Tubuh tegap itu dibalut oleh jaket kulit hitam dengan dalaman baju kaos berwarna merah, celana jeans dan sepasang sepatu cats hitam yang menghiasi kakinya. Ia duduk di atas motor sambil menatap rumah di hadapannya dengan senyum angkuh. Sesekali ia melirik jam yang melingkari pergelangan tangannya.
Setelah beberapa saat pria itu berdiam diri. Ia perlahan turun dari atas motor sport-nya. Melepaskan helm dan memasang kacamata hitam yang sejak tadi tergantung di kerah baju kaosnya. Kacamata hitam dan suasana malam, sungguh tidak cocok.
"Ini yang terakhir," gumamnya meyakinkan diri dan mulai melangkah menuju teras rumah tersebut.
Ia mengetuk pintu rumah itu beberapa kali hingga pintu tersebut perlahan terbuka, menampakkan sosok perempuan muda yang terlihat antusias akan kedatangannya.
"Mas Ardan, ayo masuk!" ajak perempuan itu ramah.Ardan mengangguk, mengikuti langkahnya menuju ruang tamu.
"Duduk dulu, mas," pintanya.Ardan mengabaikan ucapan perempuan itu, ia lebih memilih melepas kacamatanya dan menatap perempuan di hadapannya dengan senyum mengejek. "Apa maumu sebenarnya, Kinan? Kita sudah tidak memiliki hubungan apapun sekarang. Semua sudah berakhir!"
"Hanya ingin mengembalikan apa yang sudah kau berikan, mas," ucap Kinan, berlalu meninggalkan Ardan seorang diri di ruang tamu rumahnya.
-----
Setelah beberapa saat, Kinan kembali menemui Ardan yang sedang duduk sembari memainkan ponsel di tangannya."Mas Ardan!"
Suara Kinan mengalihkan pandangan Ardan dari ponselnya.
Penampilan Kinan membuat Ardan mengernyit heran. Gaun hitam yang menutupi hingga mata kaki dengan topeng menutupi separuh wajahnya. Gaun yang menyeret ingatan Ardan ke situasi saat di mana pertama kali ia menyatakan perasaan suka pada Kinan di sebuah pesta topeng. 'Apa sebenarnya yang diinginkan Kinan dengan berpenampilan seperti itu?' batin Ardan."Mas ingat dengan gaun ini?" tanya Kinan, tersenyum simpul menatap Ardan.
"Apa maumu sebenarnya, Kinan?" Ardan bangkit dari tempatnya duduk, berjalan mendekati Kinan. Untuk sesaat ia menatap Kinan dari ujung kaki hingga ujung kepala. "Untuk apa barang-barang sialan ini kau kenakan? Kita ini sudah tidak ada hubungan lagi, kita sudah PUTUS!"
Kinan memalingkan wajah, menghindari tatapan Ardan yang menyeramkan saat sedang marah. "Aku hanya ingin mengembalikan semua milikmu, termaksud kenangan yang sudah kau tanam di dalam tubuh, hati dan pikiranku."
"Mengembalikan apa, hem?" tanya Ardan menyipitkan mata menatap Kinan. Ia tidak habis pikir dengan apa yang barusaja diucapkan oleh perempuan yang pernah menjadi poros dunianya itu. Mengembalikan kenangan? Sungguh konyol. Pemikiran yang aneh dan tidak masuk akal. Darimana perempuan itu dapat ide mengembalikan kenangan? Dasar gila.
"Aku sudah memasak makanan kesukaanmu, jadi sekarang kita makan bersama. Anggap ini adalah terakhir kalinya kita makan malam bersama," ajak Kinan. Ia meraih lengan Ardan, menuntun pria itu menuju ruang makan yang sudah dihias sedemikian rupa oleh Kinan.
Lilin-lilin kecil mengelilingi area sekitar meja makan, kelopak bunga mawar bertebaran di atas lantai dab menebarkan aroma wangi yang begitu memabukkan. Lilin paling besar tampak berada di tengah meja makan. Cahayanya menari-nari tertiup angin dari jendela yang sepertinya memang sengaja dibiarkan terbuka oleh sang penggagas ide.
Perlengkapan makan dan minum sudah tertata rapi di sekitar lilin besar. Suasananya yang begitu romantis andai mereka masih sepasang kekasih, tapi kenyataan yang sudah berbeda. Saat ini mereka hanya mantan sepasang kekasih yang sudah satu bulan putus.
"Duduk, Mas," Kinan menarik kursi untuk Ardan. Menuntun pria itu untuk duduk dan ia sendiri dengan senyum simpul membuka tudung saji di hadapan mereka.
Aroma sup jagung kesukaan Ardan langsung menguar memenuhi indra penciuman Ardan.
"Sup jagung!" Ardan menggumam tidak percaya. Ia akui, sup jagung buatan Kinan memang yang terbaik. Tapi apa maksud perempuan itu dengan menghidangkan sup jagung? Apa ini caranya untuk meminta Ardan tidak memutuskan hubungan mereka?
"Ayo dimakan, Mas!"
Ardan mengalihkan pandangan matanya yang sejak tadi menatap sup di hadapannya kepada Kinan. Terlalu larut dalam pikiran sendiri membuat ia tidak menyadari, Kinan sudah duduk pada kursi di seberang tempat duduknya.
"Ayo dimakan, mas" ulang Kinan sekali lagi.
"I ... ya." Ardan mengangguk. Ia meraih sendok di samping mangkuk supnya, menyendok sedikit kuah sup yang masih mengepul, menghirup aromanya sejenak dan kemudian mulai menyuap sup tersebut ke dalam mulut. Mencecap rasa lezat yang masih sama seperti saat pertama kali ia mencoba sup jagung buatan Kinan dulu.
"Bagaimana rasanya?" Kinan menatap Ardan serius. Was-was menanti kalimat yang akan dilontarkan Ardan.
"Enak," Ardan kembali mengisi sendoknya dengan sup. "Ke mana semua orang di rumah ini?" tanyanya kemudian.
"Sejak tiga hari yang lalu mereka pergi ke rumah nenek. Nenek sedang sakit," jawab Kinan santai. Perempuan itu terus tersenyum mengaduk sup di dalam mangkuk di hadapannya.
Ardan mengaduk supnya. "Kenapa kau ... sialan! Apa-apaan ini, Kinan?" pekik Ardan marah saat melihat gumpalan daging menyerupai kaki kecil tersangkut pada sendoknya. Pria itu bangkit, melempar sendok dan menatap geram kearah Kinan.
Dengan santai, Kinan ikut bangkit dari kursinya. Tersenyum manis pada Ardan. "Aku hanya mengembalikan apa yang sudah kau berikan padaku, mas Ardan yang terhormat. Ketahuilah, kalau sup yang kau makan adalah sup dari janin lima bulan yang kukandung. Janin yang kau tolak keberadaannya. Janin itu milikmu, jadi aku kembalikan."
"Kau gila!" bentak Ardan. Ia meraih segelas air putih. Berusaha berkumur-kumur untuk menghilangkan rasa jijik dan mual yang ia rasakan.
"Aku hanya mengembalikan milikmu, Mas," ucap Kinan. Melangkah semakin dekat pada Ardan.
"Jangan sentuh aku, perempuan Gila!" teriak Ardan keras. Segera beranjak meninggalkan Kinan dan juga kegilaannya. Perempuan tidak waras yang membuat Ardan memakan sup bercampur daging manusia.
-----
Tubuh gemetar Ardan akhirnya berhasil mencapai motor yang pria itu parkir di pinggir jalan, di depan rumah Kinan. Namun sial sungguh sial, kunci motornya tertinggal di dalam rumah Kinan.
"Mencari ini, Mas?" Kinan tersenyum mengacungkan kunci motor Ardan di tangannya.
"Berikan kunci itu, Kinan," ucap Ardan berjalan mendekati Kinan yang justru berjalan mundur.
Ardan geram, mempercepat langkah menghampiri Kinan. Berusaha untuk meraih kunci motornya.
Kinan berontak, ia tidak ingin Ardan berhasil meraih kunci motor tersebut. Namun tanpa mereka berdua sadari, mereka sudah berada di tengah jalan. Sinar terang dari sebuah mobil yang semakin mendekat membuat keduanya saling mendorong, hingga salah satu dari mereka di hantam dengan sangat kuat oleh mobil tersebut.
"Semua milikmu sudah kembali padamu, Mas. Selamat tinggal," ucap Kinan sambil tertawa puas. Ia puas melihat tubuh Adnan yang tergeletak di pinggir jalan dengan tubuh berlumuran darah.
---The End---