Ruang itu sepi. Hanya ada dua entitas yang berdiam diri di sana. Yang satu mempunyai helai arang dan manik biru gelap. Dia menundukkan kepalanya, entah apa yang sedang ada di pikirannya. Sedang yang satu dengan rambut cokelat yang tertata hanya memandang ponsel pintarnya bosan. Iris sewarna kayunya bergerak-gerak membaca cerita dari ponselnya.
Ruang itu sunyi. Tidak ada yang memulai konservasi di anatara dua pemuda itu. Keduanya larut dalam pikiran masing-masing. Hanya suara desah napas yang terdengar. Tak jarang juga suara tetes cairan IV yang jatuh ke selang infus.
Tick tock
Suara detak jam ikut meramaikan sunyi ruang itu. Entah berapa lama waktu sudah terlewat sejak mereka berdua di sana dalam hening.
Kesal, pemuda yang lebih tua meletakkan ponselnya ke meja nakas di samping kasurnya. Iris coklatnya memandang tak suka pada pemuda lainnya. "Apa maumu datang ke sini, Tobio-chan?"
Hening. Orang yang dipanggil Tobio tadi masih bergeming. Tak ada tanda-tanda kalau dia akan menjawab pertanyaan seniornya.
Berdecak kesal, Tooru merebahkan tubuhnya ke kasur dengan kasar. "Kalau tidak ada yang mau kau bicarakan denganku, lebih baik kau keluar. Aku mau istirahat."
"Oikawa-san!" Tobio memanggil nama seniornya cepat. Lalu, dia kemudian menundukkan kepalanya lagi, menimbang-nimbang apa yang akan dikatakannya.
"Hmm?"
"Aku...," Tobio mengangkat kepalanya, dengan ragu menatap iris Tooru di hadapannya. "Aku minta maaf."
"Hah?" Tooru menatap si pemuda dengan pandangan seolah dia adalah makhluk teraneh di muka bumi. "Sudah kubilang ini bukan salahmu, kan?"
"Tapi kakimu...!"
Tooru mendesah. Diliriknya kaki kanannya yang berbalut perban, agak nyeri ketika digerakkan. "Bukan masalah besar. Kakiku akan sembuh dalam sebulan."
"Tapi-"
"Hanya itu, kan?" Tooru memotong cepat. Tidak mau mendengar alasan yang akan membuatnya semakin terpuruk keluar dari mulut junior-tercinta-nya. "Kalau hanya itu yang mau kau bicarakan, silakan keluar. Kita sudah selesai mendiskusikan masalah itu, oke?"
Namun Tobio tetap bergeming di tempat duduknya. Enggan beranjak dari sana. Alisnya bertaut dan bibirnya mengerucut. Pemuda itu tidak mau meninggalkan seniornya sendirian di sana-karena dia tahu, sedetik setelah dia keluar, Tooru pasti akan menangis dan menyalahkan diri.
Dia tidak mau pergi dari sana, setidaknya, belum.
"Oikawa-san," Tobio beranjak dari tempat duduknya. Dia melangkah, mendekati Tooru yang masih membelakanginya.
Tobio dengan paksa membalikkan tubuh Tooru, membuat pemuda itu menghadapnya. Tooru sedikit meringis, kakinya ngilu. "Apa lagi, To-"
"Aku mencintaimu, Oikawa-san."
Lalu hening. Tobio memandang Tooru lurus sedang Tooru memandang pemuda itu dengan senyum miring di wajah tampannya.
Tooru tertawa, miris. "Siapa yang mengajarimu untuk berkata dusta, Tobio-chan?"
"Aku tidak berdusta."
"Oh?" Tooru memalingkan wajahnya. Irisnya menatap langit kelabu di luar sana lewat jendela di kamar rumah sakitnya. Sudah seminggu dia dirawat di sana, dan Tooru masih belum terbiasa. "Kalau begitu, di mana kau selama seminggu ini?"
Tobio menunduk, tak mampu menjawab.
Tooru tahu. Bilang padanya kalau dia adalah orang terjahat di dunia karena sudah memojokkan pemuda itu dengan pertanyaan retoris itu. Oikawa Tooru tahu, seminggu absennya Tobio dari menjenguknya di rumah sakit adalah karena pemuda itu merasa bersalah terhadap apa yang menimpa Tooru. Tobio yang malang, yang menyalahkan dirinya karena kesalahan yang tidak dia perbuat.
KAMU SEDANG MEMBACA
[Haikyuu!! Fanfiction] (Not) A Lie {KuroOiKageTsukki}
Фанфик"Aku mencintaimu, Oikawa-san." "Siapa yang mengajarimu untuk berkata dusta, Tobio-chan?" Itu bukan dusta. Karena Tobio memang menyukainya. . . (Not) A Lie By Kuroyuki Alice No profit taken from making this story. Haikyuu!! © Furudate Haruichi I don'...