Jalan di taman yang indah malam hari. Itu malam minggu yang dingin sekali. Tapi, tanpa hujan, bintang bersinar terang dan bulan berkuasa membentuk dirinya seperti emoticon senyuman.
Sendiri, sepi diantara lampu taman yang ramai. Melewati kursi-kursi taman yang sepertinya sudah dipesan sejak taman ini belum dibuat. Dari gerbang masuk taman sampai hampir ujung jalan tidak aku temukan sisa kursi yang masih kosong.
Aku terus mencari sambil memasang muka penuh aib. Malu sekali rasanya bertemu pasangan-pasangan muda yang sedang asik berpacaran.
"Apa lo lihat-lihat?! APA? APA?!" begitu kelakuanku saat itu jika bertemu atau berpapasan dengan pasangan muda yang sedang berpacaran. Memang efek jomblo telat menikah cenderung jadi oversensitif.
Sebenarnya aku ini tipe manusia penyabar. Sabar ditinggal nikah teman seangkatan, sabar ditinggal nikah teman yang dibawah umurku, sabar ditinggal nikah mantan pacar, dan sabar terhadap pertanyaan orang, "kapan nikah?"
Kalau ada yang bertanya kepadaku kapan nikah, aku akan tegas menjawab sambil melemparkan senyuman yang indah mengalahkan senyum Putri Indonesia, "aku kan menikah pada saatnya" karena ketika menunggu saatnya lebih baik daripada menunggu waktunya.
Begitulah jomblo yang telat nikah, dia selalu bicara "ingin punya pasangan yang mengerti dirinya", saat lama tidak menemukan dia mulai bicara "yang penting saling mengerti" dan ketika mereka lama sekali tidak menemukan pasangan akhirnya bicara "ah yang penting punya aja deh"
Sebenarnya aku pernah punya pacar. Orangnya cantik, manis, dan bau kaki. Eh, yang terakhir, aku serius. Tidak ada pasangan yang sempurna. Yang ada adalah adalah pasangan yang menyempurnakan kekurangan pasangannya. Ketika dia memiliki kekurangan yaitu bau kaki, aku menyempurnakan kekurangannya dengan punya masalah bau mulut. Kita jadi pasangan yang lengkap, bau dan dijauhi teman-teman. Sampai akhirnya hubungan kita berakhir karena dia sudah tidak bau kaki lagi dan akupun berubah sudag tidak bau mulut lagi.
Telat menikah Memang bukanlah aib. Ya... Telat nikah memang bukanlah aib pribadi, tapi aib keluarga. Mendapat ultimatum untuk segera menikah dari orang tua memang hal yang dilematis. Tapi, begitulah orangtua, mereka tahunya kalau anaknya sudah lulus, ya, nikah. Mau alesan mengejar karir kek, ngejar setoran kek, mau bilang belum ada yang cocok kek, yang penting harus cepat nikah.
Selama menyandang status sebagai jomblo, ditambah lagi bonus status telat nikah, aku sering melakukan sedikit penelitian amatiran yang biasa aku sebut "riset jomblo si karung goni", begini pembahasannya:
Aku sering menemukan fenomena bahwa jomblo yang telat nikah cenderung terkucilkan di antara teman-teman seangkatan lainnya yang sudah terlebih dahulu menikah, terutama ketika berhadapan dengan teman yang mendahului menikah itu jauh dibawah umurnya. Kadang tanpa perlu dikucilkan jomblo yang telat menikah ini mengucilkan dirinya sendiri.
Secara psikologis, para jomblo yang telat menikah merasa dirinya terbuang dan terasingkan. Efek terburuk dari anggapan subjektif ini dapat menyebabkan depresi kronis serta gangguan mental. Silahkan buat riset sendiri jika tidak percaya.
Gangguan kejiawaan di atas dapat mengakibatkan jomblo-jomblo telat nikah menjadi mudah berhalusinasi:
"Aku dimana...? Mana kekasihku...? Kekasihku Syahrini... Bulu matanya terbuat dari bulu kakiku..."Riset amatiran ini melibatkan beberapa sample jomblo telat nikah yang dipilih secara acak. Termasuk aku sendiri waktu itu.
Itulah yang aku alami dan yang sama juga dialami oleh para manusia yang berstatus jomblo telat nikah lainnya. Semoga tulisan ini tidak menyinggung salah satu atau dua dari kawan semua yang senasib sepenanggungan sependeritaan. Saatnya kita tunjukan bahwa jomblo telat nikah itu mampu berbuat banyak. Iya banyak berdoa dan banyak bersabar.
"Udah telat nikah, lama gak punya pacar, pacar minta putus tanpa sebab, tau-tau nikah sama temen sendiri," gumamku suatu ketika. Nista sekali.
KAMU SEDANG MEMBACA
Opini Si Karung Goni
HumorCatatan Harian Si Karung Goni - beropini lewat cerita harian aneh