Layunya Bunga Cinta Sebelum Mekar

2 0 0
                                    

Cinta, mengapa engkau hadir disaat aku belum mampu untuk mewujudkannya?
Itulah gemuruh yang seolah terus mengikis pertahanan imanku. Pertemuan kami yang murni tanpa adanya kesengajaan. Selepas rapat agenda Go Green yang digarap oleh tim PSDM OSIS, aku segera meluncur ke kelas untuk mengambil ponselku yang tertinggal. Seharusnya aku tidak mendadak berhenti ketika melihatnya berdiri di bawah rintik hujan. Aku punya kewajiban untuk mengembalikan kunci kelas ke bagian tata usaha. Namun, sosok itu seolah menghipnotisku. Aku benar-benar mematung memandang laki-laki itu. Candra, teman sekelasku dan juga kapten tim basket sekolah. Tanpa sadar bibirku menyunggingkan senyuman ketika dengan lihainya Candra mengayunkan bola ke ring basket. Spontan aku langsung bertepuk tangan ketika melihatnya berhasil melakukan lay up. Ku tarik kakiku sekuat tenaga saat dia memandang ke arahku. Aku melarikan diri.
Begitulah, Candra mulai datang dalam hidupku bak pelangi yang membawa sejuta harapan. Kata anak jaman sekarang sih galau. Aku harus bekerja ekstra untuk menahan perasaan ini. Aku tidak mau terjerumus dalam lubang penuh dosa. Suatu hari Candra menghampiriku ketika kelas kami disibukkan dengan tugas biologi di perpustakaan. Dia menyodorkan sebuah surat padaku. Grogi bukan main. Jantung ini serasa sudah terlepas dari tubuhku.
“Aku nitip surat ijin ya buat Bu Yeni. Sebentar lagi aku ada pertandingan basket di SMA sebelah” Jelasnya
Kepalaku yang mulanya tertunduk begitu dalam tiba-tiba mendongak setelah mendengar penjelasan dari Candra. Mata kami saling bertemu. Sejurus kemudian istighfar meluncur dari bibirku.
“Kenapa, Nay?” tanya Candra sembari tersenyum simpul melihat responsku yang cukup berlebihan
“Nggak pa-pa. iya, nanti aku sampaikan” jawabku super canggung
Ia mengangguk mengerti kemudian beranjak pergi. Aku menghela napas lega seolah sebelumnya napasku terpenjara dalam ruangan tanpa celah. Kepalaku kembali tertunduk ketika dari kejauhan dia berbalik memandangku.
Bip..bip
Kalo ada waktu kamu boleh datang menonton pertandinganku.
Pesan itu dari Candra. Ia sudah menghilang dari pandanganku ketika aku selesai membaca sms darinya.
***
“Kalo kamu suka sama Candra ya bilang aja Nay, jangan dipendem begitu. Sebelum doi direbut sama orang lain. Dia itu banyak yang naksir. Cool, kapten basket, akademisnya lumayan dan juga dia bukan tipe laki-laki bad boys-lah dengan segala kepopulerannya” Jelas Irene panjang lebar
“Udah selesai promosinya?” tanyaku setelah selesai merapikan buku dan alat tulis ke dalam tas
Irene berdecak kemudian memegang pipiku dengan kedua tangannya.
“Kamu harus memperjuangkannya!” katanya dengan mata semangat membara
Kulepas kedua tangannya dari pipi.
“Aku ingin menjaga hati! Jadi jangan membuatku goyah” kataku kemudian mencubit pipinya yang tembeb
Irene hanya bertopang dagu melihatku yang tidak mau sepakat dengan pendapatnya. Aku hanya tersenyum simpul melihat perempuan indo-chiness yang sejak kelas satu menjadi best partner.
Aku dan Irene melangkah beriringan menuju gerbang sekolah. Setelah itu aku mengambil langkah menuju halte sedangkan sopir pribadi Irene selalu sudah stand by untuk menjeputnya. Sebenarnya Irene sudah berulang kali meminta untuk mengantarku pulang tapi aku menolak. Rumah kami tidak searah dan waktu yang ditempuh akan semakin lama jika ia harus mengantarku pulang. Lagipula aku tidak ingin merepotkan orang lain hanya karena masalah transportasi sekolah.
“Hati-hati Pak Malik” pesanku pada sopir pribadi Irene
“Iya mbak” jawabnya dengan ramah
Seperti biasa, aku memilih untuk duduk manis sambil membaca buku disaat banyak penumpang lain yang memilih untuk bermain dengan gadget. Sebuah buku kumpulan puisi karya Sapardi Djoko Damono.
Hujan Bulan Juni
Tak ada yang lebih tabah dari hujan bulan juni
Dirahasiakannya rintik rindunya kepada pohon berbunga itu,
Tak ada yang lebih bijak dari hujan bulan juni
Dihapuskannya jejak-jejak kakinya yang ragu-ragu di jalan itu
Tak ada yang lebih bijak dari hujan bulan juni
Dibiarkannya yang tak terucapkan diserap akar pohon bunga itu
Entah mengapa, puisi itu seolah menjadi favorit akhir-akhir ini. Mungkin karena apa yang aku rasakan tak jauh beda dengan makna yang tersimpan dalam bait puisi itu. Bayangan Candra bermain basket kala itu seolah hadir tanpa izin memenuhi ruang di kepalaku. Hingga hatiku-pun tak lepas dari cengkeraman namanya.
Aku menghela napas panjang.
Bip..bip
Apa puisinya sesedih itu sampai harus menghela napas begitu dalam?
Pesan dari Candra membuatku terperanjat. Tanganku mendadak lemas untuk sekedar membalas pesannya. Aku hanya bisa menggigit tepian bibir.
Kok diem, Nay?
Pesan dari Candra lagi.
Aku memberanikan diri untuk berbalik.
Candra menyapaku dengan sebuah senyuman sambil melambaikan tangan.
Oh Tuhan, apa yang harus aku lakukan??
Aku berusaha membalas senyumnya dengan senatural mungkin. Entah pada akhirnya ia menyadari kecanggungan yang tersimpan didalamnya atau tidak.
Malam itu untuk pertama kalinya aku mendaptkan ucapan selamat malam dari seorang teman laki-laki. Dan seluruh tekad untuk tidak jatuh cinta padanya runtuh seketika. Hancur tak berbekas.
***
“Ulya, aku harus gimana?”
Rengekku pada Ulya di telfon. Aku menceritakan episode dari awal sampai akhir tentang Candra.
Ulya adalah salah satu temanku di OSIS yang juga aktivis ROHIS. Aku menilainya sebagai perempuan sholih yang tidak pernah absent menasehatiku dikala sedang gundah. Meskipun aku tahu solusi apa yang selalu ia berikan tapi entah mengapa setelah cerita dengannya aku merasa lega. Mungkin itulah yang dimaksud efek dari Social Support bagi perempuan.
“Jatuh cinta itu hal yang lumrah, Nay. Apalagi untuk remaja seperti kita. Tinggal bagaimana kita mensikapi perasaan itu. Apakah kita akan memupuk perasaan itu hingga menjadi sebuah bunga ataukah memaksanya layu sebelum mekar. Aku rasa kamu sudah tahu apa jawabannya. Yang perlu kamu lakukan adalah dekat dengan-Nya dan belajar menjaga jarak. Inget! Kamu kan pernah bilang bakal istiqomah dengan pilihanmu untuk berhijrah”
“Iya, Ulya. I remember that promise. But sometimes, akal dan hati tak sejalan hingga akhirnya prinsipku goyah”
“Ya, at least kamu tahu kalau itu harus segera diluruskan. Aku percaya kamu bisa melalui episode ini, Nay. Jatuh cinta itu bikin sakit tapi kalau bangun cinta itu bikin bahagia” katanya terkekeh-kekeh
“Ya, I think so. Thanks a lot for your advise. You’re the best friend that I have, Ulya. I Love you so much. I pray, someday you’ll meet someone who can make your heart and your life nearer with Alloh”
“Aamiin”jawabnya dengan penuh keridhaan
Pada akhirnya aku berusaha untuk menjaga jarak. Meskipun terasa berat untuk dilakukan tapi memang itu jalan yang harus aku pilih untuk menyempurnakan hijrahku. Pada hari kelulusan, Candra datang menemuiku dan mengungkapkan rasa ketertarikannya padaku. Namun, aku menolak dengan tegas. Aku tahu aku memiliki perasaan yang sama. Tapi, pacaran bukan pilihan terbaik untuk menjalin kisah cinta. Aku memang tidak tahu bagaimana Alloh akan menuliskan sebuah alur asmara untukku. Namun aku akan selalu percaya bahwa IA menyiapkan skenario luar biasa bagi hamba-Nya yang senantiasa menjalankan syari’at-Nya. Jadi, ngga perlu terburu-buru untuk kata cinta. Karena ia akan hadir tepat pada waktunya. Bukan membiarkan bunga cinta mekar dan menjadi pemandangan bagi banyak pengunjung taman tapi membiarkannya layu sebelum akhirnya mekar untuk orang dan waktu yang tepat. Alloh itu Maha Cinta maka dekati IA agar mendapatkan cinta.

Lagunya Bunga Cinta Sebelum MekarTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang