9. Kenapa Dia Ganteng Banget, Sih?!

604 22 0
                                    

Lihatlah keluar jendela, coba hitung seberapa banyak tetes air hujan yang jatuh dari angkasa. Sebanyak itulah rasa sayangku padamu.
.
.
.
Shelby POV

Saat ini aku sedang berada di tempat ternyaman di rumahku—kamar tidurku sendiri. Hari ini sedang hujan, seharusnya aku sekarang sedang bermain laptop di temani dengan mie instan kesayanganku dengan berbagai camilan. Bukan mengerjakan rumus memusingkan seperti ini!

Aku mengerang kesal karena rumus-rumus di hadapanku saat ini benar-benar memusingkan. Kenapa fisika harus serumit ini, sih?!

Setelah menggaruk rambutku dengan kasar, tatapanku tertuju pada ponsel hitamku yang bergetar. Aku sengaja menyalakan mode silent karena takut nanti akan mengganggu aktivitas belajarku. Di sana tertera nomor tak di kenal. Karena penasaran siapa yang menelponku pun akhirnya aku mengangkat telpon tersebut.

"Halo sang pujaan hati yang sampai saat ini masih menjadi khayalan! Hehe, belum saatnya aja kita pacaran. Tunggu aja, nggak akan lama lagi, kok,"

Aku menggertakkan gigiku, ternyata cowok rese itu. Harus sekali ya menelponku di saat aku sedang pusing memikirkan rumus fisika menyebalkan ini? Dan bagaimana pula dia mendapatkan nomorku?!

"Kamu masih di sana, kah?"

"Duh, ngapain sih lo nelpon gue segala?!"

"Kalau rindu itu jangan di tahan-tahan, Shel,"

Wajahku semakin masam mendengar kata-katanya, "Lo dapet nomor gue dari mana, ha?!"

"Barusan, burung merpati mengirimkanku surat. Saat aku buka, ternyata ada sederet nomor yang nggak aku kenal. Burung merpati bilang kalau itu nomor kamu, ternyata sang bulan yang menyuruh burung merpati agar mengirimkan nomor kamu. Mereka tau aja kalau aku sedang rindu dengan kamu,"

Kenapa sih dia selalu bercanda?! Tidak bisa kah sekali saja serius? Berkat bercandaannya itu aku memutar bola mata dan menghela napas berupaya agar dapat sabar menghadapi pria gila di ujung telpon sana.

Aku memegang kepalaku frustasi, "Sumpah ya gue gak tau harus ngomong apa lagi kalo sama lo,"

"Kalau nggak bisa berkata-kata karena deg-degan sih aku bisa maklumin,"

Omaigat. Kenapa dia pede sekali?

"Oke. Sekarang to the point aja deh, lo ngapain nelpon gue? Kalo lo masih gak jelas kayak gini mending gue matiin aja,"

"Coba deh kamu lihat ke luar jendela,"

Aku berdecak, "Ngapain emang?"

"Lihat aja dulu,"

Setelah memutar bola mata malas, aku berjalan dengan langkah gontai menuju jendela. Setelah sampai di hadapan jendela aku menyibak tirai kemudian yang ku dapati hanyalah jalanan beraspal yang basah terkena air hujan yang cukup deras dan beberapa pengendara.

"Ini gue udah liat. Emang ada apaan, sih?" tanyaku dengan nada malas.

"Sangat banyak bukan tetes air hujan yang jatuh dari angkasa?"

"Ya," jawabku lagi-lagi bernada malas.

"Bisa nggak kamu menghitungnya?"

"Nggaklah! Gila aja lo,"

"Sebanyak itu lah rasa sayangku pada kamu. Saking banyaknya sampai nggak bisa terhitung,"

"Oh ya? Haha. Lucu," kataku datar sedikit tajam.

Sia-sia aku menuruti permintaan tidak pentingnya itu, aku kembali duduk di kursi meja belajarku dengan ponsel yang masih setia ku tempelkan di telinga kananku.

Kabut LukaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang