1

17 7 3
                                    

Kedai kopi berdinding bata merah tampak ramai sore ini. Rintik hujan yang mulai menderas membuat tempat itu menjadi sasaran utama untuk berteduh, juga mengisi perut yang mulai bersuara minta diisi. Satu dua tampak pekerja kantoran yang nampak sedang berbicara santai--ini waktu pulang kerja bagi para karyawan. Beberapa muda mudi nampak mesra berbincang sambil sesekali menyesap kopi ataupun cokelat. Juga tak sedikit keluarga kecil yang ikut meramaikan kedai kopi ini.

Seorang remaja cewek berlari menerobos hujan dari ujung jalan. Ia masuk ke dalam kedai yang hampir penuh ini. Rambut cokelat yang ujungnya diwarnai merah maroon milik cewek itu tampak kacau. Bajunya pun sudah bisa diperas. Ia memandang sekeliling dengan mata cokelat teduhnya. Ia menghela napas kecewa saat tahu kursi kosong sudah tak lagi tersisa.

Ia sudah berbalik saat seseorang memanggil namanya.

"Cafelia!" Ia menoleh, mencari sumber suara. Cowok berjaket jeans dengan daleman kaos putih serta sepan jeans dan sepatu kets hitam yang memanggilnya. Ia tahu siapa cowok itu.

"Moka?" Ia mendekatinya. Moka mempersilahkan ia duduk di hadapannya.

"Kacau banget," Moka membuka jaketnya dan menyerahkannya pada Cafelia.

"Thanks," Cafe menerima jaket yang Moka berikan dan mengenakannya.

"Lo habis dari mana?" Moka membuka topik obrolan.

"Dari toko buku, nyari bacaan baru,"

"Mau pesen? Gue panggilin waitressnya dulu," Moka memanggil salah satu pelayan.

"Thanks, Mo.. Pesen mocachino satu, roti bakar cokelat kejunya satu,"

Moka tersenyum mendengar pesanan itu. Satu hal yang ia sukai dari gadis di hadapannya ini. Ia pecinta kopi, sama seperti dirinya.

"Lo sendiri ngapain di kedai ini?" tanya Cafe saat pelayan pergi membawa pesanannya.

"Neduh, tadi habis nge- freez waktu,"

"Masih suka foto? Kapan-kapan mau dong jadi modelnya," cengir Cafe.

"Boleh, haha.." sambut Moka senang.

Obrolan mereka terhenti saat pesanan Cafe datang. Cafe menangkupkan kedua tangannya pada cangkir kertas berisi mocachino-nya. Hidungnya menghirup dalam aroma kesukaannya itu. Perlahan bibir mungil Cafe menyeruput kopi itu.

"Lo lucu kalo berhadapan sama kopi," Moka tersenyum kecil.

Pipi Cafe merona mendengar ucapan Moka barusan. Ia menjatuhkan poninya ke depan menutupi rona wajahnya.

Lama suasana hening. Pengunjung lain pun masih pada posisinya masing-masing. Belum ada tanda-tanda hujan reda. Cafe merapatkan jaketnya.

"Lo balik sama siapa?" akhirnya Moka kembali bersuara setelah lama terdiam.

"Eng.. Gatau. Mungkin nanti naik taksi," jawab Cafe terbata.

"Sama gue aja?" tawar Moka.

"Gak ngerepotin nih?" tanya Cafe.

"Enggak la, selama rumah lo masih satu blok sama gue, siap kok jadi supir pribadi," jawab Moka santai.

Cafe tertawa kecil mendengarnya. Moka adalah orang yang telah lama ia kenal. Kenal saja, tidak dekat. Mereka hanya teman satu blok perumahan, satu sekolahan, dan tiga tahun satu kelas. Biasanya mereka hanya sekedar bertegur sapa, jika ada perlu saja. Hari ini? Mereka berbicara hangat, bagai teman dekat. Cafe senang sekali.

***

"Lo kenal gue sejak kapan, Cafe?" tanya Moka sambil tetap fokus pada jalan.

"Em.. Waktu masuk sekolahan kali, ya.." jawab Cafe sambil menerawang ke masa kecilnya dulu.

"Masa sih? Perasaan gue udah kenal lo jauh sebelum itu," Moka mengalihkan pandangannya menatap Cafe.

Cafe menoleh, menaikkan alisnya.

"Gak percaya? Gue kecil kan bocah petualang. Tiap hari keliling komplek naik skateboard, inget?" Moka membuka ingatan masa kecilnya.

"Ah iya! Gue dulu sering liat lo meluncur dari tebing ke tebing dari balkon kamar.." kenang Cafe.

"Tapi waktu itu gue belom tau lo siapa," lanjutnya.

"Ah curang. Padahal gue tau lo udah dari kecil, semenjak lo pindah umur tiga tahunan gitu gue udah tau nama lo," cerita Moka.

"Tau nama gue dari mana?" tanya Cafe polos.

"Em.." Moka merasa dirinya sudah banyak bercerita perihal dirinya yang menyukai Cafe dari kecil, harusnya ini tidak boleh terjadi.

"Satu blok juga tau kalo keluarga Dermawansyah mau pindah ke situ, dulu. Jadi gue kepo, siapa sih keluarga Dermawansyah itu? Habis itu nanya deh sama bokap, diceritain sedikit kalo keluarga lo itu seniman terkenal dan baik budinya. Bokap juga bilang kalo dia ada anak seumuran gue, namanya Cafelia Caveyn Sastramawansyah. Gitu deh," cerita Moka sedikit berbohong.

"Oh.. Kirain naksir sama anaknya Dermawansyah," ujar Cafe pelan.

Moka terbatuk.

"Kenapa, Mo?" Cafe menoleh khawatir.

"Gapapa kok, cuma salifa gue nyangkut ditenggorokan,"

Cafe mengutuk dirinya sendiri yang kelewat perhatian pada Moka. Ia merutuki dirinya dalam hati.

"Gini aja lu udah ngelompat lompat dalem hati, Lyn. Cuma basa basi, aduh. Kenapa juga gue harus seneng segininya? Sadar, bangun dong, Lyn!"

"Udah sampe, Cafe!" seru Moka riang.

"He-eh.. Lo mau mampir?" tawar Cafe basa-basi. Padahal dengkulnya udah lemes lama-lama sama Moka.

"Emm.. Gausah deh. Kalo besok gue jemput lo pergi sekolah boleh?" tanya Moka ragu.

"Boleh, Mo," jawab Cafe tersenyum lembut.

Hati Cafe melonjak. Jantung Moka lega rasanya. Rasa dalam diam yang dua-duanya tiada yang tahu.

Masala(ku)luTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang