Bayang-Bayang

1.1K 20 12
                                    

LAMA aku berdiri di depan etalase cafe tempat kita berjanji untuk bertemu hari ini. Lewat dinding berbahan kaca itu aku bisa melihatmu duduk sendirian di meja yang terletak di sudut kafe dengan pencahayaan remang-remang bohlam kuning pada lampu gantung di atas kepalamu. Kau tengah memandang kosong permukaan kopi dalam cangkir yang kau genggam dengan kedua telapak tanganmu. Kau masih secantik dirimu setahun yang lalu—di hari terakhir perjumpaan kita. Rambut coklatmu yang bergelombang jatuh dengan gemulai membingkai wajahmu yang tirus. Kau kurusan.

Gurat-gurat lelah di wajahmu pun terlihat makin jelas ketika tanpa sadar kedua kakiku telah melangkah memasuki cafe dan membawaku berdiri di hadapanmu. Kau mendongakkan kepala menatapku, mengulaskan senyum lega yang selalu kau berikan padaku tiap kali kita bertemu. Senyum yang membuatku tahu bahwa keberadaanku kau butuhkan. Kau pun segera berdiri, memelukku erat-erat dan aku membalasnya lebih erat lagi.

“Kangen,” katamu berbisik. Bisa kudengar ada sentuhan isak dalam suaramu

“Aku juga,” balasku seraya mengusap-usap pelan belakang kepalamu. Kau selalu suka aku melakukannya karena membuatmu merasa terlindungi.

Lalu kau lepas pelukanmu, mempersilakan aku duduk di hadapanmu. Kau pun duduk, tersenyum-senyum salah tingkah sambil mendorong buku menu ke arahku—nyaris menjatuhkan vas bunga kecil yang dihuni setangkai mawar merah yang nyaris layu. Seorang pelayan perempuan mendatangi meja kita dengan catatan dan pena di tangannya.

“Pesanlah dulu. Kau pasti haus, kan?” katamu.

“Kopi apa yang kau minum itu?”

“Ini? Americano. Kenapa?”

“Aku pesan itu,” kataku pada si pelayan, disambut tatap keheranan darimu.

“Kenapa memesan kopi yang sama denganku? Kupikir kau menyukai jenis kopi yang lain.”

“Hmm... hanya ingin meresapi dirimu hari ini,” jawabku dengan ekspresi serius yang dibuat-buat.

“Hah? Apa hubungannya dengan kopi?” tanyamu tergelak dalam tawa. Salah satu yang kusukai darimu adalah sikap bebasmu itu. Sebagai seorang perempuan, kau tidak jaim seperti kebanyakan perempuan lain. Sayangnya, dalam urusan cinta, kau payah. Sama payahnya dengan aku sendiri.

“Ada yang bilang padaku, cara terbaik untuk mengenal seseorang adalah dengan berkenalan dengan hal-hal yang disukainya,” kataku menjelaskan dengan santai.

Kau tersenyum hingga kedua pipimu bersemburat merah jambu. Percakapan kita pun tertunda sesaat ketika pelayan tadi kembali mengantarkan Americano pesananku. Kopi itu mengepulkan asap yang menguarkan aroma manis dan hangat yang menggoda untuk segera dicicipi.

“Bagaimana kabarmu, Z?” tanyamu, menyadarkanku dari sejumput kekosongan yang sempat menguasaiku akibat kelelahan. “Kau terlihat lelah dan tak sehat. Apa semua baik-baik saja?”

“Kadang aku lupa betapa kangennya aku dipanggil ‘Z’ olehmu, K,” gurauku. Sebenarnya aku tak berminat menjawab pertanyaanmu karena aku ingin hari ini menjadi harimu, kau yang bercerita. Tapi aku tahu kau akan memaksaku menjawab meski aku mencoba mengganti topik pembicaraan. Jadi, kuputuskan untuk menjawab, “Aku baik-baik saja. Hanya sedikit disibukkan dengan pekerjaan di kantor, dan urusan keluarga. Kakekku bersikeras memintaku pindah ke Singapura untuk mewarisi usahanya.”

“Dan memintamu berhenti bekerja di kantor yang sekarang?” Kau bertanya dengan ekspresi tak percaya. “Bukankah kau kepala di kantor itu?”

Aku mengangguk, tersenyum pasrah sambil memainkan telunjukku di telinga cangkir. “Aku sudah mengatakannya. Tapi beliau tidak mau mengerti. Keadaan di kantorku belakangan ini sedang kacau, aku tidak bisa begitu saja melepas tanggung jawab.”

Bayang-BayangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang