[1] Selamat Datang

1.4K 88 24
                                    




Hari Selasa kala itu terasa kelewat normal jika dibandingkan dengan hari-hari biasa. Tak banyak yang berubah; try out di pagi hari, istirahat yang dilewati secara kurang kerjaan, lalu pembahasan. Yang berbeda hanya jadwal pulang yang diundur lama (khusus kelas mereka, 9-D)—dan hari ini adalah hari terakhir masuk sekolah sebelum akhirnya sekolah diliburkan, semacam 'refreshing' sebelum ujian.

Konyol memang, tapi toh siapa yang tak suka liburan. Dua minggu berturut-turut pula.

"Pembahasan apa coba gini ini. Ini mah kelas tambahannya kelas tambahan." Nesya mengeluh, kesal. Ia memasukkan laptopnya ke dalam tas, nyaris membanting, namun ia masih sayang laptopnya.

"Dilihat sisi positifnya dong," Cikha meneguk air minumnya sebelum melanjutkan. "Yang les senin jadi ga perlu les, kan?"

"Yak tul." Febi menyahut.

Mereka bertiga menunggu Dewi dan Pipit yang masih ribet entah apa, padahal barang-barang di atas meja sudah beres. Ketika mengedarkan pandangan ke sekeliling pun, masih belum ada murid yang beranjak dari kelas meski jam telah menunjukkan pukul empat.

Kebanyakan merutuki nasib karena sinyal buruk dan pulsa yang mendadak terkuras—kebetulan yang cukup aneh. Cikha yang baru sadar juga kehabisan pulsanya, padahal baru saja diisi pagi tadi.

"Ga pulang semua gini ini, ya." Nesya masih belum menyerah mengirimi pesan pada sepupunya. Febi hanya mengangkat bahu, begitupula dengan Cikha—namun ia terlalu sibuk mencari cara untuk mengembalikan pulsa meski tahu itu sia-sia.

"Untung besok libur, sadh." Abhista, seperti biasa, bersama Marcell dan Bima, bersiap keluar kelas. Merekalah yang pertama kali berinisiatif keluar kelas meski di luar cuaca tak begitu bersahabat.

Angin menderu kencang, pohon-pohon bergoyang, ranting-ranting yang patah, juga awan mendung yang tampak ragu meneteskan airnya. Namun ketiganya tak peduli.

Sayang, angin ribut tampaknya tak ingin mereka pulang terlebih dahulu.

Pintu kayu yang cukup tua itu tertiup angin dan menutup—menimbulkan bunyi keras "BRAK!" yang berhasil membungkam Abhista dan kawan-kawan. Mereka melompat mundur, dan Marcell tak sengaja menabrakkan punggungnya pada kipas angin di dekat pintu.

"Sante bos." Fadhil yang berkutat dengan ponselnya menengadah hanya untuk melihat Marcell buru-buru mendirikan kipas angin itu lagi. Dia jelas sedang panik karena tak bisa menghubungi orang tuanya.

Abhista menggerutu tak jelas. Beberapa kata kasar lolos dari mulutnya, seakan ia tak terima pintu tua itu melawannya. "Angin sialan." Ia mendorong pintunya.

Namun tak berhasil.

Beberapa kali Abhista mencoba, namun tak ada hasil yang ketara. Bima mengambil alih ketika Abhista akhirnya menyerah dan melangkah mundur. Ia terus mendorong pintunya—Daniel yang melihatnya ikut-ikutan menendang—tapi pintu itu cukup kuat untuk menahan serangan mereka.

"Ada yang ngehalangin, kali." Iman menjadikan meja milik Sandi sebagai pijakannya untuk melongok ke luar kelas. Ia mencondongkan kepalanya ke kiri (tempat pintu itu berada) namun ia tak melihat sesuatu yang berada di depannya. Iman menjulurkan badannya sedikit lagi, dan di sanalah ia melihat sebuah gembok yang terkunci.

"Kita dikunci!" pekiknya.

Seluruh murid bergumam kebingungan, dan sedikit takut. Mas Yahya—orang yang bertugas mengunci tiap kelas—tidak mungkin memasang gembok tanpa menyuruh anak-anak yang masih berada di dalam keluar. Bahkan, kata Bonong, Mas Yahya juga ikut libur dalam kegiatan 'refreshing' ini. Begitupula karyawan lainnya.

"Idih, yekali yang ngunci setan." Febi berkomentar ketika Pipit melontarkan pendapatnya. Ia hanya menggerakkan tangannya gelisah, dan wajahnya terlihat kebingungan.

[completed] CURSED CLASS: WEREWOLF GAMETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang