Di antara langit mendung kususuri jalan pulang, bersama gerak hati yang merasa terbuang. Guruh telah bersepakat. Hujan melarutkan asin rasa air mata. Aku, seorang bocah naif yang merasa dirinya tak lagi berarti. Kalap dan melampiaskan segalanya dengan berlari menjauhi kenyataan yang tak sengaja ia ungkap. Pulang meninggalkan Manard, dan ayah yang masih saja menyisakan bayang-bayang membingungkan dalam benak. Barang kali waktu itu aku merasa menjadi anak bawang penggenap keluarga semata, yang sebetulnya tak masuk hitungan dan tak berhak tahu seluk beluk keluarga dengan segala rahasia. Atau merasa kecewa sebab apa yang diimpikannya berbanding terbalik dengan kenyataan. Lantas aku bingung bukan buatan, dan tak tahu pula apa yang seharusnya diperbuat.
Di tenda borjuis itu Manard menatapku teduh. Senyum tipisnya percis mengisyaratkan prihatin. Mungkin saja ada seuntai benang pengikat yang mampu menautkan emosi kami waktu itu. Hanya saja simpatinya tiada cukup membendung luapan hati yang merasa telah begitu lama dikhianati. Aku melemparkan pisau lipat yang telah dilipat itu padanya. Kencang membentur dada, tapi tak lekas ia tangkap dan malah jatuh ke genang hujan. Aku berpaling lalu berlari. Pergi melintasi tenda-tenda kaum asing yang terasa makin asing, menembus lebat hujan, menaiki bukit, membelah hutan dan sungai. Tak peduli rasa dingin, tak peduli kotor lumpur menempeli baju dan celana, serta perih kulit disambit ranting-ranting semak runcing.
Setibanya di rumah aku ketuk pintu kencang-kencang. Ibu membukanya. Disampirkannya di wajah raut muka cemas. Matanya liar menjelajahi tubuhku yang kuyup dan wajah yang barang kali begitu sendu. Kemudian ia menyuruhku mandi seketika itu, biar ia yang siapkan handuk dan pakaian ganti. Lalu aku menuruti. Mandi di tengah hujan tak harus membilas busa sabun. Alam tahu, di waktu-waktu seperti ini manusia memang butuh perhatian, layanan yang sedikit memanjakan. Di waktu-waktu seperti ini mengurusi diri sendiri saja terasa teramat berat. Dan memikirkan betapa welas asihnya hujan padaku kala itu telah mampu mengurangi sesak yang sejak tadi bersemayam dalam dada. Walau tak seberapa.
Setelah kembali ke rumah kutanyakan pada ibu di mana Marco. Ia telah lama pulang. Sempat terpikirkan barang kali Marco-lah satu-satunya makhluk yang paling mengerti soal kegalauan hati. Dialah satu-satunya kawan yang paling berhak mendengar segala keluh kesah, lalu mampu mengeluarkan kalimat pembius yang menenangkan pikiran. Menguraikan sejumput rasa membingungkan, satu demi satu. Sebab waktu itu telah dikaburkan pandanganku tentang sosok ibu, seolah tak berhak ia mendengar isi hatiku yang sumbang nan lara. Ia sama saja dengan yang lain. Apalah jadinya jika tidak ada persekongkolan di antara mereka, Manard, ayah dan ibu untuk menyembunyikan rahasia itu dariku. Yang aku yakin kala itu, ibu tak kalah khianat.
"Nak, kau kenapa?" Tanya ibu. "Katakan pada ibu apa yang terjadi padamu, Nir?" Ujarnya lembut, menambah-tambah pilu. Mataku sempat dua kali mencuri lihat pada teduh wajah yang ibu suguhkan. Namun aku memandang jauh menembus kasih sayang itu. Pada hal-hal yang coba disembunyikannya dariku. Aku tunduk, paham betul begitu kacau pikiranku waktu itu. Dan kuberanikan diri mempertanyakan sesuatu yang sebenarnya datang dari palung hati paling dalam, melesat, meluncur begitu saja ke permukaan. Dengan mulut yang bergetar menahan enggan, kukatakan:
"Ibu, benarkah aku anakmu?" Kurasakan mataku tergenang membayangkan hari-hari yang telah kita lewati bersama. Menjelajahi ingatan-ingatan tentang ketekunan ibu mengurusiku, dan bagai mana mungkin dengan ketekunan tanpa pamrih itu ia bukan ibuku yang sesungguhnya.
Lalu dalam waktu yang tak pernah terhitung tangan ibu begitu saja melesat menampar pipiku sampai kelu. Menyisakan panas, janggal hati yang tak paham apa yang terjadi, dan air mata. Tak pernah ibu sedemikian itu mengambil tindakan. Tak pernah sekalipun ia mampu memukul. Sekali pun ia melakukan itu seharusnya tak pada situasi tengik macam ini. Air mata telah tumpah, tapi coba aku tahan suara sesenggukan. Berlari, membawanya ke kamar yang kemudian aku kunci rapat-rapat. Di sana tumpahlah isak itu begitu saja. Dindin-dinding jelas mampu menghalau mata melihat kejadiannya, tapi tak dapat meredam suara jeritan tangis itu merayap keluar.
KAMU SEDANG MEMBACA
Orzul
FantasyNir Orzul adalah seorang anak etnis Kahsf, suku yang dikenal sebagai suku pengembara. Ayahnya mendidik Nir dengan keras demi perjalanannya kelak saat waktu pengembaraanya tiba. Karena cara mendidiknya yang kasar dan tak berperasaan, Nir salalu muak...