Umi Suci yang baru saja keluar dari kamar dengan sebuah amplop coklat di tangannya
“Mungkin efek ketemu ikhwan Jepang, Umi”
Aku mencubit lengannya pelan sembari memandangnya dengan alis yang bertautan. Kode untuk tidak bicara macam-macam.
Umi Suci menanggapinya dengan senyuman kecil. Ya, senyuman ramah sama seperti sebelum-sebelumnya.
Jantungku berdegup semakin cepat menunggu Umi Suci menyampaikan tujuannya memintaku menemui beliau. Dan benar saja apa yang dikatakan Lisa beberapa menit yang lalu di mobil. Umi Suci menanyakan kesiapanku untuk menikah. Aku tidak tahu mengapa akhir-akhir ini selalu saja ada hal-hal yang mengejutkan.
“Boleh saya baca proposalnya dulu, Umi?” tanyaku berkilah
“Kalau kamu sendiri belum ada kesiapan untuk menikah, Umi belum bisa memberikan proposal ini padamu, Rey. Umi hanya akan memberikan penjelasan ketika kamu sudah siap” jelas Umi Suci begitu bijak
Aku sendiri masih ragu dengan semua yang terjadi. Alloh baru saja mempertemukanku dengan Satrio dengan kenyataan yang membuatku bahagia, dan sekarang IA memintaku untuk memilih.
“Maaf Umi”
Hanya kalimat itu yang bisa menjelaskan semua perasaan campur aduk dalam diriku. Aku tidak tahu harus menjawab seperti apa. Lisa sendiri menyayangkan keputusanku. Ia bersikeras agar aku menerima tawaran dari Umi Suci dengan alasan Umi Suci tentu akan memilihkan laki-laki yang terbaik. Tapi tetap saja, aku merasa kurang yakin. Hati ini masih terpaut dengan sosok yang lain.
Ya Alloh, ampuni hambamu yang hina ini.
Aku hanya bisa memandangi layar komputer. Seharusnya aku segera mencari referensi untuk tugas-tugas kuliahku. Tapi yang aku lakukan hanyalah bergelut dengan pikiran.
Aku tidak akan menyesal kan dengan keputusan ini?
Apakah Alloh akan membenci keputusanku?
Apakah ini berarti aku menolak takdirNya?
Ku letakkan kepala di tepi meja. Menghela napas panjang.
Bip..bip
Ponselku berbunyi. Pemberitahuan ada pesan masuk. Aku membukanya dengan malas sampai akhirnya sebuah nama hampir saja membuatku terjatuh dari kursi.
Assalamu’alaykum Audrey.
Semoga kamu selalu dalam penjagaan-Nya. Aamiin.
Seperti namamu. Audrey, ia memiliki arti wanita yang kuat. Jadi aku percaya atas kuasa Alloh kamu menjadi wanita yang kuat. Semoga Alloh memberkahi segala usaha dan jalan yang kamu pilih.
Sebenarnya aku meminta Umi Suci untuk melamarkanmu untukku. Aku rasa kamu perlu tahu itu. Ternyata beliau adalah saudara uminya Qonita. Alhamdulillah, Alloh mempermudah langkah awalku. Meskipun pada akhirnya kamu menolakku. Aku sempat berpikir untuk melamarmu sekali lagi, tapi aku ragu. Namun, dengan keyakinan yang tersisa aku memberanikan diri untuk kembali melamarmu. Jadi, apa kamu mau menikah denganku?
Kamu bisa memberikan jawabanmu lewat Umi Suci.
Terimakasih sudah mau membangun ikatan ini bersamaku, sebagai teman.
Wassalamu’alaykum wr.wb
Sms dari Satrio.
Ketika kamu mengetahui bagaimana Alloh mengurusi hidupmu, tentu kamu akan dibuat memeleh olehnya. Seperti aku yang menangisi keromantisan-Nya. Di masa lalu, aku hanya bisa memarahi bahkan menghujat segala takdir yang IA berikan. Tapi Alloh masih begitu baik padaku. Alloh menunjukkan bagaimana Kuasa-Nya. Mulai dari sahabat-sahabat yang selalu membantuku dekat dengan-Nya juga urusan keluarga hingga berlanjut pada jodoh yang hanya bisa ku sebut dalam sebuah do’a panjangku.
Sebuah gua tak selamanya menjadi gelap jika ada salah satu orang yang memberanikan diri untuk keluar dan mencari lilin untuk menerangi. Gelap tak selamanya gelap. Sakit tak selamanya sakit. Alloh menghadirkan baik dan buruk untuk hamba-Nya. Tergantung bagimana ia menempatkan dirinya dalam setiap takdir yang telah IA gariskan.
Mungkin banyak yang melarang anaknya untuk tidak bermain dengan air hujan karena beranggapan air hujan membawa penyakit. Tapi berbeda denganku, aku tidak akan takut basah akan hujan. Karena hujan adalah rezeki. Dan juga ada yang spesial dari hujan.
3 bulan setelah itu, aku dan Satrio menikah.
Aku pernah bertanya pada Satrio tentang alasannya memilihku.
“Masih banyak perempuan yang jauh lebih baik dariku, tapi kenapa kamu memilihku?”
“Karena ada yang spesial dari hujan. Kamu begitu banyak membuat tulisan dimana hujan sebagai analoginya. Aku takjub dengan semua karyamu, mungkin kamu tidak tahu kalau aku ini suka sekali dengan puisimu sekaligus jatuh hati pada si penulis” jawabnya dengan menyisipkan senyuman di kata-kata terakhirnya

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: May 08, 2017 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Ada Yang Spesial dari HujanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang