"Tosca ada yang nyariin."
Tosca bangkit dari duduknya, padahal dia sedang dalam posisi wenak.
Ketika dia sampai di luar kelas, ada seseorang yang dia kenali. Jelas Tosca tahu siapa dia dan jelas Tosca tahu kenapa orang itu mencarinya.
"Kenapa mencari saya?"
"Kamu bilang kenapa?" Navy- laki-laki yang mencari Tosca menatap dengan pandangan yang tak habis pikir. "Aku nyari kamu, Ca. Kenapa kamu ngilang tanpa kabar?"
"Apa pedulimu jika saya menghilang?" Tosca menahan dirinya untuk tidak menangis.
"Jadi kamu tidak menganggap kepedulian aku selama ini?" Navy mengepalkan tangannya.
"Kamu pikir saya tidak sakit hati?" untuk kali ini, Tosca memberanikan diri menatap langsu mata Navy.
"Atas dasar?" Navy tidak habis pikir kenapa Tosca berbicara seperti itu dan dengan entengnya tidak mengabarinya beberapa hari kebelakang.
Tosca tidak menjawab. Dia tertunduk. Lalu merogoh sakunya, mengeluarkan selembar foto.
Tanpa ba-bi-bu Navy membawa foto itu dan menatapnya. "Ini dapat dari mana?"
"Saya sendiri yang melihatnya, saya sendiri yang mengabadikannya menjadi foto," Tosca membuang muka.
"Kamu salah paham."
"Apanya yang salah paham Nav? Jelas-jelas saya melihat kamu merangkul wanita lain. Saya juga sempat melihat kamu mengecup keningnya."
Navy lantas tertawa. Tetapi Tosca menatapnya risih, membuat Navy kembali diam.
"Jadi kamu marah gak ngasih kabar Cuma karena ini?" Navy berdehem mencoba meredakan tawanya. "Sumpah kamu salah paham."
"Cuma kamu bilang?"
Navy menarik napasnya dan tersenyum hangat. "Kamu salah paham Tosca. Dia adik aku."
*
Tosca merogoh sakunya, berniat membawa handfone Nokianya dari seragam sekolah yang ia kenakan. Lalu dengan lihai tangannya mengirimkan sebuah pesan singkat mengenai apakah Jingga datang sekolah hari ini atau tidak, kepada Jingga.
"Hah," Tosca menarik napasnya berat. Sudah hampir setengah jam dia menunggu Kakaknya-Jingga, di gerbang. Akan tetapi yang ditunggu sampai sekarang tidak juga datang. "Mau sampai kapan kakak seperti ini?"
"Hayo! Lagi mikirin aku ya? Serius amat mukanya!" Navy menyenggol Tosca.
"Ih! Kamu ngagetin saya!" raut wajah Tosca berubah menjadi semakin cemberut.
Navy tertawa, "Kamu lucu kalo lagi cemberut kaya gitu. Tapi aku lebih suka kalo kamu senyum, keliatannya makin cantik kaya bidadari."
Satu detik kemudian semburat merah dipipi Tosca mulai terlihat. Diam-diam dia tersenyum. Tetapi mata Navy begitu jeli, dia mampu melihat wajah Tosca meskipun Tosca membelakanginya.
"Nah, gitu dong! Kan jadi makin cantik."
"Apaan sih!"
"Ya sudah. Ayo tuan puteri kita pulang," Navy menaiki sepedanya yang memang sedari tadi sudah bertengger di depan post satpam.
Tosca tersenyum, "Saya bisa pulang sendiri."
"Tidak ada kata penolakan."
Akhirnya, dengan sedikit paksaan Tosca menaiki sepeda itu. Mereka melewati jalanan yang masih segar. Tidak begitu banyak polusi, yang ada adalah rombongan sepeda disepanjang jalan.
"Pegangan! Kita bakal ngebut nih!" Navy berteriak karena suaranya tertutup suara angin.
"Gak ah! Ka-" belum sempat Tosca menyelesaikan ucapannya, Navy sudah mengencangkan laju sepedanya.
Dengan sekuat tenaga Navy menggoes sepeda itu dan menyusul pesepeda yang semula ada di depannya.
"Dasar anak muda!" kata seorang kakek sambil tersenyum, "Masa muda emang masanya cinta! Sejauh apapun gak bakal ngerasa capek."
Navy tertawa, sekilas menatap kakek itu, "Kakek tahu aja. Cinta itu gak mengenal lelah."
Tosca mencubit pinggang Navy, membuatnya mengaduh sakit. "Cubit lagi dong sayang," kata Navy sambil cengengesan/
"Maunya! Ngomong aja mau dipegang."
Tak ada percakapan lagi sampai akhirnya Navy membelokan sepedanya ke dalam halaman rumah.
Tosca turun dari sepeda dengan tatapan bingung, "Ini bukan rumah saya, Nav."
"Aku tahu kok. Orang ini rumah aku."
Tosca membelalak kaget. "Hah? Kenapa kamu gak bilang dulu?"
Navy turun dari sepedanya dengan senyum bangga, "Sengaja. Kalo aku bilang pasti kamu gak mau."
"Tapi saya belum siap Nav."
"Siap apa?"
"Saya belum siap menikah."
Kali ini Navy yang membelalak kaget, lalu tertawa. "Ya ampun Tosca, siapa yang mau ngajak nikah? Kamu mau aku kasih makan rumput? Aku belum punya apa-apa tahu buat nikahin kamu."
Tosca jadi malu sendiri. Pipinya berubah menjadi merah. "Saya pikir, pacar datang ke rumah itu buat ngelamar. Hehehe."
Navy mengacak rambut Tosca. "Kamu tuh lucu tahu gak. Yang namanya ngelamar itu laki-laki yang datang ke rumah perempuan, bukan sebaliknya."
Tosca manggut-manggut, "Oh.. ya maaf kan saya gak tahu."
"Yaudah yu masuk."
Rumah Navy begitu rapi. Penataan barang yang teratur membuatnya semakin menakjubkan. Tosca berdecak kagum ketika melihat sebuah lemari kaca berisikan barang-barang antik.
"Kakak udah pulang?" seorang perempuan yang Tosca yakini dia adalah adik Navy, menghampiri mereka. "Maaaaa! Cepet sini! Liat nih kak Navy bawa bidadari ma!"
Mendengar itu Tosca memerah karena malu. Masa iya dia seperti bidadari? Sedangkan Navy terlihat cengengesan.
Tak lama kemudian perempuan yang kiranya sudah mencapai kepala tiga, menghampiri mereka sambil mengikat rambut. "Wah, jadi ini yang sering diceritain? Beneran cantik kaya bidadari Nav!"
Tosca menyalami Nilla-Mama Navy. "Ah tante bisa aja."
"Kenalin Ma. Dia si gadis kaku."
*
Hai hai Assalamualaikum. Kembali lagi di story yang baru! saya harap kalian suka! ^^
Selamat membaca :)
KAMU SEDANG MEMBACA
The Last Butterfly
Teen FictionPemerkosaan itu benar-benar terjadi. Semuanya begitu gelap tak terlihat. Tapi Tosca yakin apa yang terjadi. Tubuhnya beberapa kali mengejang mencoba berontak. Tapi para bajingan itu lebih kuat dari tubuh mungil milik Tosca. Semua gara-gara Jingga...