Prolog

36.2K 2.8K 118
                                    

Hii Wattpaders, as I promised Melbourne (Wedding)Marathon di-reupload yaaa :)

Novel ini justru yang pertama kali saya buat di wattpad, ketika saya lagi nunggu viewers, saya mengisi waktu luang di parkiran buat nulis Resign!!!

Genre - nya beda sama Resign!!! yang lebih banyak comedy. Novel ini lebih ke arah romance, gloomy2 gitu deh. Novel ini nantinya bakal ada foto2 dokumentasi saya selama di Melbourne, again, in black and white. Dan semoga para pembaca juga jadi bisa liat tempat2 di melbourne yang belum pernah dibahas di novel lain:)

So enjoy the story, enjoy melbourne
--------
Passing by – Yiruma

"Sendiri kan?" Tanya seorang pramusaji pria restoran Sushi di sebuah mall di Jakarta Selatan.

Sydney sama sekali tidak tersenyum mendengarnya. Mungkin pramusaji itu merasa akrab betul dengan dirinya berhubung seminggu dua kali, Sydney pasti bertandang selagi ia masih di Jakarta dulu. Walaupun sudah 1 musim lebih ia bermukim di Melbourne, ternyata tidak ada yang berubah. Pramusaji itu masih bekerja di sana, dan ia tetap datang sendirian.

Sydney mengamati sekelilingnya, melihat pasangan yang berjalan bergandengan tangan, remaja yang bermain piano bersama dengan teman lelakinya di sebuah toko musik, dan beberapa orang yang saling mencium pipi kanan dan kiri. Otaknya tersentuh dengan sebuah fakta statistik yang membuatnya semakin miris. Bukankah setiap manusia yang datang ke suatu tempat akan terekspos oleh kesempatan untuk bertemu orang baru? Dia sudah mengunjungi Tokyo, Los Angeles, New York, Kuala Lumpur, Singapura, Australia dan Indonesia. Total kombinasi dari populasi semua tempat itu adalah 350,5 juta orang atau 4,3% dari total manusia di muka bumi ini. Sudah bepergian mengitari separuh bumi saja, ia belum menemukan yang namanya jodoh, apalagi di mall sekecil ini?

Sydney mulai meng-scroll Path sambil menunggu namanya dipanggil. Pernikahan, pertunangan, midodareni menghiasi Path setiap akhir minggu. Ia menghembuskan napas sambil tersenyum sinis. Hidup seharusnya sederhana, sampai sosial media berevolusi dan membuat manusia menjadi rentan akan tekanan.
Bagi semua orang yang pernah kenal dengannya, Sydney Deyanira mungkin seharusnya tidak termasuk dalam kategori "stress" itu. Rambut hitam berkilau yang bervolume panjang sepunggung, kulit kuning langsat cerah, mata yang mencerminkan kecerdasan serta ambisinya, dan tubuh yang proporsional sebenarnya membuat Sydney terlihat cukup menarik.

Di luar pencitraan yang berhasil sebagai wanita yang bisa mendapatkan apapun, kenyataannya justru kontradiktif. Sydney merasa dia manusia paling sial, nama terakhir di semua waiting list semua pria, dan tidak pernah menjadi cinta pertama seseorang. Hanya teman – teman terdekat yang tahu betapa busuk nasib percintaannya.

"Sydney!" Sebuah suara menghentikan jemari Sydney yang sedang asyik melihat postingan lama di Path.

Pramusaji memanggil namanya dan mempersilahkan Sydney duduk di sushi bar. Ia melirik pramusaji itu dengan malas. Untuk ke seribu kali, ia harus duduk di satu bangku kosong di antara dua orang asing. Dalam hati Sydney iri dengan 16 antrian di luar sana yang tidak masuk karena membawa pasangan. She hopes, she has to wait. Dia ingin merasakan asiknya menunggu berdua di luar sana sambil menggerutu.

Sydney menarik kursi bar sebelum pramusaji itu, dan duduk dengan perasaan nelangsa seperti biasa. Dia hanya berharap bisa sembunyi lebih lama di Jakarta, tanpa undangan apapun. Bukan ia tidak ikut berbahagia, tapi sudah cukup baginya untuk menyalami pengantin, sendirian. Percuma punya teman segudang, kalau ujung – ujungnya temannya akan terlambat datang, atau malah sibuk memilih makanan dibanding menyalami pengantinnya lebih dulu sehingga tetap saja, ia ke pelaminan seorang diri.

Tahun ini harusnya ia sudah menikah, di dalam file excel yang telah ia susun. Seringkali Sydney berpikir dengan IQ 138-nya, apa yang salah. Dalam 7 kegagalan asmara di hidup, 7 pria tersebut selalu berakhir dengan wanita yang menurutnya tidak lebih cantik dari dirinya. Sydney sama sekali tidak senang dengan kenyataan itu, justru ia semakin tertekan dan berpikir mungkin ada yang salah dengan kepribadiannya.

Melbourne (Wedding) Marathon (DITERBITKAN)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang