Sebuah memori indah dimasa lalu berputar kembali dalam kepala Thalia yang saat ini tengah memandang sebuah frame foto yang menampilkan wajah dirinya dan Devan 3 tahun yang lalu, foto yang mereka ambil sebulan sebelum kematian Devan.
Air mata itu kembali menetes, ingatan yang ingin sekali Thalia musnahkan itu selalu berputar tanpa izin, membuat Thalia lagi-lagi harus menelan pahitnya kenyataan, karena kenangan akan tetap menjadi kenangan, dan itu hanya ada di masa lalu saja.
"Bang Dev pasti bahagia ya? Sekarang impian bang Dev buat ketemu sama mama Dania terkabul. Tapi Lia? Di sini Lia merindukan sosok bunda yang dulu begitu menyayangi dan hangat pada Lia. Lia rindu bunda yang dulu, suasana keluarga harmonis seperti dulu. Kenapa semuanya harus berubah?!"
Thalia memeluk frame foto itu dan menangis untuk yang kesekian kalinya. "Bang Dev jahat! Kenapa waktu itu bang Dev nyelamatin Lia sih?! Kenapa bang Dev tega ninggalin Lia di sini sendiri!"
🍀🍀🍀
"Ih kemana aja kamu baru nelpon aku?! Sibuk banget ya lo?! Aku udah gak penting buat kamu, iya?! Urusin aja terus noh pelajaran, akunya jangan dipeduliin! Huft!" Thalia berbicara dengan seseorang melalui ponselnya, sambil mencerocos terus, hingga lawan bicaranya tak bisa menjawabnya sedikitpun.
[Forgive me. I'm busy here, no time to call you. Sorry]
"Halah! Mentang-mentang lagi diluar Indonesia kamu ngomong sama aku pake bahasa Inggris! Jangan pamer! Inggris aku sama kamu masih bagusan aku, Davin!"
[Hehehe. Ya maaf. Abisnya, kamu gak biarin aku ngemeng dikitpun. Nyerocos aja tuh bibir udah kayak ibu kostan yang nagih uang kostan tunggakan 1 tahun!]
"Bodo amat! Aku kesel sama kamu!"
[Ebuset! Jangan gitu, aku lagi dibandara nih, nunggu jadwal penerbangan aku ke Indonesia]
"Ngapain kamu ke Indonesia? Men— WHAT? ARE YOU SERIOUSLY?!"
[Biasa aja kali! Gak usah teriak juga! Udah ah, besok jemput aku dibandara jam 5 subuh! Gak mau tahu!]
"What the—" belum juga Thalia menyelesaikan kata-katanya, sambungan sudah diputus secara sepihak oleh Davin. Thalia menggeram kesal karena kelakuan sahabatnya yang sembrono ini.
Tidak lama, ponselnya berdering kembali. Tanpa melihat siapa yang menelponnya malam-malam begini, Thalia langsung mengangkatnya.
"Apalagi?! Iya aku jemput kamu besok, puas?! Kenapa kamu nelpon lagi?! Kes—"
[Keluar. Aku depan apart kamu.]
Hah?! Thalia melongo. Masa iya sih Davin udah nyampe aja di sini? Suaranya juga kok jadi beda ya? Kayak ada dingin-dingin gimana gitu. Dengan gerakan slow motion, Thalia melihat siapa yang baru saja menelponnya.
"Aduuh! Bukan Davin, ternyata Axal. Mampus aku."
Thalia segera bangkit, tidak peduli dengan penampilannya saat ini, baju yang sedikit kebesaran lumayan panjang hingga menutupi bagian pahanya, dan celana jeans pendek di atas lutut, dengan rambut yang diikat asal.
Dibukanya pintu apartement miliknya, cengiran khasnya ia keluarkan saat dilihatnya Axal tengah berdiri di depan pintu dengan kedua tangan yang dilipat di depan dada, memandang Thalia datar dengan alis yang ia naikkan sebelah.
"Buka pintu aja lama banget!"
"Ya maaf, abis aku kira lo—"
"Lo?"
"Lo...Kamu rampok! Iya! Aku kira kamu rampok! Jadi aku mikir dua kali buat buka pintunya."
Axal memandang Thalia geli, tidak menyangka kalau Thalia sangat lucu dan menggemaskan. Jawabannya yang tidak masuk akal itu, membuat Axal ingin sekalu tertawa, namun ia menjaga image di depan Thalia. Akhirnya Axal menjawab, "Aku tahu kamu itu bego dalam pelajaran, tapi aku mohon sama kamu Thalia, jangan jadi orang bego beneran! Masa iya sih rampok ketok pintu dulu, terus minta izin gitu sama kamu buat rampok isi apartement lo?! Bego!"
"Terima kasih atas pujiannya mas Axal yang pintar i love you too."
Lagi-lagi Axal harus menahan tawanya, ingin sekali ia mencubit pipi Thalia gemas. Tapi lagi – lagi egonya berkata lain yang akhirnya dia hanya menjitak pelan dahi Thalia.
"Sakit Axal!" protes Thalia yang tidak terima dengan perlaku an Axal barusan.
"Yaa lagian! Gak nyambung banget jawaban kamu! Ikut aku yuk?"
"Eh eh! Mau kemana malem – malem?! Kamu kan pernah bilang sama aku anak gadis gak boleh keluyuran malem."
"Pengecualin kalau sama aku. Oh iya satu lagi, i love me too."
"Apaansih! "
🍀🍀🍀
Di sinilah mereka sekarang, di sebuah taman yang sangat indah dengan bunga – bunga yang bermekaran indah di bawah sinar cahaya temaram yang dihasilkan oleh lampu taman dan sang rembulan yang bersinar cerah malam ini, ditemani beribu bintang yang setia menemani kesendirian rembulan agar tak kesepian.
"Indah banget." Thalia terkagum – kagum melihat pemandangan di depannya, jika maju ke arah utara, di sana bisa terlihat jelas cahaya gemerlap yang terpancar indah dari gedung – gedung pencakar langit.
"Suka?" Tanpa Thalia sangka, tangan kanan Axal sudah merangkul bahu Thalia dengan posessif. Dalam pencahayaan yang temaram, pipi Thalia bersemu, dan bibirnya terlihat mengerut akibat menahan senyum bahagia yang kentara.
"Duduk yuk?" Thalia hanya mengangguk, dan membiarkan Axal menggiring Thalia untuk duduk dibangku panjang di sebelah utara yang menghadap langsung pada pemandangan kota Jakarta di malam hari.
Hening beberapa saat, mereka berdua sibuk dengan pikirannya masing – masing. Axal yang bingung sendiri, kenapa ia sangat ingin membawa Thalia ke taman ini, padahal rencananya, Axal akan mengajak Amelia ke taman ini.
Sedangkan di sisi lain, Thalia sedang menetralkan degupan jantungnya yang memacu dengan cepat. "Tumben ngajak aku ke taman malem – malem?" Entah kenapa, pertanyaan itu meluncur begitu saja dari bibir Thalia.
Axal mengedikkan bahunya tidak peduli dan kemudian memutar badannya jadi menghadap kearah Thalia. Ditatap begitu oleh seorang Axal, kapten basket di sekolah, sekaligus laki – laki yang berhasil membuat Thalia jatuh cinta, membuat perasaan gugupnya tiba – tiba semakin menjadi.
"Lucu banget deh kalau gugup gitu." Ungkap Axal membuat Thalia semakin gugup dibuatnya.
"Apaan sih, siapa juga yang gugup! Aneh banget." Sebisa mungkin, Thalia bersikap biasa saja.
"Aku juga masih bertanya – tanya pada diri aku sendiri, kenapa aku bawa kamu ke taman ini malem – malem gini. Tapi, entah kenapa hati aku berkata, kalau aku harus ngajak kamu ke tempat ini."
"Apa artinya... aku masih ada kesempatan buat bisa milikin hati kamu sepenuhnya?"
"I don't know. But, maybe?"
Thalia tersenyum bahagia, harapannya akan terwujud sebentar lagi! Oke, mulai sekarang, Thalia bertekad untuk berusaha lebih keras untuk milikin hati Axal sepenuhnya.
"Aku punya satu pertanyaan buat kamu. Sebenarnya, apa sih motif dibalik kamu nembak aku? Kenapa kamu langsung muncul setelah kamu mengatakan kalau kamu benci banget sama aku. Aneh aja gitu, dan jujur, dari dulu sampe sekarang pertanyaan itu selalu menghantui pikiran aku."
Skak. Axal tidak tahu harus menjawab apa. Tapi ia tetap bersikap tenang, tidak mau membuat Thalia curiga padanya.
"Aku cuman ngikutin kata hati aku. Aku beramsumsi buat ngerubah penampilan dan perilaku kamu. Dan sekarang buktinya... aku... aku juga ngerasa nyaman sama kamu."
'Aku harap kamu tulus ngomong gitu sama aku.'
Thalia tersenyum pada Axal. Entah kenapa, melihat senyum itu, jantung Axal sedikit bergetar dibuatnya, iapun balas tersenyum lebar pada Thalia.
"Rembulan malam menjadi saksi bahwa kamu udah mulai ada di hati aku. Aku tahu, hubungan kita udah berjalan 2 bulan lebih, tapi baru kali ini kan aku ngomong seserius dan setulus ini sama kamu. Aku serius, bantu aku buat bisa cinta sama kamu, ya?" Thalia mengangguk antusias. Ini kesempatan langka, pikirnya.
"Rembulan bersaksi, bahwa aku bakalan bikin kamu jatuh cinta sama aku. Aku yakin!" Tekad Thalia.
Axal tersenyum hangat pada Thalia, lalu ia merentangkan tangannya, mengode buat Thalia peluk. Untung Thalia peka, karena dia langsung berhambur ke dalam dekapan Axal yang hangat.
🌼🌼🌼
KAMU SEDANG MEMBACA
So Far Away ✔✔✔
Teen FictionMencintaimu adalah hal yang paling menyakitkan. Setiap hari aku selalu membayangkanmu dan menangis, tanpamu aku tidak bisa melakukan apapun. Aku selalu mengawasimu dari kejauhan. Seperti angin dan debu, yang tak bisa ku tangkap walau kau sedekat nad...