"Dasar payah!" gerutu Ken dengan suara tertahan.
Aku yang berjalan di sisinya melirik ke belakang sesaat. Si gondrong--ketua klub AP yang baru saja kami mintai keterangan mengenai Anty masih mengamati dengan wajah heran bercampur tak suka. Tak lama kemudian, laki-laki itu berbalik pergi.
Dengan nada sama kesal aku menimpali, "Masa sih dia nggak punya data tentang anggotanya sama sekali!"
Ken mengembuskan napas pelan, tangannya sibuk memainkan ponsel. "Bener sih," selanya setelah terdiam cukup lama.
Aku menoleh. "Apanya?"
"Portal situs online mereka emang nggak nentuin mesti pake nama asli. Semua akun anggota pake username dan nama samaran. Jadi wajar aja si gondrong itu nggak tahu." Ken menyodorkan ponselnya kepadaku. Aku mengamati situs dengan background hitam itu, meneliti nama-nama di sana sesaat dengan kening berkerut. Akhirnya, memilih menjauhkan diri sambil menggeleng.
"Udah deh, aku pusing," pasrahku kemudian. Kesal sudah menunggu lama tanpa hasil. "Mending kita pulang aja dulu. Besok kita lanjut penyelidikannya. Udah malem banget. Karen sama Melan pasti udah jamuran nungguin kita."
Melihatku mempercepat langkah hendak meninggalkannya, Ken tiba-tiba menarik tanganku.
Aku mengempaskannya dengan cepat, menoleh dan memasang ekspresi terganggu. "Nggak usah pegang-pegang deh. Ada apa lagi?! Dari tadi kita ketahan cuma gara-gara rasa penasaran kamu. Coba tadi kita langsung nyamperin si gondrong itu. Jadi kan nggak buang-buang waktu gini."
Ken mengangkat bahu, mengerjap pelan saat sadar aku emosi.
Aku membuang pandangan bersama helaan napas, sadar omelanku mungkin berlebihan. Bagaimanapun, Ken juga membantu. Berkat dia, si gondrong itu dengan suka rela mengobrol dengan kami. Jika si gondrong tak tahu apa yang terjadi, bukan salah Ken.
"Ya, gue minta maaf kalo gitu." Ken mengatakannya serius.
Oh, aku jadi tak enak padanya. "Sorry. Aku bukannya nyalahin kamu. Aku cuma kesel aja. Ya udah, mending kita cepet ke parkiran."
Tanpa menunggu, aku kembali melangkah cepat. Sebentar lagi kami tiba di parkiran. Rasanya tak enak sekali membuat Karen menunggu lama bersama Melanie. Oh, tidak! aku tak bisa membayangkan apa yang terjadi mereka dibiarkan berdua begitu. Menyadari kebodohan itu, tanpa sadar aku menyentakkan kaki kesal.
"Tadi lo bilang, besok mau lanjut penyelidikan?" Ken berjalan menyusulku, tapi langkahnya masih di belakang. "Lupa janji lo sama gue?"
Aku tak berhenti. Enggan peduli.
Sadar makin diabaikan, Ken melangkah cepat menyeimbangkan langkahnya denganku. Sementara bagiku, yang terpenting sekarang adalah cepat sampai di parkiran dan bertemu Karen!
Sekali lagi, Ken menarik tanganku, lebih kuat. Langkahku spontan terhenti, hingga kini sepenuhnya aku berpaling padanya. Dia tak tampak marah. Namun, matanya memancarkan kepercayaan yang sulit dibantah.
"Lo janji bantu gue mecahin kasus Kinan, kan? Lo nggak mungkin lupa tentang itu." Ken mamastikan. Bibirnya terpoles senyum yang kupikir akan segera menghilang jika aku tak segera membenarkan perkataannya. "Adiknya Karen, kita nggak turun tangan pun ada polisi yang ngurus. Karen nggak akan kesulitan. Cuma masalah waktu aja. Tapi, Kinan..." Dia menggantung kalimat itu tanpa sambungan.
Karena kami sama-sama tahu, Kinan-gadis malang itu-tak ada yang tahu apa yang sebenarnya terjadi padanya. Seperti sebelumnya, firasatku mengatakan bahwa masalah Kinan bukanlah bagianku. Dia terlalu jauh. Terlalu rumit. Tak seharusnya aku ikut campur.
KAMU SEDANG MEMBACA
Lunar Eclipse [Lunar Series #1]✔
Mister / Thriller(TERSEDIA DI GRAMEDIA SELURUH INDONESIA) Serena Aldyathena tak pernah menyangka mimpi buruk yang kerap hadir dalam tidurnya merupakan pertanda bagi terbukanya gerbang kegelapan. Sebuah kecelakaan menghentikan mimpi-mimpinya lantas menukarnya dengan...