1
Tangan kanan itu bergerak cepat, hitam di atas putih, begitu suasana kelasnya riuh dan semua orang mulai keluar ruangan. Saat para mahasiswa diizinkan meninggalkan ruangan, saat itu pula tiba-tiba si pemilik tangan mendapat ilham dan inspirasi dadakan untuk segera direalisasikan. Kertas putih yang seharusnya dijadikan tuangan tinta bagi tugasnya itu digantikan oleh coretan-coretan bolpoin warna-warni, mulai mengisi warna putih dengan beraneka ragam warna yang bercampur menjadi satu secara sempurna. Menciptakan karya indah yang enak dipandang mata.
"Lagi nggambar apa, Div?" Sebuah pertanyaan terlontar, membuat konsentrasi si pemilik tangan buyar. "Sumpah, keren banget!" ujar suara itu lagi, kali ini memuji dengan tulus.
Audiva Candela, yang tidak suka momen indahnya diganggu, segera menoleh ke arah sumber suara. Bisa-bisanya cowok itu belum pulang! "Masa gini aja lo nggak tau? Ini graffiti," balas Audi, malas-malasan. "Lo pulang aja deh, Lang. Gue masih mau nerusin ini. Nanggung."
"Nggak, ah," kata Galang bebal, malah duduk di depan Audi dan mengamati cewek itu. "Hampir tiga tahun sekelas sama lo... gue nggak pernah tahu lo bisa nggambar graffiti sebagus itu. Gimana caranya? Mau ngajarin, nggak?" Tatapannya tidak beralih pada tulisan-tulisan rapat dan penuh model dengan coretan banyak corak dan warna tersebut saat bertanya pada Audi.
Sekarang, Audi benar-benar berhenti dari kegiatannya. Dia meletakkan bolpoin biru mudanya dengan keras di atas meja, lalu menatap Galang dengan tatapan membunuh yang sebenarnya takkan pernah keluar kalau dia tidak diganggu. "ENGGAK!" tolak Audi, mentah-mentah. "Udah deh, lo pulang aja, sana!"
"Enak aja," lagi-lagi, Galang berbuat seenaknya sendiri. "Gue masih pingin di sini kok. Eits, tapi, kalo lo pulang, gue juga pulang." Galang mulai mengeluarkan senyum mautnya. Niatnya sih ingin meluluhkan hati Audi dan membuat cewek itu mau mengizinkannya menemaninya, tapi ternyata dia tidak berhasil memikat cewek itu walau dalam bentuk bujukan. Benar-benar nggak mempan.
"Sori deh, gue ngecewain elo," kata Audi setelah menghela napas. Dia mulai mengemasi barang-barangnya dan berniat melanjutkan gambarnya di rumah. Lebih baik menggambar dengan penuh konsentrasi dan kedamaian daripada menyelesaikan dan memaksakan tuntutan inspirasinya ini dalam keadaan uring-uringan plus bad mood banget.
Audi mulai berdiri dari bangkunya sambil menenteng tas selempangnya tanpa memedulikan Galang. Dia sudah tidak betah dekat-dekat dengan cowok itu, apalagi mereka cuma berduaan di ruangan ini. Sumpah, gerah banget!
"Eh, Div! Tunggu dong." Galang mulai menyusul Audi ke arah pintu. "Maafin gue ya... lo marah, ya? Ugh, yeah, udah pasti. Maaf, maaf... maaaaaf... banget!" Galang mulai menempelkan satu telapak tangannya ke telapak tangan yang lain di depan wajah sambil memejamkan mata erat-erat.
Tapi, Audi memilih tidak menanggapi permintaan maaf itu, dan langsung nyelonong pergi tanpa menoleh ke belakang lagi.
***
Begitu sampai di rumah, Audi langsung menuju kamarnya dan merebahkan diri di sana dengan posisi tengkurap. Salju haru sudah merebak di pelupuk mata, dia kesal dan tidak tahu harus melampiaskan kekesalan ini pada siapa atau apa. Menggambar graffiti pun tidak sepenuhnya memuaskannya, karena tadi Galang malah mengusik ketenangannya. Sekarang, dia tidak peduli ke mana tasnya pergi setelah dia letakkan tadi.
Dan yang lebih menyebalkan lagi, Galang tadi memanggilnya dengan sebutan "Div". Benar-benar deh! Apa cowok itu nggak tahu kalo Audi nggak mau dipanggil seperti itu? Semua orang memanggilnya Audi, kenapa mesti cari perhatian dengan memanggilnya pake namanya yang lain sih?!
Kemarin sore, tepat seperti jam sekarang ini, Audi diputuskan begitu saja secara sepihak. Padahal, selama dua tahun berpacaran, dia merasa dia tidak pernah membuat kesalahan. Dia selalu berusaha menjadi pasangan idaman yang baik, tidak egois, dan perhatian. Tapi, apa balasan yang didapatnya?! Audi malah ditinggalkan begitu saja, dan kali ini Audi benar-benar merasa sakit hati. Tidak tahu harus percaya pada siapa lagi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Invalid [END]
General FictionAudiva Candela nggak ingin menjalin hubungan sama cowok, kalo bisa selamanya. Dia mulai bimbang sejak Galang dekat dengannya, apa pun alasannya. Galang Dwi Wangga digosipin sebagai gay, nggak sanggup mengatakan siapa pujaan hatinya, dan akhirnya p...